Cermin Jakarta, Cermin New York
Thu, 1 March 2001
WAKTU itu Salatiga hangat dengan macam-macam diskusi politik dan distribusi novel terlarang Pramoedya Ananta Toer.
Genius in Disguise:
Harold Ross of the New Yorker
oleh Thomas Kunkel (1996) 512 halaman
Carroll & Graf;
About Town : The New
Yorker and the World It Made
oleh Ben Yagoda (Februari
2000)
Here But Not Here: A
Love Story
oleh Lillian Ross - 240
halaman (Mei 1998) Random House
Gone : The Last Days
of the New Yorker
oleh Renata Adler. Hardcover (Januari 2000)
Here at the New
Yorker
428 halaman (October
1997)
Da Capo Pr
oleh Brendan Gill (Oktober 1997)
WAKTU itu Salatiga
hangat dengan macam-macam diskusi politik dan distribusi novel terlarang
Pramoedya Ananta Toer. Mahasiswa mengagumi Arief Budiman, seorang
pembangkang-cum-dosen Universitas Kristen Satya Wacana, yang banyak melancarkan
kritik terhadap kapitalisme, liberalisme, seraya mempromosikan sosialisme.
Orang suka bicara politik walau berbisik.
Suatu sore yang tenang, di sebuah pondokan di Jalan Cemara II, seorang
mahasiswa menyodorkan fotokopi majalah berbahasa Inggris berisi laporan tentang
Soeharto, bisnis anak-anaknya, perseteruan Jendral Benny Moerdani dan Wakil
Presiden Sudharmono, Islam, Timor Timur dan sebagainya.
Saya kurang perhatikan judulnya. Tapi ada kalimat "A Reporter at
Large" mencolok. Disain majalahnya agak tak lazim, model majalah kuno pada
1960-an.
"Berapa ongkos fotokopi ini?" tanya saya.
"Gampang," ujarnya singkat.
Malam itu saya baca laporan yang ditulis oleh Raymond Bonner itu. Laporan
dibuka dengan isi dokumen rahasia Rand Corporation -lembaga think tank
berpengaruh di Washington DC- beberapa saat setelah Shah Reza Pahlevi dari Iran
tersingkir oleh gerakan revolusi Islam. Menurut laporan itu, ada tiga negara lain
yang bisa meniru Iran: Korea Selatan, Filipina dan Indonesia.
Ketiganya dipimpin oleh penguasa otoriter, Chun Doo-Hwan, Ferdinand Marcos
serta Soeharto, yang tak segan memanipulasi pemilihan umum, melakukan
pembunuhan politik, melakukan korupsi dan dekat dengan dunia barat. Pada
lapisan menengah dan bawah ada ketakpuasan yang akut terhadap Chun, Marcos dan
Soeharto. Konon saking rahasianya, laporan Rand Corporation hanya dicetak 20
eksemplar dan dibagikan ke kalangan terbatas. Presiden Ronald Reagan termasuk
satu di antaranya.
Perlahan laporan itu menarik saya masuk ke detail demi detail politik
Indonesia. Bonner mengutip profesor-profesor Yogyakarta, mahasiwa Bandung,
cendekiawan Padang, wartawan Jakarta, seorang rektor Makassar dan, bagai film
kolosal, Bonner menghanyutkan pembaca, pelan-pelan memahami rumitnya sebuah
negara yang bernama Indonesia.
Bonner tinggal selama dua bulan di Indonesia. Ia buat janji wawancara di
Jakarta, Padang, Makassar, Yogyakarta, Bandung bahkan Darwin di Australia,
ketika ia tak mendapat ijin pergi ke Timor Timur.
Bonner bicara dengan orang-orang asing yang kenal Indonesia, misalnya, Ed
Masters dan Marshall Green, mantan dutabesar Amerika di Jakarta. Frederick
Bunnel, profesor ilmu politik dari Amerika. Jack Whittleton dutabesar Kanada di
Jakarta. Bonner juga bicara dengan Jose Costa Alves yang menjadi konsul jendral
Portugis di Darwin atau gubernur Timor Timur Mario Viegas Carrascalao,
pengusaha "Hotel Turismo" Dili Sebastian Calado.
Buat mahasiswa yang suka diskusi, laporan itu menyenangkan karena informasi
yang jarang dimuat media massa Indonesia, tercetak lengkap dari fakta, gosip
hingga rasa kecewa, marah dan kecut. Ibaratnya, saya mengerti politik Jakarta,
dengan memandang cermin yang diletakkan oleh Bonner. Saya agak lupa berapa lama
saya baca laporan Bonner. Semuanya 40 halaman tanpa foto. Tapi seingat saya,
semalam suntuk saya pakai buat membacanya. Esok hari saya terlambat bangun.
Dalam kantuk, saya perhatikan apa nama majalah yang memberi tempat buat artikel
sedahsyat ini.
Namanya ... The New Yorker.
BEBERAPA saat setelah Perang Dunia I usai. Ekonomi Amerika bergerak lagi,
terutama di New York, kota pelabuhan dan perdagangan terpenting di negara itu
yang mengundang banyak pendatang. Salah satunya adalah wartawan bernama Harold
W. Ross.
Ross kelahiran 1892 di Alpen, Colorado. Sekolahnya agak berantakan. Pada usia
belasan tahun, Ross memutuskan jadi wartawan. Kerjanya pindah dari kota ke
kota: Sacramento, Panama, New Orleans, Atlanda sebelum jadi sukarelawan tentara
Amerika Serikat dalam Perang Dunia I.
Ia dikirim ke Paris pada 1917. Tapi tak lama, Ross melakukan desersi, dasar
anak badung, bukan dihukum, malah dipercaya jadi editor Stars and Stripes,
mingguan tentara Amerika. Misi mingguan ini menyediakan hiburan untuk menjaga
moral tentara Amerika.
Ross cukup berhasil. Ia menyajikan humor, dan kartun, bahkan menerbitkan buku
tentang humor prajurit. Selera humor Ross tinggi sekali. Ia juga menikmati
seni, makan enak, jalan-jalan, namun di atas segalanya, Ross muda sangat
tertarik pada kata-kata. Ia mencintai sastra dan gemar melatih kepekaan kritik
sastra.
Di Paris pula, teman dekat dan rekan kerja Ross, Alexander Wolcott,
memperkenalkan Ross dengan Jane Grant, wartawati The New York Times. Mereka jatuh
cinta, pacaran dengan hangat, hingga satu saat bicara tentang rencana mereka
menikah. Grant mengajak Ross tinggal di New York. Ross menolak. New York
menurut Ross adalah "kota yang menakutkan."
Grant membujuknya, dan Ross hatinya leleh, mereka menikah. Bersama dua orang
teman, pasangan muda ini menyewa rumah di Manhattan, daerah paling sibuk di New
York, dan menjadikannya sebuah komunitas. Di sana wartawan, seniman, pengacara,
suka berkumpul dan berdiskusi seni, dan sastra.
Ross bekerja sebagai editor di sebuah majalah. Tapi lama-lama, ia berpikir
untuk menerbitkan koran sendiri. Ia punya beberapa ide: sebuah harian khusus
isu perkapalan, penerbitan buku, dan sebuah "majalah ringan."
Grant memperkenalkan suaminya dengan Raoul H. Fleischmann, seorang Yahudi kaya
dari keluarga besar pemilik perusahaan roti. Fleischmann sebenarnya tak suka
pada bisnis keluarganya. Ia menjalankan bisnis roti karena rasa
pertanggungjawaban semata pada ibu dan saudara perempuannya. Ketika bisnis itu
mapan, Fleischmann ingin terjun ke bisnis yang tak sekedar berdagang komoditi.
Fleischmann tertarik dengan proposal Ross. Apalagi ekonomi Amerika sedang
tumbuh, tarif pengiriman pos menggiurkan, dunia periklanan butuh media
nasional, teknologi cetak foto meningkat serta teknik penjilidan menjadi lebih
cepat. Fleischmann bersedia jadi penerbit majalah ini, dan Ross menjadi
editornya.
Ross ingin majalah ini menjadi suratkabar yang sophisticated. Artinya ia
diciptakan untuk konsumsi orang-orang sekolahan, mengerti seni dan sastra, tapi
butuh informasi dan analisis mendalam. Majalah ini bukan majalah berita. Ross
bahkan tak suka dengan tenggat berita. Ross menekankan unsur humor dalam
majalahnya. Ini tak mudah karena menulis artikel yang bisa membuat orang
tersenyum, merasa lucu, lebih sulit daripada membuat laporan biasa, berisi
informasi.
Ia mengajak teman-teman diskusinya untuk mengisi majalah itu. Ada yang penuh
waktu, ada yang paruh waktu. Pada 21 Februari 1925 mingguan The New Yorker
meluncur ke pasar. Mulanya dicetak 30 ribu eksemplar tapi ditambah menjadi 40
ribu karena permintaan pasar. Dalam
setahun, format dan disain The New Yorker menemukan bentuknya.
Thomas Kunkel dalam buku "Genius in Disguise" menganggap The New
Yorker sebuah ironi. Bagaimana sebuah majalah yang dianggap paling
sophisticated di Amerika, ternyata lahir dari tangan seorang wartawan kota
kecil, yang sekolahnya tak beres, apalagi menyandang gelar dari kampus-kampus
besar macam Harvard, Yale atau Stanford.
Ini sebuah bukti lagi
bahwa orang bukan sekolahan bukan tak mungkin menghasilkan karya yang bagus.
Kunkel menekankan bahwa hal ini mungkin terjadi karena Ross adalah pribadi yang
bisa belajar sendiri.
Kunkel membeberkan prestasi Ross secara jelas. Ross memoles orang-orang
berbakat menjadi penulis hebat. Seusai membaca laporan kontributornya, Ross
suka membuat satu daftar pertanyaan buat mereka. Para kontributor The New
Yorker dipaksa berpikir lebih keras, menerangkan setiap ide, logika, tata
bahasa, setelah membaca daftar pertanyaan Ross.
Sirkulasi The New Yorker naik, dari rata-rata 14.064 per minggu pada 1925
menjadi 46.446 pada 1926. Sepuluh tahun sirkulasinya naik jadi 128.210 dan pada
1941 jadi 171.665. Kenaikan terjadi tanpa biaya promosi besar. Antara 1927 dan
1940, The New Yorker menjadi satu dari tiga majalah top di Amerika dari segi
penghasilan.
Dari sisi segmentasi pembaca, The New Yorker lebih menarik dari dua saingannya,
Reader's Digest dan Time, karena separuh pembacanya tinggal di New York, kota
terbesar, dan terkaya di Amerika. Antara 1925 dan 1927, Fleischmann merugi tapi
dari 1928, ia beruntung. Pada tahun keempat majalah ini mendapat laba bersih
(sesudah pajak) US$287,000, lalu US$486,100 pada 1929 dan meningkat US$619,400
pada 1934.
Buat Ross, menjadi seorang editor berarti menjadi anonim, memainkan peran
Pygmalion, yang tersembunyi, tak terdengar dan tak kelihatan. Ross memainkan
peran itu dengan sempurna, ia mempekerjakan penulis-penulis legendaris macam
E.B. White, John Hersey, Wolcott Gibbs, John O'Hara, John Updike, Rebecca West
dan seterusnya. Di antara para kartunis besar terdapat juga Charles Addams,
Helen Hokinson, James Thurber, Roz Chast, Peter Arno dan Rea Irvin.
Menurut Brendan Gill dalam "Here at the New Yorker," selama puluhan
tahun Ross menjalankan peran ayah-paman-kakak-pengasuh-pastor buat para
kontributor The New Yorker. Ross meminjami duit. Ross mengirim kontributor yang
sakit ke ruang operasi. Ross mengurus perselingkuhan. Ross mengurus orang mati.
Ia juga menerima protes. John O'Hara, misalnya, seorang pengarang cerita
pendek, selalu merengek minta honornya dinaikkan. Ia suatu saat mengirim memo, "Ross, saya
butuh uang, saya butuh uang, saya butuh uang, ...."
Dari urusan serius
hingga paling lucu, mau tak mau, diurusi Ross. Gill tak melihat kejengkelan Ross
ketika Gill bekerja di sana. Gill merasa ia kurang diperhatikan. Ini kebiasaan
semua kontributor, dari penulis hingga artis. Gill justru merasakan peran Ross
setelah ia keluar dari The New Yorker.
Dengan berjarak Gill merasa bahwa Ross ternyata mengambil peran macam-macam
buat orang-orang kreatif yang bekerja di The New Yorker. Dengan gaya bicaranya
yang berapi-api, terkadang memaki, tapi selalu lembut pada perempuan. Ross
memimpin majalah ini dengan penuh kesabaran. Terkadang gayanya meledak-ledak. Ross
suka mengumpat, tentu dengan humor, di depan orang banyak. Satu saat Ross
mengumpat, "Kantor ini, sebenarnya mirip sarang semut. Tak ada satu orang
pun yang tak bermasalah di sini. Lihat (nama orang) yang mengaku buah pelirnya
bengkak, atau (nama lain) yang mengira lubang duburnya buntu. Masya Allah, apa
tak cukup masalah di dunia ini dari sekedar mengurus sampah beginian?"
Dalam "Genius in Disguise," Kunkel tak mampu menyembunyikan kekaguman
pada Ross. Tapi Kunkel menjaga jarak agar bisa melihat kelemahan-kelemahan
Ross. Kunkel menggambarkan Ross orang ceroboh. Ross senantiasa kekurangan uang
walau penghasilannya besar. Ia acapkali ditipu orang dekatnya. Seorang
sekretaris pernah meniru tandatangan Ross selama beberapa tahun hingga Ross
menderita kerugian US$75 ribu tanpa sadar.
Ross menikah tiga kali, dan tiga kali gagal dengan perkawinannya. Ross pisah
dari Grant pada 1927 dan cerai dua tahun sesudahnya. Mungkin Ross terlalu sibuk
dengan The New Yorker sehingga tak punya waktu banyak buat keluarganya. Ross
menikah dengan istri keduanya yang memberinya seorang putri.
Walau sudah cerai dengan Grant, Ross terikat kontrak memberi bantuan keuangan
pada Grant. Ross juga rutin bertemu dengan mantan istri pertamanya karena Grant
ikut mendirikan, dan memegang saham The New Yorker. Grant juga dibutuhkan
karena ia bisa menjembatani perseteruan Ross dan Fleischmann.
PERANG Dunia II
mengubah penampilan The New Yorker. Jane Grant mengusulkan The New Yorker
dicetak khusus untuk edisi perang. Rapat pemilik saham setuju dan majalah ini menciptakan edisi mini, tanpa
iklan dan ukurannya lebih kecil, khusus dibagikan buat tentara Amerika di medan
perang.
Sambutan prajurit Amerika ternyata besar sekali sehingga pihak militer Amerika
bersedia membayar subsidi kertas dan biaya lain sedemikian rupa sehingga edisi
mini ini sampai dicetak 150 ribu pada akhir 1944. Bersamaan dengan terbitnya
edisi mini, para kontributor The New Yorker lebih banyak meliput perang besar
itu.
Koresponden The New Yorker A.J. Liebling pada Maret 1943 menerbitkan laporan,
"The Foamy Fields," tentang sebuah kamp angkatan udara Amerika,
dengan pilot, mekanik dan perwira intelijen di selatan Tunisia di Afrika utara.
Liebling datang suatu malam, tidur di sebuah tenda berlubang, bersama dua
mekanik. Suasana gelap sekali, karena dilarang menyalakan lampu, yang
memudahkan musuh menyerang. Liebling bahkan tak mengenal wajah teman setendanya
walau mereka berkenalan dan bercakap-cakap dalam gelap. Mereka datang ketika
gelap dan sebelum terang sudah keluar dari tenda.
Laporan Liebling berbeda dengan kebanyakan laporan perang lain karena ia justru
tak tertarik pada masalah makro. Dia bercerita bagaimana ia berkenalan dengan
pilot muda. Sambil menunggu jam patroli, para pilot itu bermain dengan
anak-anak anjing, lalu membuka kiriman surat. Ada yang dapat kue kering,
permen, majalah, mereka juga main kartu. Semua senang, tertawa, dan tengah
hari, mereka santai menuju hanggar buat patroli rutin. "Sebentar
saja," ujar seorang dari delapan pilot itu pada Liebling.
Dua jam, patroli itu kembali, Liebling kaget ketika melihat pesawat pertama
mendarat dengan roda tak mau keluar dari sangkarnya. Cairan oli menetes keluar.
Pendaratan yang berbahaya tapi selamat. Pilotnya penuh luka. Lalu pesawat dua,
tiga, empat, lima, juga datang, tubuh pesawat penuh tembakan, kaca pecah. Tapi
pesawat keenam, ketujuh dan kedelapan tak kembali.
Patroli rutin itu berubah jadi tragedi. Mereka disergap pesawat Jerman. Dan
pilot yang bilang "sebentar" termasuk yang tertembak pesawat Jerman.
Liebling memakai kata "saya" untuk bercerita apa yang dilihatnya.
Liebling sebenarnya bercerita tentang kegetiran perang, tentang dilema
kekerasan untuk menyelesaikan pertikaian. Liebling menjadikan perang sebagai
sesuatu yang dekat, yang kejam, dilihat dari jarak dekat. Banyak yang meniru
gaya Liebling.
Ada kontributor yang menyaksikan langsung bagaimana bom dijatuhkan di daerah
Jerman. Ia masuk ke perut pesawat bomber, mencatat anak muda yang ragu
menjatuhkan bom, atau pilot yang kuatir terkena tembakan meriam anti-pesawat.
Ada kontributor yang menyaksikan pertempuran di Iwo Jiwa. Ada juga yang meliput
Teluk Persia. Samudera Pasifik. Okinawa.
Janet Flanner, koresponden The New Yorker di Paris, membuat cerita yang menarik
tentang seorang nyonya Amerika yang melarikan diri dari Paris, lewat
pemeriksaan demi pemeriksaan, hingga kembali di Amerika.
Namun, namanya juga perang, The New Yorker terpaksa memberikan toleransi
terhadap laporan yang berlepotan, kiriman via kawat kadang tidak sambung, terpaksa
diulang, tambah bobrok -sehingga pekerjaan editor jadi banyak melakukan
penulisan ulang. Editor macam Ross memperlihatkan kekuatannya justru ketika
harus mengubah laporan yang berlepotan, minta kiriman ulang, mengecek ulang
fakta demi fakta, menimbang logika, dan mengubah laporan medan perang itu jadi
artikel yang enak dibaca.
Saking dahsyatnya
liputan kontributor macam Liebling dan Flanner, dua tahun setelah perang usai,
pada 1947, majalah ini menerbitkan buku "The New Yorker Book of War
Pieces." Isinya melulu liputan Perang Dunia II. Buku ini dianggap karya
klasik sehingga terus-menerus dicetak ulang hingga kini.
Namun dari sekian naskah perang, tampaknya tak ada yang mengalahkan laporan
John Hersey berjudul "Hiroshima"
yang terbit 31 Agustus 1946. Laporan ini sering disebut sebagai karya
jurnalisme terpenting di Amerika abad XX.
Hersey mulanya bekerja buat majalah Life. Alumnus Universitas Yale dan tinggal
di Cambridge, kota
kecil di pinggiran Boston.
Wartawan muda ini suatu
sore pada 1942 pergi dengan istrinya, Frances Ann Cannon, menonton sebuah
pertunjukan seni.
Menurut Ben Yagoda -memanfaatkan arsip-arsip internal The New Yorker buat bahan
"About Town"- Cannon memperkenalkan suaminya dengan bekas pacarnya,
seorang letnan angkatan laut Amerika bernama John F. Kennedy. Kedua lelaki ini
tampaknya cocok apalagi setelah Kennedy bercerita bagaimana kapalnya tenggelam
di sebuah pulau di selatan Pasifik.
Selama berhari-hari, Kennedy berenang, dari satu pulau ke pulau lain, membawa
anak buahnya yang luka, untuk mencari bantuan. Ia harus berhati-hati karena
patroli Jepang acap muncul di perairan itu. Hersey tertarik pada heroisme
Kennedy dan memutuskan untuk mewawacarai Kennedy lebih dalam beserta beberapa
anak buahnya.
Hersey menawarkan
laporan itu kepada Life tapi ditolak sehingga dialihkannya ke The New Yorker
dengan judul "Survival." Kelak "Survival" dicetak ratusan
ribu oleh keluarga Kennedy, untuk membantu kampanye John F. Kennedy menjadi
senator dan, pada gilirannya, Presiden Amerika Serikat.
"Survival" juga membuat Hersey dekat dengan The New Yorker. Ketika
pada akhir 1945 ia hendak pergi ke Cina dan Jepang, untuk melihat situasi pasca
Perang Dunia II, ia mendatangi dulu kantor The New Yorker.
Hersey bertemu dengan William Shawn, redaktur pelaksana The New Yorker, dengan
siapa ia berdiskusi sekitar 10 buah ide laporan. Satu di antaranya membuat
laporan pemboman lewat kacamata penduduk kota
yang dijadikan sasaran bom.
Ide ini mulanya hendak dikerjakan oleh kontributor lain terhadap kota Cologne,
Jerman, yang dihujani bom sekutu. Tapi pemboman Hiroshima
membuat Cologne
terlihat kecil. Shawn menawarkan ide tersebut pada Hersey untuk diterapkan di Hiroshima.
Dalam perjalanan kapal laut dari Cina ke Jepang, iseng-iseng Hersey membaca
novel "The Bridge of San Luis Rey" karangan Thornton Wilder yang
bercerita tentang bencana alam di Peru pada abad 18. Hersey menganggap ide Wilder yang menceritakan
bencana itu dari pandangan beberapa korban bisa dipakainya di Jepang.
Setibanya di Hiroshima, Hersey mewawancarai sekitar 40-an akademisi dan ahli.
Tapi ia juga bicara dengan para korban, lima di antaranya orang Jepang dan satu
orang pastor Jerman. Keenam orang itulah yang dijadikan Hersey sebagai karakter
utama dalam laporannya.
Hersey menceritakan dahsyatnya bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus
soal bom rahasia, ada kematian yang menyeramkan, ada dendam, ada perasaan
rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah
satu artikel termahsyur dalam sejarah jurnalisme Amerika. Ia menceritakannya
lewat pengalaman enam orang itu.
Ketika kembali ke Amerika, Hersey butuh waktu enam minggu untuk menulis.
Mula-mula Hersey membuatnya jadi empat bagian, dengan harapan, The New Yorker
memuatnya dalam empat nomor bersambung. Shawn mengedit keempatnya hingga
selesai. Shawn merasa laporan Hersey bagus sekali sehingga ia datang ke Ross
dan berkata, "Ini tidak bisa dibuat bersambung. Ini harus terbit sekali
jadi." Ross agak bingung karena laporan Hersey sepanjang 30 ribu kata
bakal menghabiskan seluruh halaman majalah itu.
Selama 10 hari, dari pukul 10 pagi hingga pukul 2 dini hari, Shawn dan Ross
mengurung diri di kamar kerja Ross, melakukan editing laporan tersebut. Gaya
Ross dalam menyunting adalah melayangkan pertanyaan tertulis. Untuk bagian
pertama saja, Ross menghasilkan 47 pertanyaan buat Hersey. Ketika sudah
direvisi, Hersey masih mendapat enam pertanyaan lagi. Ross bertanya hal-hal
kecil, misalnya, kejelasan, konsistensi, diksi, tata bahasa atau logika. Ross
memutuskan laporan Hersey bisa terbit dalam satu nomor.
Sehari sebelum diterbitkan, The New Yorker mengirim nomor awal edisi itu ke
koran lain. Surat pengantarnya menjelaskan bagaimana bom itu membunuh 100 ribu
dan melukai 100 ribu penduduk Hiroshima yang jumlahnya 245 ribu.
Ketika muncul di
pasar, The New Yorker habis diserbu pembaca. Minggu itu tak ada media Amerika yang tak
memberitakan laporan Hersey. New
York Times memuatnya. New York Herald Tribune membuat ringkasannya. America
Broadcasting Company membacakan laporan itu buat pendengarnya empat hari,
masing-masing setengah jam, berturut-turut tanpa interupsi siaran iklan. Di
seberang Samudera Atlantik, radio British Broadcasting Corporation juga
membacakan naskah Hersey.
Seorang pembaca The New Yorker menulis tak seorang pun tak membicarakan laporan
Hersey selama dua hari berturut-turut di seluruh New York, di restoran, di
kereta api, dan di rumah. Koran-koran memberitakannya dan New York meledak gara-gara laporan
Hersey.
Laporan Hersey memicu sebuah gerakan anti bom nuklir, yang gemanya terasa
hingga beberapa dekade, terutama dalam suasana Perang Dingin. Laporan Hersey
juga menggugah kesadaran manusia bahwa bom nuklir tak layak dipakai dalam
perang, ia secara pukul rata membunuh semua orang, sipil atau militer, wanita
dan anak-anak.
Laporan Hersey juga
mengukuhkan The New Yorker sebagai majalah serius. Ia bukan lagi majalah ringan. Kehadirannya
diperhitungkan. Konon fisikawan nuklir Albert Einstein, tak mendapatkan edisi
31 Agustus 1946 tersebut. Einstein ingin membeli 1.000 buah lagi buat diberikan
ke teman-temannya. Majalah itu laku habis. Einstein tak kebagian.
PADA 5 Desember 1951, maut menjemput Ross karena kanker saluran pernafasan. Ia
meninggalkan seorang putri, yang masih kecil, serta istri ketiga yang dalam
proses perceraian. Shawn, redaktur pelaksana The New Yorker, resmi menggantikan
Ross pada 21 Januari 1952.
Berbeda dengan Ross yang ramai, dan suka bergurau, Shawn orang sopan, pendiam,
pemalu, walau terkadang dianggap eksentrik dan misterius. Kalau Ross senang
mengirim surat dan memo, Shawn hemat tulisan, Shawn lebih suka bicara via
telpon, tatap muka, atau mengirim telegram pendek. Ketika mulai bekerja, Shawn,
tak menunjukkan kemampuan menulis yang luar biasa. Tapi ia teliti dalam reportase.
Tapi kesamaan Ross dan Shawn adalah kecintaan mereka pada jurnalisme. Mereka
juga tak suka publikasi, dan tak mau namanya muncul dalam The New Yorker.
Suksesi ini mulus karena Shawn termasuk editor senior, dan tak ada seorang pun
berharap Shawn menciptakan perubahan pada The New Yorker.
Ben Yagoda menggambarkan sepuluh tahun pertama kepemimpinan Shawn sebagai
biasa-biasa saja. Shawn menjaga mutu The New Yorker, tapi perlahan-lahan ia
merekrut orang muda berbakat, menggantikan orang lama. Ia tak segan menelpon pers mahasiswa, mengajak
wartawan muda, bergabung ke The New Yorker.
Seorang wartawan Harvard Crimson, koran mahasiswa Universitas Harvard, satu
hari menerima telpon, suara sopan di ujung telpon memperkenalkan diri,
"Saya William Shawn dari The New Yorker." Mahasiswa itu mengira ada
teman mengerjainya. Telpon dibanting. Beberapa tahun kemudian dia sadar bahwa
Shawn memang menelponnya hari itu.
Shawn, dengan gaya
kepemimpinan yang sopan, perlahan-lahan mencapai lagi era gemilang The New Yorker
ala Ross. Satu demi satu, artikel hebat bermunculan, mulai dari Truman Capote
yang menulis pembunuhan berdarah dingin sebuah keluarga petani, hingga laporan
pengadilan satu tukang jagal Nazi Jerman, yang ditangkap di Argentina dan diadili di Israel. Orang mulai berdecak kagum
pada Shawn.
Pada Juni 1962 Shawn menerbitkan laporan ahli biologi Rachel Carson berjudul
"Silent Spring." Laporan ini bercerita dampak pemakaian pestisida
terhadap ekosistem. Pestisida mematikan serangga tapi meracuni tanaman pangan,
membuat polusi lingkungan hidup, membunuh binatang lain bahkan membahayakan
manusia.
Carson butuh tiga tahun
untuk riset, meliput pengadilan perusahaan produsen pestisida, dan wawancara
buat "Silent Spring." Karyanya dianggap monumental, karena pertama
kali, dalam sejarah biologi, hubungan manusia dan alam, dijelaskan secara
populer dan detail. Ketakpedulian manusia akan lingkungan hidupnya, berarti
malapetaka.
Laporan Carson membuat penjualan The New Yorker meloncat tinggi. Ia setidaknya
mencapai tingkat sensasi hampir sama dengan "Hiroshima" karya John
Hersey. Ketika diterbitkan sebagai buku, harian New York Times mencatat
"Silent Spring" sebagai buku paling laku selama 32 minggu.
"Silent Spring" bahkan selama beberapa dasawarsa menjadi inspirasi
gerakan lingkungan hidup modern.
Shawn juga
menerbitkan esei James Baldwin, judulnya "Down at the Cross" yang
risetnya mulai 1959 ketika Baldwin mengajukan
proposal bepergian ke Afrika. Baldwin ingin menulis benua hitam ini, dari mana budak-budak perkebunan
Amerika didatangkan. Tapi Baldwin kurang mujur. Reportasenya tak selesai.
Sebagai ganti, ia membuat sebuah esei, tentang hubungan orang kulit hitam dan
kulit putih di Amerika. Baldwin mengira eseinya bakal ditolak. The New Yorker
tak pernah memuat esei. Ternyata Shawn menerima. Ini salah satu perubahan radikal yang dibuat
Shawn. Ia merasa ketakmauan Ross memuat esei sudah saatnya ditinggalkan. The
New Yorker perlu memuat ide-ide baru, agar pembaca bisa mengikuti
pemikiran-pemikiran mutakhir.
Di Amerika, isu rasial adalah isu peka. Baldwin menyerang orang kulit putih
liberal yang menganggap "pernyelesaian masalah Negro tergantung pada
kecepatan orang-orang Negro untuk menerima dan berasimilasi dengan standar
hidup orang kulit putih." Baldwin berargumentasi orang kulit hitam,
sebagaimana layaknya kaum minoritas di mana pun, berhak punya kebudayaan dan
standar hidup sendiri. Mereka tak harus mengikuti kehendak mayoritas!
Baldwin ikut mengompori gerakan anti-diskriminasi rasial di Amerika. Secara internal The New Yorker konsisten dengan
mempekerjakan wartawan kulit hitam. Jaman Harold Ross, semua wartawan The New
Yorker orang kulit putih. Tapi Shawn mengubahnya.
PADA 1965 ketika The New Yorker merayakan ulang tahun ke-40, media lain
berlomba-lomba menurunkan laporan sukses majalah ini. Tapi seorang kontributor
harian New York Herald Tribune, Tom Wolfe, ingin tampil beda. Ia minta waktu
wawancara dengan Shawn, sebagaimana biasa, Shawn menolak, menolak menjawab
pertanyaan tertulis, menolak melakukan verifikasi naskah Wolfe.
Wolfe jalan terus dan menerbitkan sebuah parodi dengan judul "Tiny
Mummies" di mana Wolfe mengolok-olok para redaktur The New Yorker sebagai
orang yang kerjanya mengawetkan ... mumi peninggalan Harold Ross. Majalah The
New Yorker seakan-akan disebutnya sudah mati, tinggal mayat, yang diawetkan
Shawn, yang dioloknya sebagai orang bertubuh kecil, pendiam, kalau bicara
berbisik, kalau bergerak lamban.
Menurut Yagoda, dalam buku "About Town," kritik ini tak benar karena
The New Yorker di bawah Shawn sudah berubah dari majalah peninggalan Ross.
Dalam periode Shawn, muncul beberapa laporan hebat karya Rachel Carson, Truman
Capote, James Baldwin dan sebagainya. Shawn juga memberi banyak perhatian pada
Perang Vietnam, mengambil
sikap yang kritis terhadap perang itu, dengan mengijinkan cendekiawan Amerika
yang anti-Perang Vietnam
untuk mengisi halaman The New Yorker. Shawn juga menurunkan banyak laporan soal
bencana dan lingkungan hidup.
Ada dua Ross yang berpengaruh dalam hidup Shawn. Ross yang kedua, seorang
wanita, bernama Lilian Ross. "Tiny Mummies" mengungkap hubungan
"intim" antara Shawn dengan Ross kedua, salah seorang redaktur senior
The New Yorker. Menurut Wolfe, Lillian dalam sehari bisa beberapa kali berada di
ruangan Shawn. Mereka sering makan bersama, nonton teater, menikmati konser,
jalan bersama dan sebagainya. Wolfe mengungkapkan masa kecil Shawn yang tak
bahagia. Ia bersaudara 12 orang. Seorang teman Shawn diculik di depan mata
Shawn dan ditemukan mati terbunuh.
Dibongkarnya rahasia-rahasia pribadi ini menyakitkan Shawn. Wolfe menuai 16
surat protes gara-gara laporannya. Seseorang menyebut laporan itu bukan saja
"brutal" tapi memanfaatkan kelemahan Shawn, kekurangan fisik dan
psikologisnya, untuk dilukai. Orang lemah, seharusnya diberi simpati, bukan
diolok-olok. Laporan Wolfe, setelah dicek, juga mengandung lebih dari selusin
kesalahan fakta.
Menariknya, 33 tahun setelah parodi Wolfe, Lillian Ross menerbitkan buku
"Here But Not Here: A Love Story" di mana ia menceritakan romannya
selama 40 tahun dengan Shawn. Lillian menceritakan bagaimana ia mulai bercinta
dengan Shawn. Lillian memakai apartemen seorang bintang film, sekitar 10 blok
dari apartemen Shawn, untuk menjalin hubungan asmara. Lillian merayakan setiap
libur Natal bersama Shawn tapi membiarkan Shawn merayakan liburan Thanksgiving
bersama istri dan anak-anaknya.
"Bill mengatakan bahwa Cecille menerima pengaturan ini. Saya pikir,
'Mungkin Cecille sangat mencintai Shawn sehingga ia membiarkan Shawn melakukan
apa saja asal Shawn tetap hidup,'" kata Lillian Ross.
Renata Adler dalam
buku "Gone: The Last Days of The New Yorker" mengatakan bahwa Lillian
memang orang yang paling dekat dengan Shawn. Adler menyebut Lillian -yang
sebagai wartawan sangat terkenal karena liputannya tentang sastrawan Ernest
Hemingway dan sutradara John Houston- sebagai "istri kantor" Shawn. Jadi Shawn punya dua
istri: Cecille Shawn, istri resminya di rumah dan Lillian Ross, istri kantor.
Adler menganggap terbitnya buku "Here But Not Here," bukan saja
penghinaan buat Cecille dan kedua anak lelaki Shawn, tapi juga pada Shawn
sendiri. Sejauh ini keluarga Shawn tak pernah mengeluarkan reaksi apa pun
terhadap Lillian Ross. Shawn
memang misterius. Selama 38 tahun memimpin The New Yorker, ia jarang memberikan
wawancara. Shawn
pendiam, pemalu, pekerja keras, dan bahkan menghancurkan banyak dokumennya
sendiri, termasuk korespondensi, sehingga sejauh mana kebenaran buku Lillian
Ross, juga masih misteri.
SEJAK awal 1970-an kalangan dalam The New Yorker mulai bicara soal siapa yang
bakal menggantikan Shawn. Shawn sadar bahwa usianya sudah menginjak kepala
tujuh. Pada 1978 Shawn
mengirim surat
pengunduran diri pada direksi The New Yorker.
Tapi dua bulan berikutnya, Shawn membatalkan niat mundur tersebut, dengan
alasan banyak orang tua, antara lain, maestro seni lukis Picasso, berprestasi
ketika mereka berumur 70 tahun ke atas. Editor veteran ini tampaknya kurang sreg dengan
seorang wakilnya yang bakal menggantikannya. Shawn menjagokan editor yang lebih
muda. Tapi orang muda ini kurang disukai oleh anggota redaksi The New Yorker.
Ia dianggap kurang berpengalaman dan terlalu meniru Shawn.
Lama-lama, Shawn dianggap rewel soal penggantinya. Ia tak percaya pada orang
lain. Ia juga gagal mendelegasikan wewenang. Dalam periode magang, orang-orang
yang diharapkan jadi pengganti Shawn, sering tak berdaya karena Shawn
membiarkan para wartawan mengabaikan mereka. Ada calon ketiga yang memilih keluar dari The New
Yorker untuk jadi editor majalah lain.
Pada 1984 kinerja
majalah ini mulai menurun dihantam persaingan dengan televisi maupun majalah
sejenis. Perang Vietnam mempengaruhi sirkulasi The New Yorker karena sikap
editorialnya yang agak melenceng dari arus besar. The New Yorker bagaimana pun
banyak dibaca oleh orang mapan yang ingin liputan Perang Vietnam dibuat dengan
berimbang. Ada juga isu gaji wartawan yang kurang memadai. Usul perubahan
manajemen sering berbenturan dengan Shawn, sedemikian rupa, sehingga pemilik
saham The New Yorker, merasa frustasi, dan akhirnya menerima tawaran pembelian
saham mereka oleh Samuel I. Newhouse Jr.
Newhouse adalah pemilik konglomerat media bernama Conde Nast, salah satu
kelompok bisnis media terbesar di Amerika, dengan pendapatan tahunan rata-rata
US$4 milyar pada 1980-an. Walau besar, citra Conde Nast kurang baik karena
produknya, macam majalah Vanity Fair, Vogue, Glamour, Mademoiselle, GQ,
dianggap pasaran.
Newhouse berambisi bukan saja jadi orang nomor satu kerajaan media yang kaya,
tapi juga media paling bergengsi di Amerika. Newhouse membujuk keluarga Fleischmann, untuk
menjual saham mereka, sehingga Newhouse jadi pemilik saham mayoritas The New
Yorker. Harga yang dibayarnya 40 persen lebih mahal dari harga pasar. Newhouse
membayar total US$168 juta buat membeli The New Yorker.
Newhouse janji tak campur tangan urusan redaksi, minta Shawn mencari pengganti
dari dalam The New Yorker. Tapi tiga tahun berselang, proses itu tetap tak
jelas, dan ketika sudah jelas, Newhouse tak suka dengan calon pilihan Shawn.
Dalam keadaan berlarut-larut, Newhouse memecat William Shawn, dan menggantinya
dengan Robert Gottlieb, editor penerbit buku Alfred A. Knopf, salah satu anak
perusahaan Newhouse.
Para wartawan The New Yorker protes. Tapi
kedatangan Gottlieb ternyata tak jelek. Gottlieb mampu mendinginkan protes
tersebut walau beberapa wartawan, termasuk Lillian Ross dan Renata Adler,
memutuskan mundur dari The New Yorker.
Gottlieb mempertahankan standar mutu The New Yorker. Dalam satu dua hal,
Gottlieb yang suka seni dan teater itu, dan membaca The New Yorker sejak masa
kanak-kanaknya, justru memperbaiki liputan The New Yorker. Gottlieb merekrut banyak
koresponden luar negeri bernama harum, antara lain Raymond Bonner dan David
Remnick, masing-masing spesialis Amerika Latin dan Rusia, untuk menjaga mutu
liputan luar negeri The New Yorker. Pada 1988 Gottlieb mengirim Bonner ke
Indonesia dan menulis laporan panjang tentang keluarga Presiden Soeharto dan
bisnis-bisnisnya.
Tapi usaha Gottlieb
kurang berhasil mencegah kerugian The New Yorker. Sirkulasi praktis tak
berubah, pendapatan iklan kurang memadai, pada 1993 The New Yorker rugi US$30
juta, sehingga Newhouse memecat Gottlieb, menggantinya dengan Tina Brown,
seorang wartawati kelahiran Inggris, yang dianggap berhasil memajukan majalah Vanity
Fair, majalah kebanggaan Conde Nast.
Pergantian ini
menimbulkan reaksi keras. Orang sangsi apakah Brown mengerti makna The New
Yorker buat Amerika? Apalagi Brown mendisain ulang The New Yorker. Brown
menambah halaman para kontributor, lengkap dengan foto mereka, ia juga
menambahkan foto ke dalam halaman-halaman dalam The New Yorker, berwarna dan
hitam-putih, ia juga menciptakan halaman surat pembaca, membuat kalimat eye
catching di bawah judul serta memindahkan byline di awal karangan.
Ross, Shawn maupun Gottlieb selalu meletakkan nama pengarang di akhir karangan,
dengan alasan, mereka tak mau menjual nama penulis. Biarlah pembaca menikmati
suatu karangan, tanpa diiming-imingi siapa penulisnya. Mereka menganggap foto,
bila ada untuk melengkapi suatu cerita, cenderung hanya menjadi kelengkapan
saja. Mereka suka bila laporan mereka, kuat hanya pada narasinya, tanpa perlu
dibantu foto. The New Yorker melengkapi majalah mereka hanya dengan ilustrasi
dan kartun.
Perbedaan lain, Brown tak segan-segan memunculkan hal-hal yang provokatif. Ia
menerbitkan sebuah artikel tentang dildo -penis buatan dari plastik, alat bantu
masturbasi perempuan. Satu saat Brown juga menampilkan maskot The New Yorker
sebagai pemuda punk dengan kulit yang pucat. Brown juga cinta publisitas. Ia
suka popularitas, menyukai wawancara dan membiarkan dirinya diiklankan bersama
The New Yorker.
Bila Shawn menyukai "timelessness" -di mana The New Yorker terbit
tanpa memperhatikan unsur waktu-Brown justru menyukai "timeliness" di
mana kalau perlu dalam satu minggu, disain majalah diganti dua atau tiga kali
untuk mengejar berita yang sedang hangat. Shawn menyukai kedalaman, Brown
menyukai kecepatan.
Renata Adler dalam buku "Gone: The Last Days of The New Yorker"
berpendapat majalah di mana Adler membangun karirnya itu, riwayatnya tamat
bersama pengalihan kepemilikan The New Yorker dari keluarga Fleischmann ke
keluarga Newhouse.
"Orang Conde Nast mengira mereka tahu bisnis dan tahu seni," kata
Adler. Penerbitan Conde Nast, macam majalah Vanity Fair, memang sukses, tebal,
mengkilap, penuh iklan, foto perempuan setengah telanjang, gosip selebritas,
mode pakaian, gaya hidup dan sejenisnya, tapi Vanity Fair bukan tandingan The
New Yorker.
Vanity Fair memang memuat laporan panjang, tapi Vanity Fair tak pernah melewati
kemampuan The New Yorker dalam memuat laporan yang bukan saja panjang, tapi
cerdas, dan mengejutkan macam "Hiroshima" atau "Silent
Spring."
Ketika Newhouse
membeli The New Yorker, ia memperkenalkan teknik penjualan dan promosi yang
agresif. Orang Conde Nast giat mempromosikan The New Yorker, mereka menawarkan
rabat langganan, mereka menaikkan sirkulasi, memasang iklan horizontal, memuat
advertorial dan sebagainya. Brown dianggap sebagai editor yang justru
"lebih dekat" dengan orang pemasaran daripada dengan
wartawan-wartawannya.
Padahal The New Yorker
adalah majalah dengan tradisi menjaga pagar api antara editorial dan iklan.
Iklan tak salah. Tapi iklan harus dibedakan dengan berita. Ibarat pemisahan
negara dan agama. Bila campur aduk, komersialisme bisa merusak jurnalisme.
Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Dampak ambrolnya pagar api, pembaca
kurang percaya dengan berita yang dibacanya. Kekaburan ini terlihat jelas dari
apa yang disebut sebagai "advertorial" -singkatan dari
"advertisement" (iklan) dan "editorial."
Bagi Adler, advertorial bukan kompromi kecil. Advertorial sengaja dibuat untuk
mengundang mata pembaca untuk membacanya, yang dibuat dengan disain dan jenis
huruf, sedemikian rupa, sehingga pembaca mengira artikel itu bagian dari
berita. Padahal advertorial adalah iklan.
Kekuatan The New Yorker, di bawah kepemimpinan Harold Ross dan William Shawn,
adalah kemampuannya untuk hanya diatur, ditentukan oleh rasa ingin tahu dan
semangat dari para redaktur, penulis dan artis The New Yorker, tanpa kuatir
dengan apa yang disukai pembaca, apalagi biro iklan dan pemasang iklan.
Tina Brown tak setia pada prinsip pagar api. Ben Yagoda dalam "About
Town" menyebut Brown mencampur aduk konsep The New Yorker dengan hal lain
yang tak jelas. Ironisnya, dengan segala pergantian itu, Brown juga tak
berhasil menaikkan sirkulasi The New Yorker secara mendasar. Pendapatan
datar-datar saja. Newhouse
rugi terus karena The New Yorker.
Antara 1985 dan 1997, Conde Nast menanggung kerugian US$150 juta buat The New
Yorker. Angka
yang relatif kecil buat Conde Nast dengan rata-rata keuntungan US$4 milyar
setiap tahun. Yagoda belum bisa menyimpulkan mengapa The New Yorker senantiasa
rugi. Mungkinkah karena pasar yang berubah? Orang makin tak butuh bacaan
panjang? Mungkinkah karena persaingan dengan majalah lain? Atau televisi yang
menggaet prosentase iklan terbesar di antara semua media?
Pada 1998 secara mengejutkan Tina Brown mengundurkan diri. Alasan resminya, ia
hendak mendirikan majalah lain. Tapi alasan itu sulit dimengerti. Mungkinkah
Brown capek dikritik kiri-kanan? Mungkinkah ia lelah dengan kesendiriannya?
Mungkin ia merasa tak dimengerti? Penggantinya adalah David Remnick,
koresponden The New Yorker di Rusia, yang dulu direkrut Gottlieb.
Proses pergantian berjalan mulus, mungkin karena Remnick termasuk orang dalam,
pernah memenangkan hadiah Pulitzer. Pekerjaan utama Remnick adalah memoles
ulang pekerjaan Brown, termasuk menghapus foto seronok, foto kontributor, dan
merapikan majalah itu lagi. Perwajahan
The New Yorker jadi lebih dingin ketika Remnick mengambil alih kemudi The New
Yorker. Walau Remnick merekrut beberapa wartawan papan atas, termasuk Seymour
Hersh, mantan wartawan New York Times, yang spesialis investigasi, mungkin terlalu
awal buat Yagoda dan pengamat lain, untuk menilai prestasi Remnick. Hersh
adalah wartawan Amerika yang membongkar pembunuhan penduduk dusun My Lai diVietnam oleh prajurit Amerika pada 1968.
Jelas, Newhouse ingin The New Yorker, tetap jadi salah satu majalah terkemuka
Amerika. Newhouse ingin majalah itu jadi kebanggaan Conde Nast. Persoalannya,
sampai kapan Newhouse bisa bertahan? Seberapa cepat Remnick mampu menaikkan
mutu The New Yorker di tengah persaingan yang makin ketat ini?
DUABELAS tahun setelah membaca The New Yorker secara sembunyi-sembunyi di
Salatiga, pada satu hari yang dingin, ketika salju mulai mencair, di sebuah
ruang diskusi Kennedy School of Government, Universitas Harvard, Cambridge,
saya hadir dalam diskusi soal suka-duka investigasi dalam jurnalisme.
Pembicaranya Raymond Bonner, wartawan The New Yorker yang bikin laporan Indonesia, pada
1988.
Ada sekitar 30 orang
dalam ruangan itu. Ada beberapa wajah Asia. Kebanyakan orang kulit putih. Hanya
beberapa menit, Bonner masuk dan mengambil duduk.
"Lho, orangnya kok kecil?" pikir saya.
Dalam sampul buku karangan Bonner "Waltzing with a Dictator," foto
Bonner menggambarkan wajah laki-laki berwajah keras, rambutnya agak panjang,
belah pinggir, agak berantakan, rahang kuat, segi empat dan bibir berkerut.
Saya bayangkan orangnya pasti tinggi besar.
Bonner di ruang seminar itu ternyata kecil, untuk ukuran Amerika, mungkin hanya
170 cm, bicaranya cepat, ramah, suka tertawa, menggerak-gerakkan tangan,
kelihatan selalu berusaha meyakinkan orang -mengingatkan saya pada makelar emas
partikelir yang bekerja sepanjang jalan dekat toko ayah saya di Jember.
Saat itu musim semi 2000. Seusai diskusi, saya memperkenalkan diri. Bonner
kelihatan senang mengetahui di sudut Amerika ini ada wartawan dari Indonesia,
duduk dan mendengarkan paparannya.
Saya ingat, ia bertanya, "Apa pendapat Anda tentang Gus Dur? Dia orang
baik bukan?"
Pada liputannya 1988, Bonner mewawancarai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang
diperkenalkannya sebagai satu dari dua cendekiawan paling terkemuka di
Indonesia. Satunya lagi Nurcholish Madjid.
Bonner kelihatan tertarik bicara soal ulama yang sempat diwawancarainya, yang
kemudian menjadi presiden Indonesia keempat. Mungkin Bonner tak membayangkan
Gus Dur bisa jadi presiden.
"Saya punya beberapa kenalan di Indonesia. Satu di antaranya adalah
wartawan. Aduh siapa namanya ya?" ujar Bonner.
"Mungkin ..." jawab saya.
"Jangan, jangan, dijawab, saya ingat, saya ingat, saya juga ketemu
istrinya yang juga editor. Ini wartawan terkenal ... namanya, namanya, ...
Mohamad," kata Bonner tersenyum puas.
"Goenawan Mohamad," kata saya.
Sehari kemudian, kami ikut jamuan makan malam yang diadakan oleh Nieman
Foundation di Faculty Club milik Universitas Harvard. Istri Bonner, Jane
Perlez, koresponden New York Times, memberikan keynote speech tentang suka-duka
liputan luar negeri.
Ketika ada kesempatan berdua, saya ceritakan pada Bonner bagaimana artikel
"New Order" dari The New Yorker itu saya dapatkan di Salatiga.
Artikel itu dibendel rapi, tersebar merata di kelompok-kelompok diskusi
mahasiswa, yang lagi menjamur, di Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Jakarta dan
mungkin kota-kota lain.
"Artikel itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia," kata saya seraya
menambahkan laporannya ikut mengompori gerakan mahasiswa di Indonesia.
Bonner sedikit kaget dengan adanya terjemahan itu. Dia bilang dia senang dan
tertarik untuk mendapatkan satu fotokopi. Saya kira, banyak mahasiswa lebih
mengerti politik Jakarta, dengan memandang cermin yang dibuat dari New York
itu.
Malam itu, ketika berjalan kaki pulang, saya berpikir "New Order"
mungkin tak mengubah dunia sebanyak "Hiroshima" karya John Hersey
atau "Silent Spring" karya Rachel Carson. Bonner tak menulis soal bom
nuklir atau bahaya pestisida. Bonner menulis soal seorang kepala negara, nun
jauh di seberang lautan, yang sedang ada di puncak kejayaannya, ketika
anak-anak kepala negara itu mulai merambah dunia bisnis, merampok negaranya
sendiri, ketika masalah Timor Timur kelihatannya mulai sukses di tangan
Indonesia.
Sejarah ternyata terbalik. Tiga tahun sesudah laporan itu ditulis,
tentara-tentara Indonesia yang tak berdisiplin, membantai orang-orang Timor
Timur di kota Dili. Ada wartawan asing merekamnya dalam video. Kebengisan dan
kekejaman itu menyebar ke seluruh dunia. Menteri Luar Negeri Ali Alatas
menganggap peristiwa Dili pada November 1991 itu sebagai titik balik diplomasi
internasional Indonesia.
Tapi sang raja tetap percaya diri. Sidang MPR tetap dibuatnya sebagai stempel
saja. Sepuluh tahun setelah laporan itu, Presiden Soeharto kembali merekayasa
sidang MPR agar dipilih lagi. Padahal badai krisis ekonomi menerjang deras.
Ekonomi Indonesia gemetar. Rupiah ketakutan. Kali ini tak ada Sudharmono, tidak
ada Benny Moerdani. Wakil presiden yang ditunjuknya B.J. Habibie, seorang
insinyur cerdas yang lucu, yang belasan tahun membantunya.
Soeharto hanya bertahan dua bulan. Pada Mei 1998 ia turun tahta dengan
kesedihan dan malu. The
New Yorker, sedikit banyak, ikut merintis tumbangnya diktator ini.*