TANGAN Inen Tauhid bergerak cepat. Seperti memetik
dawai-dawai harpa yang bersenar banyak, jari manis, tengah, telunjuk dan ibu
jarinya memetik buah-buah kopi merah matang dari tangkainya dengan cekatan.
Tangan kanan, tangan kiri sama lincahnya. Ribuan bahkan puluhan ribu buah kopi
biasa terkumpul dalam sehari.
Setelah buah kopi di pohon yang satu selesai dipetik, Inen akan beralih ke
pohon lain yang jaraknya satu sama lain sejauh dua meter. Sementara itu di
bawah sebatang pohon kopi, tampak sebuah ember plastik untuk menaruh buah kopi.
Jika ember ini penuh, tidak jauh dari situ tersedia karung-karung plastik untuk
mengumpulkan buah-buah tersebut.
“Dalam satu hari, saya bisa memetik enam sampai sembilan kaleng (ember) buah
kopi,” ujar Inen. Ia berusia 30 tahun, ibu beranak tiga, lulusan madrasah
tsanawiyah atau setara sekolah menengah pertama. Sementara Aman Tauhid,
suaminya berumur 35 tahun, hanya sempat mengecap pendidikan sampai kelas empat
sekolah dasar.
Aman menemani Inen memanen kopi. Tapi ia cuma mengambil cabang-cabang pohon
kopi tidak berproduktif dan dianggap hanya mengurangi panen buah kopi di tahun
berikutnya.
“Kalau saya ikut ngutip kopi, dalam sehari hanya mampu memetik satu kaleng.
Jadi banyak rugi waktu dan tidak produktif,” kata Aman.
Di pinggang kirinya terselip sebilah parang yang diikat dengan tali karet
melingkari pinggangnya. Ia memakai sepatu bot. Seekor anjing jantan menyalak
saat saya mendekati Aman. Anjing biasa menemani Aman dan para petani di
Takengon, Aceh Tengah saat berada di kebun.
Anjing banyak manfaatnya. Selain untuk berburu babi yang dianggap
Di setiap kebun, biasanya ada dangau atau rumah kebun. Tidak luas. Hanya untuk
istirahat dan makan siang atau minum kopi dan menaruh alat-alat berkebun
seperti cangkul dan semprot tanaman (handsprayer). Biasanya rumah kebun
tanpa dinding. Ukurannya 2 x 2 meter persegi. Bahkan ada yang lebih kecil
dengan tinggi tak lebih dari satu setengah meter. Atapnya dari seng bekas.
Tiangnya dari bambu atau kayu bekas. Sementara itu rumah tinggal petani kopi
seperti Aman berada sekitar setengah kilometer dari kebunnya.
Kebun Aman tidak luas. Hanya tujuh rante. Satu rante berukuran 25 x 25 meter
persegi.
“Dalam Rp. 15 juta itu, semua kebutuhan hidup seperti sandang, pangan dan
papan,” kata Aman kepada saya.
Ternyata Aman tak hanya mengandalkan kopi. Di sela-sela batang kopi itu, ia dan
istrinya menanam cabe rawit. Orang Gayo menyebutnya cabe caplak.
Harga cabe rawit tak pernah tetap, berkisar antara Rp.2.000 sampai Rp.20 ribu
per kilogram. Menanam cabe rawit sangat membantu perekonomian keluarga ini.
Uang hasil kopi ternyata tak bisa diandalkan sepenuhnya untuk menopang
kebutuhan mereka.
Kebun kopi panen dua kali setahun. Panen pertama pada bulan April sampai Mei.
Jeda tiga bulan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Panen kedua dimulai pada
bulan September dan puncaknya antara bulan November dan Desember.
“Jika panen raya, biasanya kami mempekerjakan dua orang tetangga untuk mengutip
kopi. Satu kali masa panen mencapai 150 kaleng,” tutur Inen.
Ongkos panen kopi per kaleng berkisar antara Rp.9.000 sampai Rp 10 ribu. Satu
orang pengutip kopi bisa memetik hingga sembilan kaleng.
“Saat ini harga per kaleng kopi dengan kulitnya Rp.55 ribu,” kata Aman, sambil
menghisap rokok kretek bermerek 152.
Petani seperti Aman biasa menjual kopi kepada toke (pedagang pengumpul)
yang biasanya warga setempat.
Oleh sang toke, kebun Aman diberi label setahun lalu yang menandakan
Aman adalah anggota petani organik koperasi Baburrayan. Baburrayan adalah
mitra eksportir kopi asal Amerika. Eksportir Amerika ini punya mesin
penggilingan kopi di Pegasing, di kecamatan Pegasing, Aceh Tengah.
Eksportir Amerika hanya membeli kopi petani lewat Baburrayan.
Belum lagi urusan dengan toke.
Setelah membeli buah kopi dari para petani di siang hari, toke kemudian
menggiling buah kopi tersebut di malam hari.
“Paginya, kopi yang digiling semalam dicuci sampai bersih dengan menghilangkan
lemak pada kopi merah,” kata Amri, salah seorang toke.
Oleh Amri, kopi yang telah dibasuh dijemur di pinggir jalan beraspal di depan
rumahnya. Hanya dibutuhkan setengah hari jika cuaca bagus. Kemudian kopi giling
yang disebut gabah ini dijual lagi kepada pedagang yang lebih besar. Harga
gabah mencapai Rp.15 ribu per bambu.
Sementara harga beli kopi di Baburrayan malah lebih rendah: Rp.14.700.
Produksi kopi di
Namun, petani yang menjadi penghasil kopi rakyat tidak mempunyai modal,
teknologi, dan pengetahuan yang cukup untuk mengelola tanaman yang mereka
miliki secara optimal. Dengan demikian, produktivitas tanaman relatif rendah
dibandingkan dengan potensinya. Selain itu, petani umumnya juga belum mampu
menghasilkan biji kopi dengan mutu seperti yang dipersyaratkan untuk ekspor.
Beberapa faktor penyebabnya adalah minimnya sarana pengolahan, lemahnya
pengawasan mutu pada seluruh tahapan proses pengolahan dan sistem tata niaga
kopi rakyat yang tidak berorientasi pada mutu.
Selain itu, dalam
Seiring dengan semakin baiknya kondisi keamanan Aceh, dataran tinggi Gayo yang
merupakan sentra produksi kopi Arabika terbesar di
Menurut John R Bowen, dalam bukunya Sumatran Politics and Poetics, Gayo
History, 1900-1989, menulis bahwa pohon kopi Arabika di Aceh Tengah telah
ditanam pada tahun 1908.
Di masa tersebut Belanda mulai mengembangkan kopi di Aceh Tengah secara
besar-besaran bersama komoditas lainnya, seperti teh dan sayur. Karena menurut
Belanda, masyarakat Aceh Tengah sangat cepat menerima jenis tanaman baru dan
tentu saja faktor iklim yang sejuk itu sangat mendukung. Kini 83, 19 persen
penduduk Aceh Tengah bermatapencaharian sebagai petani kopi.
Di pasaran kopi dunia, kopi Arabika sejak lama telah dikenal dengan sebutan Sumatera
Mandailing/Lintong Coffee. Dan akhir-akhir ini kopi Aceh Tengah telah
dijual dengan nama
Ekspor kopi Aceh Tengah pada tahun 1990-an lebih banyak ke Jepang, Namun dewasa
ini, Amerika Serikat merupakan pasar terbesar bagi kopi Aceh
Tengah. Pada tahun 2000, Amerika Serikat merupakan pasar utama dengan
persentase sebesar 53,70 persen, disusul Jepang sebesar 22,34 persen dari
keseluruhan jumlah ekspor kopi Aceh Tengah sebesar 4.254 ton.
Tak kurang dari mantan presiden Amerika Serikat Bill Clinton pernah mengatakan
kepada media bahwa kopi Gayo akan digaet Starbuck.
Sebelum pernyataan Bill Clinton muncul, beberapa pengusaha asing bahkan sudah
menanam sahamnya di Takengon dan Bener Meriah. Bahkan ada yang mengawini gadis
setempat.
Seorang petani kopi asal Takengon, Aman Shafa, berkata, “Kenapa tidak ada
keberanian dari Pemda (Pemerintah Daerah) untuk menjadikan Aceh sebagai
provinsi kopi atau kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagai Kabupaten
Kopi? Seperti pernah dilakukan oleh Amerika Latin dengan melakukan revolusi
kopi dengan menyebut Negara Kopi untuk negeri mereka.”
Terlebih lagi dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah terlihat jelas bahwa
sektor pengembangan kopi masih berada di urutan paling bawah.
Areal perkebunan kopi di Aceh Tengah pada saat ini telah mencapai 46.286
hektare dan mempunyai potensi untuk dikembangkan sampai 65.000 hektare.
Hampir seluruh perkebunan kopi yang ada merupakan perkebunan kopi rakyat dengan
pola swadaya masyarakat. Macam varietas yang dikembangkan juga beragam namun
varietas lokal (seperti Bergendal, Sidikalang, dan Rambung) masih menempati
urutan tertinggi, yaitu lebih kurang 34,17 persen dari seluruh luas kebun kopi
di Aceh Tengah. Sisanya berupa varietas HDT (Timor Timur), Lini-S (Jember, Jawa
Timur) dan Catimor dengan perbandingan yang hampir sama.
DI salah satu edisi harian Bisnis Indonesia, sebuah
media Jakarta, disebutkan bahwa “Kopi Gayo” telah didaftarkan oleh pengusaha
Belanda sebagai merek dagang di sana, sehingga eksportir kopi dari daerah Gayo
tidak bisa mengekspor komoditas itu dengan menggunakan merek “Kopi Gayo” lagi.
Hal ini merugikan pengusaha setempat, padahal seharusnya kopi Gayo berpotensi
didaftarkan sebagai produk indikasi geografis karena unik.
"Ditjen Hak Kekayaan Intelektual sudah bisa menerima pendaftaran indikasi
geografis," ujar Elizar Darmanto, Kasubdit Indikasi Geografis Direktorat
Merek.
Pendaftaran indikasi geografis bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap produk yang bersangkutan.
Bila ada pihak lain menggunakan indikasi geografis, padahal bukan berasal dari
wilayah yang sudah ditentukan, maka mereka bisa dituntut.
Sekadar contoh, pengusaha kopi di Makassar tidak boleh menggunakan kata “Kopi
Toraja” untuk produk kopi yang dihasilkan di wilayah
Elizar mengemukakan pemerintah kini terus melakukan sosialisasi kepada daerah
yang berpotensi, supaya masyarakatnya mau mendaftarkan produk berindikasi
geografis.
Menurutnya, banyak hasil pertanian, produk olahan dan hasil kerajinan yang
berpotensi didaftarkan sebagai produk indikasi geografis, misalnya lada
Lampung, tembakau Deli, beras Cianjur, salak Pondoh, markisa Medan, markisa
Makassar, atau mangga Indramayu.
"Di Thailand, telor asin saja didaftarkan sebagai produk indikasi
geografis.
*) Win Ruhdi Bathin adalah Kontributor Pantau Aceh Feature Service di Aceh
Tengah. Ia adalah wartawan Harian Rakyat Aceh.