Dia mengawali karier di The Jakarta Post dan kembali lagi setelah malang-melintang di media asing. Dia membawa gaya penulisan baru, pintar membaca peluang bisnis, dan kini memimpin jaringan media Asia.
LELAKI
itu berdiri di antara para undangan. Dia mengenakan setelan jas dan celana
panjang hitam. Dari balik kacamatanya, dia mengamati orang-orang datang.
Di tangannya segelas anggur. Sesekali dia melempar senyum, menyapa, berjabat
tangan, tertawa, dan menerima ucapan selamat dari para tamu.
Pesta tengah digelar di tepi kolam renang sebuah hotel berbintang lima di
kawasan Kuningan, Jakarta. Lampu-lampu hias meliliti batang palem dan kelapa
yang menjulang mengitari kolam. Beberapa pramusaji berjas putih mengedarkan
anggur dan minuman ringan di baki.
Di buku tamu saya membaca nama duta besar Amerika Serikat, Inggris, Lebanon,
Libya, Chile, Korea Selatan, Meksiko, dan puluhan pejabat serta orang penting
lain. Malam itu, Selasa, 25 April 2006, harian The Jakarta Post berulang
tahun ke-23.
Lelaki tadi tak lain Endy Mouzardi Bayuni. Sudah dua tahun dia menjabat
pemimpin redaksi The Jakarta Post, suratkabar berbahasa Inggris
yang diterbitkan Kelompok Kompas Gramedia.
“Ini kesempatan kita melakukan diplomasi lewat jurnalisme,” ujarnya kepada saya
malam itu.
Sebulan sebelum pesta ulang tahun korannya, dia terbang ke Kolkatta, India,
mengikuti pertemuan tahunan Asia News Network. Ini aliansi 14 suratkabar
berbahasa Inggris yang terbit di 12 kota Asia yang dibentuk setahun silam. Anggota jaringan ini antara lain China Daily
(Republik Rakyat China), Yoimuri Shimbun (Jepang), The Island (Srilanka),
The Korea Herald, The Straits Times, The Nation
(Thailand), Viet Nam News, The Daily Star (Bangladesh), Philipine
Daily Inquirer, The Jakarta Post (Indonesia), Sin Chew Daily
(Malaysia), The Statesman (India), Star (Malaysia). Yang hadir di pertemuan
itu adalah pemimpin redaksi dari masing-masing media.
Mereka membahas sejumlah program kerja sama. Salah satunya menerbitkan majalah
berbahasa Inggris, Asianews. Majalah mingguan ini terbit Februari 2007
lalu. Tapi masih dijual terbatas. Baru disediakan bagi penumpang pesawat di 16
maskapai yang tergabung dalam Star Alliance. Antara lain Singapore Airlines, Thai, US
Airways, Air , Asiana Airlines, Lufthansa, United, atau di Scandinavian
Airlines.
Redaksi dan percetakan Asianews di Thailand, tepatnya di harian The
Nation. Di
samping bentuk cetak, pembaca dapat mengakses berita-beritanya di www.asianewsnet.net.
”Kami ingin mengisi kekosongan majalah berita mingguan berbahasa Inggris
setelah Asiaweek dan Far Eastern Economic Review tutup,” kata
Endy. Dua majalah yang disebut Endy itu merupakan majalah bergengsi dengan
fokus laporan seputar dinamika yang terjadi di benua Asia.
”Memang ada Time Asia, tapi itu kan lebih berperspektif Amerika. Nah,
kalau kita inginnya lebih berperspektif Asia,” kata Endy kepada saya.
April 2007, aliansi media itu melakukan pertemuan yang kedua. Tapi kali ini
Endy tak sekadar mewakili hariannya. Mulai Maret 2007 lalu didaulat jadi ketua Asia
News Network. Tugasnya mengkoordinasikan para pemimpin redaksi harian dalam
jaringan tersebut. Sebelum Endy, posisi itu dipegang pemimpin redaksi China
Daily.
ENDY lahir dari pasangan Rasyid Bayuni dan Azhar Musa. Keduanya asal
Bukittinggi, Sumatra Barat. Bukittinggi juga kota kelahiran Bung Hatta,
proklamator dan wakil presiden pertama Indonesia.
Pada 1936 Rasyid muda yang saat itu berusia 17 tahun berangkat ke Baghdad.
Tujuannya menuntut ilmu dengan ongkos sendiri. Dia naik kapal laut, mampir di Karachi
kemudian Mekkah, baru ke Baghdad pada tahun 1939. Saat itu Perang Dunia I
tengah berkecamuk.
Karena berprestasi, Rasyid mendapat beasiswa untuk sekolah tingkat menengah
atas hingga perguruan tinggi. Dia kuliah di University of Baghdad. Selain belajar,
Rasyid dan beberapa pelajar Indonesia aktif memyampaikan soal perjuangan
kemerdekaan Indonesia kepada pemerintah negara-negara Arab.
Di Jakarta, tahun 1945, atas nama rakyat, Bung Karno dan Bung Hatta membaca
teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di Baghdad, Rasyid dan rekan-rekannya
menerbitkan tabloid Indonesia. Di situ dia ditunjuk sebagai pemimpin
redaksi. Tabloid ini terbit antara tahun 1946 hingga 1949. Peredarannya di
Baghdad dan sekitarnya. Namun
beberapa eksemplar sempat sampai ke . Isinya mengenai kemerdekaan .
Perjuangan Rasyid terdengar hingga ke tanah air. Bersama dua temannya asal
Indonesia, tugas Rasyid bertambah. Setelah lulus dia diminta pemerintah
Indonesia agar membuka kantor perwakilan negara Indonesia di Baghdad.
”Tahun 1950, kami diminta membuka perwakilan resmi pertama pemerintah
Indonesia. Kami mempromosikan kemerdekaan RI di Liga Arab, dan akhirnya diakui
Liga,” kenang Rasyid yang saya temui di kediamannya, di jalan Tebet Raya II,
Jakarta Selatan.
Selain di Baghdad, mereka juga bertugas untuk membuka cabang kantor perwakilan
di Suriah, Kuwait, dan Lebanon. Rasyid menempati posisi kepala bagian
penerangan.
Tahun 1951, Rasyid menikahi Azhar Musa di Baghdad. Waktu itu Azhar tengah
kuliah di Fakultas Sastra, University of Baghdad. Dia putri Musa Datuk
Madjoindo, pegawai pengadilan di Bukit Tinggi. Meski keduanya ada di Baghdad,
pernikahan dilangsungkan melalui wali masing-masing di Bukit Tinggi.
Tak berapa lama Baghdad bergolak. Rakyat Irak menentang pemerintahan monarki
yang dipimpin Raja Faisal II. Gedung-gedung dibakar, termasuk sekolah dan
universitas.
Tahun 1955 pasangan Rasyid-Azhar terpaksa pulang ke Indonesia. Dalam dua tahun
sesudah itu, pasangan ini dikaruniai dua anak, yaitu Satri Bayuni (kini
almarhum) dan Natsrat Bayuni.
JAKARTA, 3 Mei 1957. Azhar melahirkan anak ketiga. Anak itu diberi nama Endy
Mouzardi Bayuni. Tak salah lagi. Nama tengah itu memang dicomot dari nama
seorang komponis dunia, Wolfgang Amadeus Mozart, yang lahir dua abad
sebelumnya.
”Karena saya senang musik klasik. Harapan saya mudah-mudahan dia suka musik,”
tutur Azhar.
Usia setahun, Endy kecil diboyong Rasyid dan Azhar ke Burma. Setelah dua tahun
berdinas di sana, Rasyid mendapat tugas di Thailand dari tahun 1960 hingga
1964. Setelah itu dia dipindahtugaskan ke Jakarta sampai tahun 1968, lalu
dikirim lagi ke Argentina pada 1972.
Hidup berpindah-pindah sempat membuat Endy tak nyaman. Berkali-kali, ia harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan teman-teman barunya.
“Tapi lama-lama terbiasa,” kenangnya.
Namun Endy kecil tergolong anak nakal. Sulit diatur. Makannya susah. Seorang
dokter bahkan terpaksa menyuapinya agar dia mau makan. Di sekolah dasar dia juga gemar berkelahi.
”Pernah suatu waktu orangtua temannya di SD, datang ke rumah gara-gara
berkelahi dengan Endy. Tapi saya tidak marahi dia. Dia tidak pernah memulai,
dia hanya membalas,” kata Azhar.
Beranjak remaja, Endy mulai rajin melahap buku. Waktu itu dia minta kamarnya
dipisah. Dia
bisa tidur jika ada musik, yang disetel agak keras. Suatu kali Rasyid menegur
kebiasaan Endy.
”Ah Bapak, kayak nggak tahu anak muda aja,” balas Endy waktu itu.
Berbeda dengan ibunya, Endy lebih menyukai jazz daripada klasik.
Di sekolah menengah atas, Endy mulai merokok.
”Sehari antara satu sampai satu setengah bungkus.”
Urusan makan tak lagi sulit. Makanan favoritnya rendang. Ia juga mulai belajar
memasak. Menu andalannya ayam goreng.
Pada 1974 Rasyid akan ditugaskan ke Jenewa, Swiss. Dia diangkat jadi staf
perwakilan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saat itu Endy membuat
keputusan untuk melanjutkan pendidikannya di Inggris. Alasannya sederhana.
Satri Bayuni, kakaknya, tinggal dan membuka biro perjalanan di sana, bekerja
sama dengan biro perjalanan Natrabu di Jakarta.
Endy kuliah di jurusan ekonomi Kingstone University. Di kota yang tak jauh dari
London itu, dia bertemu dan bersahabat dengan orang-orang dari berbagai bangsa.
Di kampus dia ikut klub badminton dan kelompok diskusi mahasiswa Islam.
Azhar berharap Endy mengikuti jejak suaminya menjadi diplomat. Azhar melihat
Endy mudah dan cepat dalam berkomunikasi. Ia kerap mengunjungi putranya di
London.
Tahun 1981 Endy meraih gelar sarjana. Dia segera ikut Satri kerja di biro
perjalanan, mengirim wisatawan Inggris ke Indonesia. Gajinya lumayan besar dan
dia gunakan buat mencicil apartemen.
Sayang Endy tak punya izin kerja yang diterbitkan pemerintah Inggris. Dia mesti
taat aturan biar selamat dari ganjaran hukum. Sambil mengurus dokumen perizinan
dia tetap bekerja.
Alih-alih mendapat surat izin yang ditunggu-tunggu, dia malah diminta angkat
kaki dari London. Aturan yang berlaku ialah punya izin dulu baru bekerja. Endy
diberi waktu satu minggu untuk meninggalkan Inggris. Dia tak punya pilihan lain
dan kembali ke Jakarta pada November 1982.
Di Jakarta Endy tak harus memulai dari nol. Dia bekerja di Natrabu. Namun dia
berniat mencari yang lebih baik. Dikirimnya lamaran kerja ke sana-sini.
Beberapa temannya yang lulusan luar negeri memilih bekerja di perusahaan atau
bank asing.
”Sama seperti teman-teman, saya juga kirim aplikasi ke perusahaan-perusahaan
itu,” kisah Endy.
Seorang sahabat Rasyid yang sama-sama diplomat, suatu kali menganjurkan agar
Endy melamar ke Departemen Luar Negeri atau Deplu. Tujuannya agar Endy bisa
bergabung dalam korps diplomatik pemerintah Indonesia, seperti Rasyid. Azhar
ikut mendorong anjuran itu. Apalagi sebagai anak diplomat dia diprioritaskan
bisa bekerja di Deplu.
”Saya tidak mau jadi diplomat,” katanya. Gaji sebagai pegawai negeri
salah satu pertimbangan utamanya. ”Enaknya hanya ketika dinas di luar negeri.
Begitu di dalam negeri, sama seperti PNS (pegawai negeri sipil) biasa,”
lanjutnya.
SUATU hari di bulan Januari 1983, harian Kompas memasang iklan lowongan
kerja. Dibutuhkan reporter untuk sebuah harian yang akan segera terbit.
Syaratnya, antara lain bisa menulis dalam bahasa Inggris.
Endy belum pernah membayangkan jadi wartawan. Tapi iklan itu membuatnya
tertarik. Dia nekat kirim lamaran.
Perusahaan penerbitan itu bernama PT Bina Media Tenggara. Ini perusahaan
patungan yang melibatkan empat media besar saat itu: Kompas, Tempo,
Sinar Harapan, dan Suara Karya. Mereka berencana menerbitkan
koran berbahasa Inggris. Namanya The Jakarta Post.
Endy tak mengira bisa lolos seleksi. Dia dipanggil, ikut tes wawancara di
kantor harian Kompas, di kawasan Palmerah. Setelah itu dia harus
mengikuti ujian menulis. Endy menulis esai tentang perjalanannya mengikuti tes
yang menurutnya bakal menentukan masa depannya.
Sabam Siagian adalah pemimpin redaksi pertama The Jakarta Post. Dia juga
wartawan Indonesia pertama yang mengikuti program Nieman Foundation di Harvard
University. Dia ikut menguji Endy dan membaca esai yang ditulis Endy dalam
bahasa Inggris.
“Ceritanya simpel, bahasa Inggrisnya rapi,” komentar Sabam.
Tanggal 25 April
1983, The Jakarta Post terbit perdana delapan halaman. Rubriknya
antara lain Metro, National/Regional, Opinion, Feature,
Business, Sport, dan World News. Redaktur pelaksana dipegang Amir Daud. Beberapa
wartawan direkrut dari kantor berita Antara, Kompas, Indonesian
Times, dan Indonesian Observer –dua koran terakhir kini sudah
almarhum.
Endy diterima jadi reporter di desk metro. Liputan pertama Endy tentang seorang
penarik becak yang terancam menganggur. Waktu itu pemerintah Jakarta tengah
giat merazia becak.
Endy mewawancarai abang becak yang mangkal tak jauh dari rumahnya di bilangan
Tebet. Dari rumah, Azhar menyaksikan Endy melakukan reportase.
”Rumah dan tempat kerjanya ya becak itu. Saya ikut naik becak dia. Keluarganya
di Tegal, di Jakarta dia tinggal sendiri,” kenang Endy.
”Abang becaknya senang diwawancara Endy. Besok-besoknya, si tukang becak
mengintip-intip rumah, mencari Endy lagi. Karena tukang becak senang dikasih
uang. Tapi Endy tidak pernah wawancara dia lagi,” timpal Azhar.
Hasil reportase Endy dimuat di halaman pertama. Endy bangga namanya ditulis
lengkap. Dia membawa pulang satu eksemplar The Jakarta Post untuk
ditunjukkan kepada Rasyid dan Azhar. Alasan dia, ”Itu tulisan byline
saya pertama kali.”
Menurut dia, tingkat kepuasan ketika menulis mengenai rakyat biasa atau mereka
yang tertindas lebih tinggi ketimbang meliput pejabat. Ini mungkin tidak
berlaku bagi sebagian wartawan. Tak sedikit yang merasa hebat karena bisa
meliput dan menulis tentang pejabat.
”Beberapa kali saat training saya ikut mengawasi dia. Dia yang paling
cepat berkembang. Mungkin ini juga karena pendidikannya di luar negeri,” ujar
Vincent Lingga yang saat itu menjabat kepala desk ekonomi The Jakarta Post.
SETELAH dua bulan bekerja, Endy memutuskan untuk menikahi Ida Rusdati Ismail,
pramugari Garuda Airways yang telah dipacarinya selama dua tahun. Mereka
bertemu dalam penerbangan Jakarta-London pada 1981 dan saling jatuh cinta. Ida
asal Batu Sangkar, Sumatra Barat.
Endy penggila kerja. Ida mulai mengeluh. Meskipun kerja gila-gilaan selama
lebih dari 12 jam, gaji reporter macam Endy terbilang kecil. Ida ingin
Endy yang lulusan perguruan tinggi asing mendapat pekerjaan bergaji tinggi.
Apalagi kebutuhan rumah tangga mereka mulai bertambah.
”Apa nggak ada pekerjaan lain?” tanya Ida, suatu kali.
”Saya suka dengan pekerjaan ini,” Endy membalas.
Endy punya prinsip bahwa bekerja sebagai wartawan jauh lebih baik daripada
”bekerja di tempat lain tapi pulang dengan wajah masam dan marah-marah.”
Perlahan-lahan, Ida mulai memahami pilihan Endy. Selang setahun, Endy diangkat
jadi asisten halaman satu.
Praktis tugasnya makin bertambah. Begitu pula beban hidupnya. Saat itu Ida
melahirkan anak pertama, Lutfi Oscar Bayuni.
Tahun kedua jadi wartawan Endy mulai tak tahan. Kecakapan menulis tak sebanding
dengan gaji yang didapat. Problem semacam itu masih terjadi hingga kini. ”Gaji
wartawan lebih kecil daripada pramugari,” imbuhnya.
Itu sebabnya Endy berniat ganti haluan. Dia kembali mengirim surat lamaran ke
sejumlah bank asing. Dia berharap dapat gaji lebih besar dan bekerja lebih
nyaman dalam ruang berpendingin.
Namun begitu kantor berita internasional Reuters untuk biro di Jakarta
buka lowongan, Endy segera menyambar kesempatan itu. Endy mengajukan
pengunduran diri dari The Jakarta Post. Dia menghadap Sabam, sang
pemimpin redaksi.
“Saya mau pindah ke Reuters.”
“Loh?” Sabam heran.
“Ya bagaimana, saya baru nikah butuh pendapatan lebih.”
“Oke, Endy,” tukas Sabam. “Anggaplah itu sebagai suatu pematangan dan latihan di
Reuters. Kalau Anda anggap itu sudah cukup, Anda kembali ke TheJakarta
Post.”
JAKARTA, 1 Oktober 1984. Endy menjadi reporter di Reuters biro Jakarta
yang dipimpin Richard Pascoe. Reuters merupakan kantor berita multimedia
internasional terbesar dengan jumlah wartawan lebih dari 2.000 orang yang
tersebar hampir di 200 negara. Reuters didirikan di London pada 1851
oleh Paul Julius de Reuter.
Endy mendapat gaji lebih baik di situ. Dia dibayar dengan dollar. Dia juga
berkesempatan belajar jurnalisme dengan standar yang jauh lebih baik. Salah
satunya kritis terhadap kebijakan pemerintah. Liputannya mencakup hampir
seluruh daerah di Indonesia.
Dua pekan sebelum kepindahan Endy ke Reuters, tepatnya 12 September
1984, terjadi pembantaian massal di depan Masjid al-A'raf, Tanjung Priok oleh
tentara Indonesia di bawah komando Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani.
Tragedi itu dipicu aksi penyiraman air comberan oleh aparat Bintara Pembina
Desa di mushala As Sa’adah, Tanjung Priok. Tapi pihak tentara membantah keras.
Lima hari setelah tragedi, Petisi 50 merilis dokumen yang dikenal sebagai
Lembaran Putih. Anggota kelompok oposisi ini antara lain bekas Gubernur DKI
Jakarta Ali Sadikin, pensiunan Jenderal HR Dharsono, Anwar Harjono, dan AM
Fatwa. Dalam dokumen itu mereka mengusulkan agar dibentuk komisi independen
untuk mengumpulkan keterangan yang jujur tentang insiden tersebut.
Dalam buku Tanjung Priok Berdarah Tanggung Jawab Siapa?Kumpulan Fakta dan
Data, yang diterbitkan Tim Pusat Studi dan Pengembangan Informasi Partai
Bulan Bintang pada 1998, dipaparkan bahwa pemerintah Soeharto menolak usul itu.
Soeharto, masih dalam buku tersebut, malah menuduh Fatwa dan Dharsono sebagai
dalang sejumlah pengeboman yang dianggap aksi protes terhadap pembantaian
massal di Tanjung Priok. Keduanya dimejahijaukan. Fatwa divonis 18 tahun
penjara, Darsono divonis 19 tahun. Itu terjadi pada bulan Agustus 1985.
Tatkala majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menghadirkan saksi Ali
Sadikin dalam sidang Dharsono, Endy ikut meliput peristiwa tersebut.. Dia
masih ingat ketika Bang Ali memberi kesaksiannya. Bang Ali mengeritik keras
militer dan pemerintahan Soeharto yang mengatasi gejolak massa dengan senjata
dan kekerasan. Saat itu nyaris tak ada orang yang berani mengeritik pemerintah
Orde Baru yang tengah berada di puncak kekuasaannya.
Tulisan Endy pun dimuat di halaman depan harian International Herald Tribune.
Sebaliknya, media nasional tak satu pun yang memuat laporan wartawan tentang
sidang tersebut.
Tak pelak nama Endy sempat dicari aparat Departemen Penerangan atau
Deppen gara-gara berita itu. Buntutnya tiap kali memperpanjang kartu pers,
pejabat Deppen kerap menceramahi Endy. Waktu itu salah satu syarat wartawan
Indonesia yang bekerja di media asing adalah dia harus memiliki kartu anggota
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang merupakan perpanjangan tangan
pemerintah buat mengontrol wartawan.
Ini juga risiko menerapkan byline ketika rezim diktator berkuasa.
Tapi menurut Endy, penggunaan byline justru lebih berdampak positif bagi
wartawan. Byline mendorong si wartawan lebih bertanggung jawab
terhadap tulisannya.
FEBRUARI 1986, rupiah anjlok. Devaluasi dari Rp 1.200 ke Rp 1.600 per satu
dollar. Harga barang dan kebutuhan pokok merangkak naik. Reuters
biro Jakarta terkena imbasnya. Manajemen menerbitkan kebijakan baru. Staf
redaksi lokal tak lagi dibayar dengan dollar, melainkan rupiah. Endy ogah.
Nasib baik menolong Endy. Tawaran datang dari kantor berita Agence
France-Presse (AFP) biro Jakarta. AFP merupakan kantor berita
tertua di dunia yang didirikan oleh Charles-Louis Havas, tahun 1835. Institusi
ini punya biro di 110 negara dengan markas di Paris.
AFP butuh reporter lokal yang pandai menulis dalam bahasa Inggris. Endy
menerima tawaran dengan syarat dia digaji dengan dolar. Negosiasi dilakukan
dengan kepala biro AFP yang mengawasi pemberitaan Asia Tenggara,
Michelle Cooper. Kantornya di Singapura.
”Mereka setuju,” kenang Endy. ”Tawaran yang terus-terang sulit untuk ditolak,
saya pindah.”
Teman satu timnya di Reuters, Muklis Ali, menyayangkan kepindahan Endy
ke AFP. Saat itu, keduanya reporter lokal andalan Reuters. Endy
dan Muklis kerap saling mengisi kekurangan masing-masing. Endy punya kelebihan
soal liputan ekonomi. Muklis lebih paham politik.
“Kerja sama kita sudah sangat baik. Tapi apa boleh buat, dia maunya begitu.
Yang jelas, mungkin dia punya alasan-alasan kuat,” tutur Muklis kepada saya.
Di AFP, laporan Endy kerap dimuat di media massa asing. Sebaliknya, di
media-media nasional jarang.
Harmoko, yang menjabat sebagai menteri penerangan ketika itu, menyatakan agar
media massa nasional menjadi “tuan rumah di negeri sendiri”. Maksudnya jelas:
media nasional dilarang mengutip berita dari media dan kantor berita asing. PWI
mendukung jargon-jargon Harmoko.
Endy selalu menulis berdasarkan fakta, mengatasnamakan kebenaran. Tentu saja,
rezim Orde Baru kebakaran jenggot. Kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia
yang tak diberitakan di koran nasional justru ditulis Endy.
”Saya pernah dituding pengkhianat bangsa oleh seorang jenderal waktu kasus
Timor Timur,” kenang Endy.
Tapi ia tak mau menyebut nama sang jenderal.
“Sudah lewat,” ujarnya.
MESKI jerih payahnya lebih dihargai, kerja Endy di kantor berita asing
itu tetap dibatasi tembok-tembok. Tembok pertama, ruang berita dipatok untuk
600-800 kata. Padahal ada laporan yang mestinya bisa ditulis lebih dari 1.000
sampai 2.000 kata.
Tembok kedua soal pemirsa. ”Okelah tulisan saya dibaca pembaca luar negeri,
tapi di dalam negeri kan tidak juga.”
Lagi-lagi Endy mencari peluang lain. Hubungan baiknya dengan teman-teman dan
seniornya di The Jakarta Post tak sia-sia. Apalagi, sebelum angkat kaki
tahun 1984, Sabam sempat bilang bahwa pintu selalu terbuka untuknya.
Riza Abdullah, rekannya di The Jakarta Post, suatu hari di tahun 1991
menceritakan sebuah perkembangan baru. Dia mengungkapkan bahwa ada posisi baru
di suratkabar itu, namanya manajer produksi. Semacam redaktur malam yang
bertugas mengawasi operasi koran sebelum naik cetak. Posisi itu membutuhkan
tenaga wartawan yang cukup senior.
“Saya sebenarnya nggak tertarik dengan jabatannya. Tapi saya tertarik dengan
kembalinya saya ke Jakarta Post,” kata Endy.
Tak berapa lama, Muklis rekan Endy di Reuters, diminta kantornya
menawarkan lowongan kembali buat Endy. Tapi tawaran itu ditolak Endy.
“Saya tidak mengira jika dia mau balik lagi ke Jakarta Post setelah
bekerja di AFP,” kisah Muklis.
Endy makin serius menjajaki kesempatan untuk kembali ke cinta pertamanya: The
Jakarta Post. Vincent Lingga mengajaknya kembali.
“Di sana (AFP) Anda kan tidak mungkin jadi pegawai tetap. Tidak mungkin
diangkat sampai ke Hongkong (markas AFP wilayah Asia). Kalau di Jakarta
Post, Anda bisa sampai ke puncak,” kenang Vincent tentang apa yang
dikatakannya pada Endy waktu itu.
Namun Endy mesti memikirkan kembali minatnya ketika bicara soal gaji. Bukan
apa-apa, buah kerja di dua kantor berita asing telah memberinya dua buah mobil
dan sebuah rumah dua lantai di Jalan Delman Asri V, Tanah Kusir, Jakarta
Selatan. Tapi, menurut Vincent, tawaran untuk bisa mencapai posisi puncak
menjadi kompensasi dari gaji yang kecil.
Omongan Vincent ditanggapi serius. Di rumah, Endy membahas untung-rugi tawaran
itu bersama Ida.
”Kok pindah ke tempat yang gajinya lebih kecil?” keluh Ida.
Jumlah gaji itu disampaikan langsung oleh Raymond Toruan, manajer bisnis The
Jakarta Post saat itu. Tapi hitung-hitungan Endy, dia dan keluarganya
masih bisa hidup dengan gaji separuh lebih rendah dari yang dia terima sebagai
reporter di AFP.
”Persoalannya, kalau saya ngotot, gaji saya waktu itu bisa di atas gaji
Raymond. Tapi Raymond bilang, ’kemampuan kantor hanya segitu’,” kenang Endy.
Proses pindah kantor berlangsung sekitar tiga bulan. Begitu Endy kembali ke TheJakarta Post, ruang pemimpin redaksi tak lagi dihuni Sabam. Susanto
Pudjomartono menggantikan Sabam yang ditugaskan jadi duta besar Indonesia di
Australia.
Dua tahun Endy bekerja sebagai manajer produksi. Saban hari tugasnya mengawasi
tampilan harian itu hingga naik cetak. Akibatnya dia baru bisa pulang dini
hari. Ini mengganggu kesehatannya, ditambah lagi dengan kebiasaan merokoknya.
Namun, dia memutuskan berhenti merokok pada 1993. Pemicunya, dia mulai sering
batuk-batuk.
Dia juga rajin melakukan olah raga dengan treadmill. Dalam seminggu bisa
tiga hingga empat kali.
Kariernya terus menanjak. Pada tahun yang sama, Endy menggantikan Harry
Bhaskara sebagai redaktur nasional. Dia membawahi delapan reporter.
“Ini kembali ke dasar pekerjaan jurnalisme. Sebelumnya saya cuma di tahap-tahap
akhir proses jurnalisme. Kemudian saya kembali menjadi bagian depan dari proses
jurnalisme,” tuturnya.
Tahun 1994, tepatnya pada 21 Juni, majalah mingguan Tempo, tabloid Detik,
dan majalah mingguan Editor dibredel. Pers terjepit. Diktator Soeharto
mengontrol lewat lembaga surat izin usaha penerbitan. Masing-masing media
diminta melakukan self censorship. Namun tak pernah ada batasan yang
jelas.
Dalam Pers Terjebak, Yasuo Hanazaki menyebut The Jakarta Post
sebagai satu-satunya koran nasional yang memberitakan dan menyatakan
keprihatinannya terhadap tindakan represif terhadap tiga media itu. Terjemahan
judul halaman utama koran itu, ”Pembredelan Media adalah Kemunduran:
Pengamat.”
“Di masa Orde Baru kita harus menebak-nebak mana kira-kira yang boleh dan mana
yang kira-kira akan menimbulkan masalah. Ini jadi seni tersendiri. Ini
tergantung dari mood pemerintah, mood tentara. Kalau mood-nya
sedang baik kita kritik-kritik sedikit tidak masalah. Tapi kalau mood-nya
sedang buruk, saat pemilu misalnya, ya mesti hati-hati. Tapi kita selalu
mencoba melewati batasnya sedikit.” Endy mengenang pengalamannya.
Batas itu pernah dicoba The Jakarta Post lagi ketika terjadi
peristiwa 27 Juli 1996. Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi
Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, diserbu oleh kelompok yang
terorganisasi. Banyak yang terluka dan puluhan orang hilang sampai hari ini.
Ketika itu Endy belum lama pulang tur meliput pemilu di Amerika Serikat,
perjalanan yang mengukuhkan niatnya untuk fokus bekerja di jurnalisme. Dia
melihat peran dan fungsi pers dalam demokratisasi di negara itu amat besar.
Sekembalinya ke Jakarta dia naik jabatan jadi redaktur pelaksana. Di situ
posisi Endy sudah setingkat dengan Vincent, senior yang pernah melatihnya.
Deppen merasa kecolongan dengan laporan The Jakarta Post. Meski
berbahasa asing, ternyata koran ini juga dibaca orang lokal. Fotokopi berita
soal ”Perang Diponegoro” beredar di kalangan remaja-remaja masjid di Jawa
Timur. Salah satu fotokopinya ditemukan staf Deppen di Jawa Timur dan dikirim
ke Jakarta. Beruntung, The Jakarta Post cuma ditegur.
“Karena kita punya kebebasan pers lebih besar daripada media-media berbahasa
Indonesia, ya kita memanfaatkan kesempatan itu dan kita juga menjadi sumber
referensi mengenai Indonesia oleh orang-orang Indonesia sendiri,” tutur Endy.
Karena pemberitaan-pemberitaannya yang kritis terhadap diktator Soeharto, tiras
hariann ini melesat. Awal penerbitan, tirasnya cuma 5.474 eksemplar. April
1997, sudah 50 ribu eksemplar.
Tapi ini tak bertahan lama. Ketika badai krisis moneter menghantam, menjelang
Soeharto dijatuhkan dari kursi kepresidenan, The Jakarta Post
mulai limbung. Halamannya berkurang dari 16 jadi delapan halaman. Tirasnya
terus menyusut. Di lain pihak, media baru bermunculan dan media lama lebih
berani mengeritik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
“Selling point kita juga sudah dilakukan media lain,” kata Endy.
Pada 2001, Endy diangkat jadi wakil pemimpin redaksi. Dia mendampingi Raymond
Toruan yang menjadi pemimpin redaksi sementara selama lebih dari tiga tahun
setelah posisi itu ditinggalkan Susanto Pudjomartono. Susanto diangkat jadi
duta besar Indonesia di Rusia. Posisi utama Raymond sebenarnya adalah direktur
eksekutif.
Tanggung jawab Endy
makin berat. Jumlah pembaca asing mulai berkurang setelah kasus rontoknya
menara WorldTradeCenter
, 11 September 2001. Saat dua kafe di Bali diguncang
bom tahun 2002, tiras koran ini makin anjlok seiring banyaknya warga asing yang
meninggalkan . Tapi karier Endy kian menjulang.
Ketika Nieman Foundation membuka ritual tahunan, memberi kesempatan kepada
sekitar sepuluh wartawan dari berbagai belahan dunia belajar jurnalisme, Endy
mendaftarkan diri. Dia
berniat mengikuti jejak Sabam yang pernah ikut dalam program itu. Selain Sabam,
hanya segelintir wartawan Indonesia yang pernah mendapat beasiswa bergengsi
ini. Di antaranya wartawan senior Tempo Goenawan Mohamad, Ratih Harjono
dari Kompas, dan Andreas Harsono, bekas wartawan The Jakarta Post
yang kemudian bekerja paruh waktu untuk beberapa media internasional.
Endy lulus seleksi dan jadi Nieman Fellow di Harvard University pada 2004. The
Jakarta Post memberinya izin setahun untuk belajar.
Di Harvard, dia dan peserta lain bebas memilih kelas kuliah yang diinginkan.
Dia mengambil kelas tentang hak asasi manusia, pemerintahan, dan tentang negeri
China selama dua semester.
“Tapi tidak diwajibkan bikin paper. Hanya wajib baca. Bagi saya ini kerja keras
juga.”
Sedangkan di Niemann
Foundation Endy mengikuti narrative journalism dan creative writing.
Dia mendapat pengetahuan
menulis fiksi.
“Program creative writing di Niemann Foundation membuka mata saya.
Karena kita bisa keluar dari fakta-fakta. Saya ingin menulis novel seperti Pramoedya Ananta
Toer,” ujarnya.
LETTER from the Publisher. Demikian bunyi judul tulisan di halaman “Opinion and Editorial” pada 3
Agustus 2004. Jusuf Wanandi, selaku dewan direksi penerbitan, menuturkan sebuah
perubahan penting dalam redaksi The Jakarta Post.
”Changes in the leadership lineup are normal in any dynamic organization.
And, so it is with The Jakarta Post. Each chief editor inevitably brings his or
her own leadership style to the organization. Thus, Endy's leadership style
will be reflected in changes in the newspaper in the coming months.”
Demikian bunyi salah satu paragraf yang ditulis Wanandi.
Ya, mulai hari itu Endy berkantor di ruang pemimpin redaksi. Dia orang keempat
setelah Sabam Siagian, Susanto Pudjomartono, dan Raymond Toruan.
”Pemilihan pemimpin redaksi merupakan hasil rapat direksi. Dipilih berdasarkan
penilaian direksi. Tak ada yang istimewa, karena jenjang karier dia memang
wajar,” kata Vincent soal pengangkatan Endy.
Menurut Sabam, dengan pengalaman dan ilmu yang diperoleh, Endy memenuhi
kriteria sebagai pemimpin redaksi, “Karena kita harus memiliki pemimpin redaksi
yang mantap.”
”Soal pengetahuan dan gagasan, dia jauh lebih bagus. Dia mampu melempar ide-ide
berita yang terkadang menurut teman-teman yang lain biasa saja. Dia bisa
mencari angle yang menarik dan baru. Ini amat dibutuhkan dalam koran,
karena kita menjual news. Dia punya naluri mencari berita,” kata
Vincent.
Endy bergerak cepat. Dia langsung membentuk tim untuk rotasi wartawan. Hasil
pendidikan di Niemann segera dia terapkan, seperti gaya penulisan naratif.
Sedangkan prinsip byline tak diubah.
“Memang ada keluhan dari redaktur. Terutama jika ada tulisan reporter yang
kurang baik. Tapi saya katakan, itu kan memang tugas redaktur. Tugas redaktur
adalah menyunting, dan kita bayar memang untuk itu,” jelas Endy.
“Jakarta Post jadi lebih berwarna. Kita lebih condong ke narrative
dan interpretative reporting,” ujar Vincent.
Itu memang diakui Endy. Dia punya mimpi memperluas target pembaca The
Jakarta Post.
“Bukan lagi sebagai newspaper, tetapi viewspaper,” katanya.
Namun, dia tak hanya mengenalkan gaya baru dalam penulisan berita. Dia juga
kreatif dalam membaca peluang bisnis.
Selain koran, Endy ingin The Jakarta Post menerbitkan majalah dan
buku-buku dalam bahasa Inggris. Soal majalah, mungkin dia belajar dari
kepemimpinannya dalam penerbitan majalah Asianews.
Meski demikian, itu merupakan proyek ambisius yang butuh konsistensi dan waktu
yang tidak sebentar. Tulang punggung proyek itu adalah ketersediaan sumberdaya
manusia, wartawan yang loyal dan mampu menulis dalam bahasa Inggris dengan
baik.
Ini persoalan klasik di The Jakarta Post. Wartawan yang telah memiliki
kecakapan menulis dalam bahasa Inggris kerap ”dibajak” perusahaan lain.
”Mereka yang background-nya ekonomi dan bisa menulis dalam bahasa
Inggris sangat diminati bank-bank asing. Belum lagi AFP, Reuters.
Selain jadwal kerjanya yang lebih rendah, salary yang ditawarkan jauh
lebih tinggi,” kata Vincent.
Endy setidaknya pernah tak berdaya dengan iming-iming itu. Lantas apa langkah
dia mengatasi problem itu? Apa cukup dengan memberi penghargaan lewat byline?
Endy mengakui kekurangan itu. ”Tapi mereka bisa punya kebanggaan bila punya
nama, dikenal orang. Keluarganya bisa ikut bangga dan itu sulit diukur dengan
uang.”
Dia juga sudah punya rencana lain untuk menjaga loyalitas tim redaksinya,
antara lain dengan memperbaiki komunikasi guna membangun suasana kerja yang
nyaman. ”Seluruh wartawan, termasuk yang senior, diberikan pelatihan,” janji
Endy.
BANGKOK, pertengahan Desember 2006. Puluhan wartawan hadir dalam pertemuan Asia
Media Forum di Windsor Suites Hotel, Sukhumvit, selama tiga hari. Pertemuan ini
mengangkat tema soal peran dan tanggung jawab media serta kerja sama antarmedia
di negara-negara Asia soal kebebasan pers.
Meski menyebut Asia, wartawan yang hadir lebih banyak berasal dari Asia Selatan
dan Asia Tenggara. Seperti India, Pakistan, Sri Lanka, Nepal, Filipina,
Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Wartawan dari Cina juga datang,
tapi kurang dari lima orang.
Endy Bayuni ikut dalam pertemuan ini. Selain Endy, wartawan dari Indonesia yang
hadir dalam pertemuan ini adalah Natalia Soebagjo. Dia adalah redaktur
koordinator Asiaviews. Majalah ini merupakan jaringan kerja sama lima
media berbahasa Inggris di Asia Tenggara. Tempo edisi Inggris, Newsbreak,
Malaysian Business, dan Bangkok Post.
Bambang Harymurti, pemimpin redaksi korporasi darimajalah Tempo,
juga diundang. Dia dijadwalkan menjadi pembicara di salah satu sesi. Namun
Bambang tak datang. Karena sama-sama dari Indonesia, Endy menggantikan Bambang
sebagai pembicara.
Peserta lain dari Indonesia adalah saya sendiri, sebagai kontributor sindikasi
feature Pantau. Dibanding Endy dan Natalia, usia dan pengalaman
saya di bidang jurnalisme jauh lebih muda. Namun Endy memberi dorongan kepada
saya agar tak minder. Maklum, ini pengalaman pertama saya ikut dalam forum
pertemuan wartawan Asia.
“Yang paling penting dari acara ini adalah networking,” katanya. Saya
agak lega.
“Dari pertemuan ini kita juga tahu masalah-masalah yang dihadapi wartawan
negara-negara lain, seperti di Asia Selatan,” lanjutnya.
Kami berbincang di sela seminar dan diskusi. Soal jurnalisme. Soal solidaritas
wartawan di Asia. Juga soal pentingnya kemampuan berbahasa Inggris bagi
wartawan Indonesia. Jika kemampuan berbahasa Inggris terbatas, bukan mustahil
yang menulis tentang Indonesia adalah orang asing.
Saya spontan mengangguk setuju ketika dia mengatakan, “Saya ingin agar
kemampuan menulis dalam bahasa Inggris bisa dikembangkan di luar Jakarta
Post. Karena kita perlu orang Indonesia yang menulis dalam bahasa Inggris
tentang Indonesia.”
Senin siang, 19 Desember 2006, pertemuan para wartawan ditutup. Kavi
Chongkittavorn, redaktur harian The Nation, Thailand, membacakan Bangkok
Declaration. Isinya menyangkut komitmen wartawan dalam menyuarakan kebebasan
pers, demokrasi, pemberantasan korupsi, dan penegakan hak asasi manusia.
Poin yang tak kalah penting adalah kesepakatan untuk menggalang solidaritas
bagi keselamatan wartawan di negara-negara Asia dalam meliput dan menyiarkan
berita. Nyawa dan hidup wartawan di Asia, terutama negara-negara di Asia
Selatan dan Asia Tenggara yang masih dirundung konflik bersenjata, kerap
terancam. Terlebih lagi, daftar wartawan Asia yang tewas di bawah pemerintahan
otoriter tidak sedikit.
Endy kembali menjadi wakil wartawan Indonesia dalam tim inti Asia Media Forum.
PESAWAT lepas landas dari bandara Suvarnabhumi, Bangkok pada pukul dua dini
hari. Saya duduk di sebelah Endy, di kursi dekat gang. Ida Bayuni, duduk di
sebelahnya, di kursi dekat jendela. Rupanya Ida ikut menemani sang suami selama
di Bangkok.
Sebelum terlelap, Endy mencomot The Jakarta Post yang terselip di
kantong belakang kursi yang ada di mukanya. Dia membentangkan harian itu, lalu
membaca judul dan berita di tiap halaman. Kadang dia merengut, kadang dia
tersenyum.
Saya memperhatikan rambutnya yang sudah banyak ditumbuhi uban. Saya teringat
ucapannya saat perayaan ulang tahun ke-23 The Jakarta Post di Jakarta.
”Tahun 2009, koran ini harus dipimpin orang muda. Jangan orang-orang tua gaek,”
katanya kepada saya malam itu.
Dia juga mengatakan ingin fokus mempraktikkan ilmu menulis fiksi yang
didapatnya saat di Harvard.
”Ambisi saya tinggal satu. Menulis buku.”
Dia ingin mengikuti jejak penulis yang dikaguminya, Pramoedya Ananta Toer.
Novelis terkemuka Indonesia itu wafat lima hari sesudah perayaan ulang tahun
ke-23 The Jakarta Post.***
*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh.