Jihad Lewat Tulisan
Mon, 2 July 2001
ZAINAL Muttaqin orangnya hangat dan terbuka. Mungkin banyak yang tak memperkirakan bahwa Zainal bakal jadi tokoh penting di balik sukses Sabili.
ZAINAL
Muttaqin orangnya hangat dan terbuka. Mungkin banyak yang tak memperkirakan
bahwa Zainal bakal jadi tokoh penting di balik sukses Sabili. Pada 1981, begitu
lulus sekolah menengah atas di Jakarta, ia bekerja sebagai reporter majalah
Kiblat, majalah yang termasuk salah satu media Islam terkemuka pada 1980-an.
Sambil bekerja Zainal sempat kuliah hukum di Universitas Muhammadiyah, dan
secara hampir bersamaan, juga kuliah di ilmu politik di Universitas Indonesia.
Pada 1984 Zainal jadi redaktur majalah Risalah Bandung tapi cuma sebentar.
Tahun berikutnya dia pindah ke tabloid Salam sebagai redaktur pelaksana. Di
tabloid inilah Zainal memperlihatkan keseriusannya mengelola sebuah media.
Meski tidak terlalu lama di Salam, kehadiran Zainal terasa sangat berarti bagi
tabloid Islam paling terkemuka pada waktu itu. Zainal mengangkat oplah Salam
dari 10 ribu menjadi 70 ribu.
Dua tahun berikutnya, Zainal bersama beberapa temannya membuat sebuah kelompok
kajian yang diberi nama Kelompok Telaah dan Amaliah Islami, disingkat KTAI.
Melalui kelompok ini, Zainal dan kawan-kawan membidani kelahiran majalah baru,
sebuah majalah ukuran setengah folio yang dinamai Sabili.
Sabili lahir di tengah suasana politik yang represif. Rezim Soeharto, yang
didukung militer, banyak melakukan tindakan yang keras baik terhadap organisasi
kiri maupun yang berbendera Islam. Media bertekuk lutut di kaki kekuasaan.
Tidak ada suratkabar yang cukup terbuka melancarkan kritik terhadap kekuasaan
Soeharto. Beberapa suratkabar dibredel adalah lain Jurnal Ekuin (1983), Sinar
Harapan (1986) dan Prioritas (1987).
Suratkabar harus punya surat izin penerbitan dan tidak semua orang bisa
mendapatkannya. Zainal Muttaqin tidak menyerah. Zainal dan kawan-kawan
menerbitkan majalah tanpa surat izin –sebuah langkah yang sangat berani.
Dengan modal patungan kurang lebih Rp 1 rupiah, Sabili terbit pertama pada awal
1988 sebanyak 2,000 eksemplar. Para pengelolanya hanya empat atau lima orang.
Zainal menjabat pemimpin redaksi. Pemimpin umum dipegang Rahmat Abdullah.
Setelah terbit perdana, Sabili lama tidak terbit. Itu karena pengelolanya sibuk
sendiri-sendiri. “Penanggungjawabnya ulama, ustadz, sibuk ke sana kemari,” ujar
Zainal, mengacu pada Rahmat Abdullah.
Setelah sekitar enam bulan tidak terbit, Zainal minta kepada Rahmat Abdullah
untuk mengambilalih tanggungjawab Abdullah di Sabili. Abdullah tak keberatan.
Sejak itu Zainal menahkodai Sabili. Namun peralihan nahkoda ternyata tidak
banyak membantu. Dipatok sejak awal akan terbit dua mingguan, Sabili ternyata
tersendat-sendat. Sabili tak tentu terbitnya. Kadang sebulan sekali, kadang dua
bulan sekali, kadang 1,5 bulan sekali, kadang dua bulan tiga kali.
Menurut Zainal, Sabili tak dikelola profesional. Mereka juga tidak bisa kerja
penuh waktu. Akhirnya deadline tidak terpenuhi. Gaji terpaksa digilir.
Pengelolanya, dari 1988 hingga 1991, selalu berganti-ganti. Satu-satunya yang
bertahan sejak awal ya Zainal.
Sejak 1991 Zainal melakukan pembenahan untuk memperbaiki kinerja Sabili. Dia
meyakinkan staf redaksi, bahwa Sabili bisa jadi lahan pekerjaan yang serius.
Perlahan-lahan Sabili memberikan gaji sesuai kemampuan. Tentu tidak besar.
Muttaqin mencari pinjaman dan berhasil mengumpulkan pinjaman Rp 10 juta.
Sebulan gaji membutuhkan Rp 2,5 juta. Jadi masih ada dana cadangan empat bulan
ke depan. Dengan dana itu Sabili berusaha profesional. Kerja keras itu
membuahkan hasil. Deadline bisa dipenuhi dan mulai terbit teratur. Respons
pembaca semakin kelihatan. Sabili laku keras seperti kacang goreng. Majalah
yang kembali karena tidak laku hanya sedikit.
Bagaimana Sabili bisa laku keras dalam waktu singkat?
Zainal menjawab Sabili sadar betul posisinya sebagai representasi umat Islam,
golongan masyarakat yang pada masa-masa awal lahirnya Sabili banyak ditindas
dan dipinggirkan. Kelompok Islam yang kritis dicap ekstrem kanan. Cap ini bukan
sekadar stigma, tapi juga ancaman. Kelompok yang berani melawan, langsung
berhadapan dengan militer yang represif. Pada saat yang sama, Islam sebagai
kekuatan politik bukan hanya tidak diberi kesempatan berkembang, antara lain
dengan pelarangan partai-partai berbendera Islam, tapi bahkan diperlemah sampai
ke akar-akarnya.
Kebijakan Orde Baru ini dianggap banyak dipengaruhi oleh Center for Strategic
and International Studies, sebuah think tank di Jakarta, yang didirikan pada
awal Orde Baru, yang tokoh-tokohnya kebetulan banyak yang nonmuslim.
Dengan potret seperti itulah Sabili hadir. Hadir sebagai representasi umat
Islam yang tertindas dan berusaha melakukan jihad melalui tulisan. Menurut Al
Chaidar dari majalah Darul Islam, pada waktu itu tidak ada satu media pun yang
benar-benar mewakili aspirasi Islam secara kaffah (komprehensif).
“Memang ada majalah Panji Masyarakat, tapi masih memuat wanita tak berjilbab.
Ada Amanah, tapi masih menyajikan hal-hal fashion dan tabarruj, hal-hal yang
berkenaan dengan bersolek, seakan-akan Islam itu hanya bersolek saja. Ada juga
seperti Adzan, tapi tidak begitu populer bahasanya. Nah Sabili ini bisa mengisi
itu semua dengan muatan-muatan politik yang sifatnya up to date, dengan
pembelaan yang sangat kuat terhadap umat Islam. Itu yang sangat merebut simpati
massa Islam pada waktu itu,” ujar Al Chaidar.
Menurut A Mabruri M Akbari, pemimpin umum majalah Ummi, Saksi dan Annida, ada
faktor lain yang tak kalah pentingnya. “Momentum,” ujar Mabrur, panggilan
akrabnya.
Pada waktu itu dunia Islam sedang tersudut, mulai dari Palestina, Afghanistan,
Bosnia, Chehnya, hingga persoalan-persoalan umat Islam di tanah air, seperti
kasus Lampung dan Tanjung Priok. Sabili terbit pada saat yang tepat.
“Gaya pembelaan Sabili sangat memungkinkan umat Islam yang selama ini tidak
punya media, kemudian merasa terwakili. Jadi klop. Antara umat Islam yang
tertindas selama Orde Baru, dengan munculnya media yang menyuarakan mereka,”
kata Mabrur.
Mabrur mengatakan Sabili tidak hanya dibaca oleh kelompok Islam tertentu, “Pada
masa awalnya mungkin iya, tapi tidak setelah memasuki 1990-an, Sabili sudah
mulai melebar pasarnya.”
Akbar Muzakki, kepala produksi majalah Suara Hidayatullah, majalah Sabili
sifatnya lebih terbuka dan siapa pun bisa baca. “Berapa sih orang yang dianggap
fundamentalis kalau dibandingkan oplah Sabili yang sedemikian besar?” kata
Muzakki.
Sejak awal, menurut Zainal Muttaqin, persoalan Sabili bukan pasar, tetapi
bagaimana mengatur dirinya sendiri. Ketika Zainal bisa mengatur manajemen
Sabili, grafiknya naik terus. “Begitu kita tetapkan tahun 1991 ada penataan
yang baik, manajemen yang baik, maka terbang, mulai dari 25, 30, 40, sampai
awal 1993 Sabili mencapai oplah 60 ribu eksemplar,” ujar Zainal bersemangat.
Sikapnya tetap berani, melawan sensor, sehingga ketika tentara menembak mati
banyak orang Muslim di daerah Tanjung Priok, Jakarta, dan Lampung, pada 1993,
Sabili juga melaporkannya dengan berani. Padahal kekuasaan militer sangat besar
dan suratkabar lain sangat khawatir dengan keberadaan penerbitan mereka bila
menurunkan laporan soal Tanjung Priok dan Lampung.
Keberanian itu jadi bumerang. Pada akhir 1993, Sabili dilarang terbit oleh
Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Laksamana Soedomo dan Menteri
Pertahanan dan Keamanan Jendral Benny Moerdani
Namun Zainal percaya Sabili mati meninggalkan pembaca fanatik. Pada 1998,
ketika terbit lagi, pembaca yang lima tahun sebelumnya ditinggalkan,
menyambutnya dengan hangat. Zainal memiliki peran besar dalam menghidupkan
Sabili. “Kawan-kawan yang saya kenal saya ajak. Saya juga cari investor yang
mau membiayai. Semuanya saya yang garap,” ujar Zainal.
Maka berdirilah PT Bina Media Sabili dengan komposisi saham Rahmat Ismail
(26%), Thoriq Basalamah (10%), Abdul Muthalib (5%), Lutfi Amir Tamimi (5%),
Aryono Madyanto (5%), Zainal Muttaqin (10%), Iman Loebis (10%), Farid
Prawiranegara (10%), Djufri Djamaan (10%), dan Kemas Taufiq Mochtar (9%).
Para pemegang saham Sabili ini mengangkat tiga orang sebagai anggota direksi:
Abdul Muthalib (direktur utama), Zainal Muttaqin (direktur), dan Aryono
Madyanto (direktur). Sedang komisaris dijabat Rahmat Ismail, Iman Loebis, dan
Thoriq Basalamah. Rahmat Ismail, pemegang saham terbesar, menjabat sebagai
komisaris utama. Dia juga dikenal sebagai orang nomor satu majalah mingguan
Forum serta saudara kandung penyair Taufiq Ismail.
“Kita ingin membangun media yang bisa mencerdaskan bangsa, bukan media yang
sekadar menyajikan hiburan yang merusak ahlak sambil dapat untung. Kita tidak.
Kita betul-betul ingin menyampaikan nilai-nilai yang baik. Paling tidak, media
itu sebagai media pencerdasan, pencerahan, maupun sebagai penyampai informasi,”
ujar Zainal.
Namanya masih diingat orang. Pengalaman dan kepiawaian Zainal juga mempercepat
Sabili tinggal landas. Menurut pengakuan Zainal, Sabili bahkan pernah mencapai
angka 135 ribu eksemplar pada pertengahan 2000.
APA benar oplah Sabili 100 ribu? Pertanyaan ini muncul karena selama ini
suratkabar Islam tidak pernah mengungguli media umum sejenis. Apalagi hasil survei AC Nielsen itu muncul saat Indonesia
mengalami krisis ekonomi. Jangankan media Islam yang lekat dengan mitos “hidup enggan mati tak
mau,” suratkabar umum pun pada bertumbangan. Belum lagi kemungkinan AC Nielsen
melakukan kesalahan? Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong saya melihat sendiri
seberapa besar daya serap pasar terhadap Sabili? Bagaimana distribusi
dikerjakan?
Hasilnya sungguh di luar dugaan. Dari 40-an agen yang saya temui selama hampir
dua bulan, di mana 25 ada di Jakarta serta sisanya di sekitar Yogyakarta dan
Surabaya, semuanya mengatakan Sabili hampir selalu habis terjual. Sesekali
memang tersisa, tetapi ini jarang apalagi kebijakan pengembaliannya sangat
ketat. Beberapa kios tegas mengatakan tak pernah ada sisa majalah Sabili.
Di Jakarta saya melihat: kios di halte bus Pasar Genjing, Jalan Pramuka; bursa
majalah Rudi Hartono Makmur, Blok M; kios dekat palang pintu rel kereta api
Jalan Raya Pasar Minggu; kios di terminal Kampung Melayu dekat pintu keluar mikrolet
M-21 jurusan Pulogadung; Aritonang Agency di Jalan Budi Utomo; maupun pusat
agen besar Blok M (Jakarta Selatan), Pulogadung (Jakarta Utara), Senen dan
Jalan Budi Utomo (keduanya Jakarta Pusat).
“Majalah politik nggak laku sekarang,” ujar seorang agen, ketika saya tanya
perbandingan Sabili dengan Gatra, Tempo, Forum, dan sejenisnya.
Di kawasan stasiun Senen, Tamora Agency menangani Sabili sebanyak 6.000
eksemplar. Mereka bahkan pernah menjual Sabili hingga 10 ribu eksemplar. Tapi
gara-gara jatah returnya cuma lima persen, omset penjualan Sabili akhirnya
menurun. “Di gudang masih ada 4.000 eksemplar ditolak Sabili,” ujar seorang
penjaga.
“Bayangin, anak-anak yang jualan di perempatan jalan itu ngambilnya paling dua
atau tiga biji, sering tidak bisa terjual semua. Dia untungnya hanya lima ratus
perak, masak sisanya mau kita tolak?” kata penjaga lain.
Mereka berpendapat kalau ada kelonggaran retur, Sabili masih bisa meningkat
penjualannya.
“Kenapa tidak diusulkan ke Sabili?”
“Saya sudah bosan ngusulin,” ujar seorang penjaga.
Sirkulasi Sabili di Yogyakarta sebanyak 1.550 eksemplar. Dari jumlah tersebut,
menurut Arif Sulistomo dari Hanif Agency yang menjadi agen tunggal Sabili,
tidak sampai 20 persen retur (sisa penjualan) Sabili.
Hal yang sedikit berbeda terjadi di Surabaya. Secara acak, dari 11 kios yang
saya datangi, empat tidak menjual Sabili dengan alasan yang berbeda. Namun dari
kios-kios yang menjual Sabili, rata-rata berjalan lancar. Mulai dari terminal
Bungurasih, stasiun kereta api Gubeng, kios yang mangkal di Jalan Blauran dan
Jalan Kertajaya, sampai pada pusat penjualan majalah di Jalan Pahlawan,
Surabaya, mereka mengambil Sabili berkisar antara 15-25 eksemplar. Rata-rata,
menurut mereka, Sabili hampir selalu habis. Jarang tersisa.
Jumlah keseluruhan Sabili yang beredar di Surabaya sekitar 2.000 eksemplar.
Dari jumlah ini, 1.500 ditangani oleh Pustaka Sahabat yang menjadi agen tunggal
Sabili, dan 500 eksemplar diedarkan melalui Agen Samuji yang mangkal di Jalan
Pahlawan 116 Surabaya.
Sebagai sebuah majalah, pemasaran Sabili pada awalnya Sabili didistribusikan di
kalangan terbatas, yakni aktivis kampus, khususnya aktivis dakwah, serta
kelompok-kelompok pengajian. Mereka sekaligus juga sebagai tenaga pemasaran
Sabili.
Mereka adalah kelompok pengajian di kampus-kampus yang sangat fanatis. “Mereka
adalah komunitas yang solid sebagai jamaah. Dari mereka saja, oplah Sabili bisa
mencapai 80 ribu,” ujar Aru Syeif Assad dari majalah Media Dakwah
memperkirakan.
Para agen yang sekarang menangani ribuan eksemplar itu dulunya aktivis dakwah
kampus. Ambil contoh Hanif Agency Yogyakarta dan Pustaka Sahabat Surabaya.
Keduanya agen tunggal Sabili di kota masing-masing.
Menurut Arif Sulistomo dari Hanif Agency, dia menjual Sabili sejak mahasiswa.
“Waktu itu pemasarannya terbatas di kalangan aktivis pengajian di kampus,” ujar
Sulistomo.
Demikian juga dengan Sukimin dari Pustaka Sahabat Surabaya. Dia menjual Sabili
sejak aktif dalam kegiatan kerohanian di kampus. Awalnya pemasaran Sabili
memang ke kampus-kampus. “Yah, mungkin karena dianggap cepat tanggap terhadap
informasi dan kesejahteraannya juga relatif bagus,” ujar Sukimin.
Namun tiga tahun berikutnya, pemasaran Sabili mulai masuk ke pasar umum, meski
masih belum masuk ke agen-agen umum.
“Pasar umum dalam arti, umum mengetahui adanya Sabili, tahu di mana mendapatkan
Sabili. Misalnya, di mesjid-mesjid besar itu selalu ada, seperti Al-Azhar,
selalu ada orang jual Sabili. Jadi orang mau beli Sabili itu mudah. Dia sholat
Jumat di suatu tempat, dia akan dapatkan Sabili,” ujar Zainal. Namun ia
mengatakan hingga dilarang terbit pada 1993, Sabili belum sampai pada tingkat
outlet, agen-agen umum dan pengecer.
Ihwal Sabili tidak masuk pasar padahal nyata-nyata mendapat respon positif dari
pembaca, Zainal mengatakan itu memang disengaja. Karena, menurut Zainal,
agen-agen umum hanya mau enaknya. “Sabili dulu strict. Anda hanya boleh ambil
barang, kalau Anda bayar cash di muka. Minimal separuh,” ujar Zainal sambil
menjelaskan bahwa keuangan Sabili sangat minim. “Kalau tidak begitu, kita tidak
hidup,” tambahnya.
Dalam praktek distribusi suratkabar di Indonesia umumnya agen tidak mau bayar
di muka. “Maunya, dia ambil barang, bayarnya entar, tiga bulan lagi,” ujar
Zainal.
Namun, setelah publik mengetahui Sabili, apalagi dengan materi informasi yang
sama sekali berbeda dengan media umum, maka perlahan tapi pasti pasar Sabili
mulai meluas.
Menurut Aru Syeif Assad, Sabili periode 1998 adalah Sabili yang sudah disentuh
oleh bisnis pers pada umumnya. “Apalagi ditambah dengan publikasi yang agak
galak-galak juga dengan poster-posternya, agak menantang-menantang juga,
memanfaatkan situasi reformasi yang bebas. Lalu dia jual hal-hal yang
kontroversial, sehingga di pasaran pun orang penasaran, kemudian beli,” ujar
Assad.
Tapi, menurut Mabrur, faktor terpenting kenaikan Sabili adalah karena dia
menjadi media satu-satunya yang menyajikan informasi yang tidak dimuat
media-media lain. Dia mengibaratkan Sabili seperti Tempo yang dibredel bersama
Detik dan Editor pada 1994. Tempo bisa saja dibredel tapi tidak pembacanya.
“Ketika Sabili dibredel tahun 1993, dia meninggalkan pembaca yang cukup besar.
Ketika terbit lagi tahun 1998, dengan spanduk di mana-mana, orang jadi
penasaran, apalagi pembaca setianya yang dulu cukup besar,” ujar Mabrur.
“Kalau dulu oplah Sabili 60 ribu, orang yang pingin tahu situasi Ambon juga
membeli Sabili. Kan jadi tambah lagi. Jadi wajar kalau Sabili sampai 100 ribu
eksemplar,” tambah Mabrur, mengacu pada pertikaian Muslim-Kristen yang meledak
dan berlarut-larut di Ambon sejak 1997.
JIHAD Melawan Komplotan ‘Syetan’ Cabul. Itu adalah judul besar di kulit muka
Sabili 14 Juli 2000. Di
bawah judul besar itu tertulis “Overseas Chinese di Balik Kerusuhan.”
Judul-judul seperti itu memang akrab dengan Sabili. Hampir tiap edisi,
judul-judul Sabili adalah judul yang langsung menyentuh emosi pembaca. Dalam soal konflik
horizontal yang bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan, judul yang
dipakai Sabili lebih keras lagi.
“Agama di Balik Kebringasan Pasukan Salib” adalah judul besar pada edisi 9
Februari 2000. Di atas logo Sabili, tertulis “Prof Dr Nurcholis Madjid: Kalau
Dizalimi, Kita boleh Balas” --lengkap dengan foto Madjid.
Dengan judul-judul seperti itu tidak hanya umat Islam yang tertarik untuk
membaca Sabili, umat non-muslim juga merasa tergelitik. “Saya sangat menikmati
nuansa permusuhan yang ditampilkan Sabili,” ujar Emi Kleden dari Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara Jakarta yang bergerak di bidang pemberdayaan
masyarakat adat. Kleden mengatakan, meski tidak langganan, tetapi hampir selalu
membeli Sabili di kios-kios koran dan majalah.
Al Chaidar dari majalah Darul Islam mengatakan, “Ada beberapa distorsi pada
gaya bahasa Sabili yang terlalu bombastis, terlalu melebih-lebihkan, terlalu
menganggap suatu persoalan yang sangat penting, seolah-olah sangat mengancam
umat Islam.”
Al Chaidar membandingkan Sabili dengan majalahnya sendiri, Darul Islam, “Kita
melihatnya secara lebih proporsional, tetapi tetap dengan kacamata yang
radikal.”
Pilihan gaya penyajian Sabili yang melebih-lebihkan dibantah oleh Zainal
Muttaqin. Ia justru mempertanyakan orang yang menganggap penyajian Sabili
vulgar. “Anda mengatakan, Sabili vulgar. Boleh, vulgar menurut versi Anda. Tapi
saya juga bisa bilang, Anda penakut. Sama saja kan? Kalau itu yang terjadi kan
ribut. Biarin saja lah. Itu hak orang untuk beda pendapat,” ujar Zainal sambil
mengatakan bahwa informasi selama ini tersumbat jutru oleh media-media formal.
Ketika disinggung soal kekhawatiran sementara orang mengenai pengaruh penyajian
Sabili terhadap pembaca, Zainal justru mengkhawatirkan sebaliknya. “Saya juga
khawatir dengan cara Anda menulis. Orang jadi tidak konsisten,” ujar Zainal
serius.
Aru Syeif Assad, redaktur pelaksana majalah Media Dakwah, “Saya cenderung
mengatakan, dia lugas, apa adanya. Kalau orang menuduh provokatif, boleh-boleh
saja. Tetapi terasa tidak fair. Media kayak Rakyat Merdeka itu kurang
provokatif apa?” ujar Assad, mengacu pada sebuah harian Jakarta milik Jawa Pos
News Network yang reputasinya terkenal karena plintiran judul-judulnya.
Assad menegaskan, masalah yang diangkat Sabili adalah masalah agama –hal yang
memang sensitif– sehingga mudah disebut provokatif. “Padahal bahasa yang
dipakai ya biasa-biasa saja,” tambah Assad.
Atmakusumah Astraatmadja, ketua Dewan Pers, mantan wartawan Indonesia Raya, dan
salah satu wartawan senior Indonesia yang paling ceramah soal etika pers,
menyodok reputasi Sabili ketika mengatakan Sabili sebagai “media pamflet.”
“Saya mengatakan itu, baik sebelum saya diundang berbicara dengan para anggota
redaksi (Sabili) maupun ketika berbicara dengan mereka,” ujar Astraatmadja.
Menurut Astraatmadja, sebuah media disebut pamflet bila gaya penulisan dan
penyajian laporannya tidak sesuai dengan standar profesional pers dan kode etik
jurnalistik. Paling tidak ada dua syarat yang harus dipenuhi, akurasi dan fair.
“Wartawan harus sekuat tenaga untuk menampilkan berita yang akurat,” ujar
Astraatmadja, menambahkan syarat lainnya, yakni harus fair, tidak memihak.
“Kalau A menuduh B, ya si B harus didengar juga suaranya,” tambah Astraatmadja.
Tapi dia menambahkan pamflet pun punya hak sebagai bagian dari hak masyarakat
untuk berekspresi. “Saya juga mengingatkan, Anda oleh karena itu tidak bisa
menghalangi pihak-pihak lain yang sesemangat Anda, yang seradikal Anda, dalam
gaya penulisan media Anda, tetapi ideologinya berbeda. Misalnya ideologi kiri.
Anda harus dapat menerima kenyataan itu,” ujarnya.
Astraatmadja berpendapat bila kelompok Islam mengeluarkan pamflet macam Sabili
maka kelompok kiri pun, macam Partai Rakyat Demokratik, sebuah organisasi musuh
bebuyutan berbagai organisasi kanan, juga punya hak yang sama menerbitkan
pamfletnya.
Astraatmadja tidak terkejut dengan pembaca Sabili yang besar. Menurutnya, ada
atau tidak media semacam Sabili, pembacanya sudah ada sejak dulu. Bisa beberapa
ratus ribu atau bahkan beberapa juta orang yang sepaham dengan kebijakan
redaksional Sabili. “Tapi itu jangan dianggap bahwa media seperti ini serta
merta dapat diterima oleh khalayak umum yang luas,” tambah Astraatmadja.
Zainal Muttaqin membenarkan bahwa Atmakusumah pernah diundang diskusi bersama
anggota redaksi majalah Sabili. Tapi soal pernyataan bahwa Sabili media
pamflet, Zainal menanggapi ringan. “Itu hak dia. Kenapa kita mesti marah dengan
hak orang. Kalau kita mau dihargai hak kita untuk berpendapat, mari kita hargai
hak orang untuk berpendapat. Jadi, enjoy aja,” ujar Zainal santai.
Pernyataan Astraatmadja itu bukan satu-satunya. Al Chaidar menyatakan kekecewaannya
ketika diwawancarai Sabili sampai tiga kali dalam kasus Negara Islam Indonesia
(NII). Chaidar adalah pendukung ide negara Islam di Indonesia, namun dia pernah
terlibat sebuah beda pendapat dengan Abu Totok, seorang pengasuh pondok
pesantren di Indramayu.
“Yang mendukung Abu Toto dimuat sampai beberapa box. Sementara yang
menentangnya hanya beberapa frase,” ujar Al Chaidar. “Jadi tidak cover both
sides, kurang imbang antara yang pro dan kontra,” tambahnya.
Jurnal Media Watch and Consumer Center (MWCC) juga pernah menulis soal Sabili
dalam edisi Januari 2001 dengan judul “Kecerobohan Media dan Pertaruhan
Kredibilitas”. Sabili adalah salah satu dari empat media berbendera Islam yang
diteliti organisasi dari The Habibie Centre itu. Keempatnya adalah Sabili,
Jurnal Islam, Media Dakwah dan Saksi.
Yang dipersoalkan dari Sabili adalah laporan yang judulnya diletakkan di kulit
depan: Overseas Chinese di Balik Kerusuhan. “Judul itu saja sudah bermasalah
karena ditampilkan sebagai sesuatu yang definitif,” tulis jurnal MWCC. Untuk
laporan sepenting itu, yang menuduh orang-orang Cina perantauan, Sabili hanya
menggunakan satu sumber, itu pun dari seseorang yang diberinya label
“pengamat,” bukan dari data lapangan.
Kesan yang bisa timbul Sabili sebenarnya memiliki kesimpulan tertentu bahwa
Cina perantauan merupakan dalang kerusuhan, tapi kemudian tak kunjung berhasil
memperoleh verifikasi di lapangan. Akibatnya, satu nara sumber pun dijadikan
“alat” untuk membenarkan kesimpulan. Cara menurunkan laporan macam ini dalam
jurnalisme sangat dijauhi.
Ketika saya konfirmasikan hal ini kepada Zainal, dia mengatakan sudah membaca
jurnal The Habibie Center tersebut, “Dalam alam demokrasi, semua orang berhak
untuk menilai. Apakah benar atau tidak, itu urusan lain.”
Akbar Muzakki dari majalah Suara Hidayatullah mengatakan bahwa media semacam
Suara Hidayatullah atau Sabili memiliki keterbatasan dalam melakukan reportase.
“Di dalam sebuah media agama, kalau kita melakukan investigative reporting yang
bener-bener, kadang juga ada kendala, karena tidak semua orang mau memberikan
data dan fakta secara kongkret,” ujar Muzakki.
Mabrur dari Saksi memahami apa yang ditulis MWCC. Memang kerjanya organisasi
media watch memberikan kritik atau pertimbangan. “Saya pikir memang betul. Saya
sudah bilang, gimana kita nggak mau berpihak. Kita memang majalah dakwah, kita
berpihak kepada Islam,” ujar Mabrur.
Dia menambahkan, kalau dibilang tidak cover both sides, mungkin saja. Tapi
untuk menuju cover both sides sudah dilakukan. “Cuma mungkin proses dan
kedalaman wawancaranya mungkin tidak terlalu bagus,” ujar Mabrur.
Berpihak pada Islam, menurut Atmakusumah Astraatmadja boleh-boleh saja, “Tapi
kalau tidak memenuhi standar profesional pers, bukan pers, itu saja.” Kalau
misalnya terjadi komplain atau keberatan-keberatan dari masyarakat berkenaan
dengan tulisan di suatu media, Astraatmadja menyarankan langsung lewat jalur
hukum. “Tidak bisa berlindung di balik filosofi kebebasan pers,” ujar
Astraatmadja.
“Kebebasan berekspresi tetap bisa berhadapan dengan proses hukum,” tambahnya.
Ia menegaskan media yang tidak memenuhi standar pers tidak hanya Sabili. “Ada
banyak kok. Tidak fair juga kalau hanya Sabili yang disebut,” ujar
Astraatmadja. Namun dia mengatakan Sabili kini lebih baik. “Sudah agak berubah
sejak kami berdiskusi waktu itu. Sudah lumayan keberimbangannya,
ketidakbiasannya sudah lebih lumayan. Tapi secara detail saya tidak mengamati
secara terus menerus,” tambah Astraatmadja.
IKLAN ternyata tak mengikuti prestasi Sabili. Hingga bulan Mei, rasio iklan dan
halaman Sabili berkisar antara 10-15 persen. Prosentase ini tergolong kecil
jika dibandingkan dengan oplah Sabili yang berkisar 100 ribu eksemplar.
Ahmad Hussien Siregar, kepala bagian media Metro Advertising, mengatakan tidak
ada komunikasi antara Sabili dan biro iklan. Siregar merasa heran dengan Sabili
yang oplahnya besar tapi tidak ada iklannya. “Mungkin karena nggak mau jualan,
nggak aneh kalau nggak ada iklannya.”
Hal yang kurang lebih sama juga dikemukakan Bambang Dwi Cahyono dari Komunika
Advertising. Bambang mengatakan iklan Sabili yang kecil adalah risiko dari
pilihan topik yang difokuskan pada tema yang sangat segmented. Menurut Cahyono,
ada banyak media yang memang ditujukan kepada orang yang punya concern terhadap
segmen tertentu misalnya majalah arsitek, otomotif, pertanian, yang sengaja
menciptakan segmen pembaca yang terbatas.
“Cuma, bedanya, Sabili sifatnya sangat keras. Radikal sekali. Buat saya bagus.
Memang harus ada yang punya keberanian untuk ngomong lebih lugas. Hanya
konsekuensi pasar juga harus diterima. Akhirnya, advertiser juga mengatakan,
wah kalau saya masang iklan di sini, readers-nya kayak apa nih. Apa produknya
cocok dengan pembaca Sabili?” ujar Cahyono.
Menurut Zainal Muttaqin, dia bisa memahami sikap biro iklan tersebut. “Pertama
memang ada kendala dari pihak luar. Sementara kitanya juga nolak karena nggak
sesuai dengan visi kita,” ujar Zainal.
Zainal menceritakan pengalamannya menolak tawaran biro iklan yang mau
mengiklankan sebuah kaset yang berisi lagu-lagunya Krisdayanti yang bertema
keagamaan. Menurut Zainal, lagunya itu sendiri bagus. “Tapi bagi kita bukan
soal lagunya bagus. Tapi citra Krisdayanti sebagai sexy figure, itu masalah.
Ya, kita coret,” ujar Zainal tegas.
Ia mengatakan, Sabili punya kode etik tersendiri soal iklan. “Sesuatu yang
jelas-jelas halal, jelas-jelas baik,” ujarnya.
“Kalau sampai keluar dari kriteria itu, kita lebih baik kagak dapat duit
daripada kayak gitu,” tambah Zainal dalam logat Betawi.
ENTAH karena urusan pemasukan yang kecil atau ditambah persoalan lain, pada
Maret 2001, Zainal dinonaktifkan sebagai pemimpin redaksi Sabili. Jabatan
pemimpin redaksi ditiadakan. Jabatan tertinggi redaktur pelaksana dipegang MU
Sulaiman.
Jangan tanya soal pemecatan ini, Zainal menolak menjelaskan. “Ada beberapa
perbedaan pandangan sehingga membuat kita nggak bisa ketemu,” katanya.
Soal kecewa? “Siapa sih yang suka meninggalkan sesuatu yang kita dirikan dengan
banting tulang segala macem. Tapi kalau ada aturan main yang mengatakan bahwa
yang tertinggi adalah RUPS, mau ngomong apa? Saya ingin mengatakan, saya orang
yang sangat menghormati aturan main, betapa pun tidak kita sukai,” ujar Zainal.
Memang Zainal Muttaqin diberhentikan dalam rapat umum pemegang saham Sabili yang
dipimpin oleh komisaris utama Rahmat Ismail. Saya mencoba mencari penjelasan
dari Ismail namun selama dua bulan upaya itu tak berhasil.
“Itulah risiko kita memakai sistem kapitalis, yang berkuasa adalah pemilik
uang,” tambah Zainal getir.
Beberapa pekerja pers dari media Islam menyesalkan pemecatan Zainal. “Zainal
identik dengan Sabili. Sabili itu Zainal, Zainal ya Sabili,” ujar A Mabruri M
Akbari dari Saksi.
Setidaknya, Zainal bisa menghibur diri dengan mengetahui bahwa kisah sukses
Sabili membuka mata banyak orang betapa pembaca Muslim sebetulnya tidak bisa
dianggap remeh. Banyak media Islam bermunculan. Sebagian besar lahir setelah
era reformasi. Dan, seperti Sabili, format mereka rata-rata berukuran mini,
setengah folio. Beberapa diantaranya adalah Umi, Saksi, An-Nida, Jurnal Islam,
Nur Islam, Tarbawi, Al-Izzah, Darul Islam, Sufi. Sementara yang sudah lebih
awal adalah Media Dakwah dan Suara Hidayatullah.
Mau tidak mau persaingan memperebutkan pembaca Muslim jadi semakin ketat.
Sabili bisa saja tidak merasa bersaing dengan media-media Islam. Namun para
pengelola media-media Islam sudah pasang kuda-kuda untuk merebut pasar Sabili. Pada titik inilah peranan Zainal dianggap agak
ketinggalan zaman.*