Wartawan Senior
Mon, 2 July 2001
PEREMPUAN kecil, ramah, dan sederhana ini tangannya kurus dan keriput. Usianya 89 tahun. Perempuan ini penuh semangat, suka bercanda...
PEREMPUAN
kecil, ramah, dan sederhana ini tangannya kurus dan keriput. Usianya 89 tahun.
Perempuan ini penuh semangat, suka bercanda, dan kelihatannya enteng dalam
menjalani hidup.
Namanya Soerastri Karma Trimurti tapi orang biasa mengenalnya sebagai S.K.
Trimurti –sebuah nama dalam sejarah Indonesia modern. Nama Karma dan Trimurti
adalah nama samaran yang dipakainya secara berganti-ganti untuk menghindari
delik pers pemerintah kolonial Belanda. Berkali-kali dia keluar masuk penjara
senjak 1936 sampai 1943. Anak keduanya bahkan dilahirkannya ketika dia berada dalam
penjara pada 1942.
Mei 2000 Trimurti sempat dirawat di rumah sakit. Gara-gara terjatuh ketika
hendak duduk. Tapi sekarang Trimurti sudah bisa lagi cium lutut lagi. “Saya
berlatih yoga sejak muda,” katanya, sembari memamerkan bagaimana dengan mudanya
dia melakukan cium lutut.
Kini Trimurti masih wira-wiri ke sana ke mari, ikut rapat Petisi 50 setiap
Selasa, atau hadir bicara di seminar-seminar. Trimurti sehat walafiat. Tak ada
sakit serius, kecuali mata sebelah kanan yang merosot penglihatannya karena
usia. Hingga kadang ketika dia berjalan pagi di sekitar rumah, tetangganya
sering melontarkan senyum yang tak berbalas olehnya. Bukan karena sombong, tapi
memang nggak lihat, “Wong saya baca saja pake kaca pembesar!” ujarnya,
terkekeh.
Dulu Trimurti dikenal karena majalah Pesat, Bedug, dan Genderang. Semuanya
sudah tak terbit. Trimurti kini menghabiskan hari tuanya di sebuah rumah
sederhana di Jalan Kramat Lontar H-7 di daerah Kramat, Jakarta. Bajaj
berseliweran di depan rumah, suara gaduh mereka tumpang tindih dengan suara
orang lewat, anak kecil yang menangis, atau teriakan ibu-ibu yang memanggil
tukang siomai.
Sebagian kamar rumahnya disewakan untuk indekost para karyawati. Di ruang
tamunya tergantung lukisan Semar, seorang tokoh pewayangan setengah dewa dan
setengah manusia, separuh laki-laki dan separuh perempuan. Tokoh wayang yang
dikeramatkan oleh sebagian orang Jawa.
Timurti lahir dan dewasa di lingkungan Jawa. Sebagai perempuan Jawa sikapnya
terhadap hak perempuan sangat tegas dengan bingkai sopan santun kejawen. Dia
hormat pada Sayuti Melik, mantan suaminya yang dikenal orang karena mengetik
naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sayuti Melik menikah
dengan Trimurti pada 1938 tapi bercerai pada 1969 karena Melik menikah lagi.
Di ruang tengah rumahnya, ada gambar ukuran 100x60 cm di mana diperlihatkan
Trimurti bersalaman dengan Presiden Soekarno saat menerima Bintang Mahaputra
Tingkat V. “Saya sedang dijothak (didiamkan) Bung Karno waktu itu, karena
memprotes poligami!” Trimurti tersenyum menerawang, mengingat-ingat Soekarno
yang kharismatik tapi punya istri banyak.
Trimurti mengatakan dia sangat loyal kepada Soekarno, sang guru politik
sekaligus orang yang memaksanya untuk pertama kali menulis di majalah Fikiran
Rakyat. Soekarnolah yang membuatnya kecemplung di dunia jurnalistik, setelah
sebelumnya Trimurti jadi guru di sekolah dasar khusus puteri di Surakarta dan
Banyumas, serta perguruan rakyat di Bandung.
PADA waktu hampir bersamaan, juga ada seorang guru asal Blitar, yang banting
jalan hidup ke dunia jurnalisme. Dia adalah Soebagijo Ilham Notodidjojo atau
Soebagijo I.N. yang mungkin lebih dikenal karena bukunya Jagat Wartawan
Indonesia.
Soebagijo lahir pada 5 Juli 1924. Soebagijo mulanya bekerja jadi reporter di kantor
berita Antara di Yogyakarta saat zaman revolusi. Jagatnya yang terakhir
tersebut rupanya menjadi jagat yang seterusnya dihidupi dan menghidupi dirinya
beserta keluarga selama dua pertiga usianya.
Kini dalam usia 77 tahun, Soebagijo hidup bersama Siti Supiah, perempuan yang
memberinya enam anak. Rumah mereka terletak di Jalan Danau Tondano RP-1 di
daerah Pejompongan, Jakarta. Rumah yang tak begitu besar namun berhalaman luas
dan selalu bersih. Soebagijo secara rutin menyapu halaman rumahnya, setiap istirahat
siang, yang dimulai pada pukul 13.00 sampai 16.00.
Di kalangan wartawan senior, Soebagijo dikenal sebagai tukang catat sejarah
jurnalisme Indonesia. Lebih dari 3,000 buku ada di rumahnya, berjajar dalam
berbagai rak, belum termasuk tiga peti besar yang sedang dimakan rayap. Salah
satu koleksi buku tuanya adalah kamus Jawa-Belanda beraksara Jawa dan Latin
yang dicetak pada 1875. Sayang kamus ini termasuk yang ada dalam peti.
Ia sedih, namun dalam tetap bersyukur atas apa saja yang dimiliki atau telah
dialaminya. Materi memang tak berlimpah, namun semua anaknya berhasil
menyelesaikan pendidikan tinggi mereka. Dia juga sudah menunaikan ibadah haji,
berkeliling ke lima benua. “Dia orang sholeh yang sumeleh (ikhlas menerima),”
kata Jakob Oetama dari harian Kompas tentang Soebagijo suatu ketika.
“Saya tidak puasa Senin-Kamis sejak Mbok Ratu melarang,” kata Soebagijo. “Mbok
Ratu” adalah panggilan Soebagijo terhadap istrinya. Ini harus dilakukan
Soebagijo sejak dia mengidap vertigo dan pengeroposan tulang. Puasa dilakukan
hanya pada bulan Ramadhan.
Secara tidak tentu, Soebagijo masih melayani wawancara untuk media atau
penelitian. Sesekali masih menulis. Tapi paling sering dia melakukan
korespondensi dengan sahabat-sahabatnya baik yang di luar negeri atau para
teman yang dulu sama-sama jadi murid Sekolah Guru Laki-laki di Blitar.
“Kemarin saya mendaftar dengan Mbok Ratu untuk ikut reuni SGL tapi saya
batalkan. Situasinya sedang tidak jelas,” kata Soebagijo. Rumahnya hanya
berjarak satu kilometer dari gedung parlemen, namun dia hanya mengikuti riuh
rendah politik di tempat tersebut melalui televisi dan koran.
MOHAMAD Jusuf Ronodipuro kini berusia 82 tahun. Tapi dia seperti tak bisa duduk
diam. Dia seolah masih mau membuktikan dirinya masih mematri semboyan “Sekali
di udara tetap di udara!” –semboyan yang dulu sering dia pekikkan di depan
corong Radio Republik Indonesia. Ronodipuro memang salah satu pendiri RRI zaman
revolusi. Antara 1947 sampai 1956 dia giat di bidang penyiaran radio dan
terakhir bertugas sebagai kepala RRI Jakarta.
Beberapa orang mengatakan bahwa dia adalah sumber inspirasi terciptanya lagu
Berkibarlah Benderaku. Itu terjadi pada malam 21 Juli 1945 ketika Ronodipuro
menolak perintah serdadu Belanda di bawah ancaman senjata. “Kalau memang
bendera harus turun, maka dia akan turun bersama bangkai saya!” katanya tak
kalah mengancam.
Hari ulang tahun Ronodipuro adalah 30 September, dan ini sangat merisaukannya.
“Selama berpuluh tahun kekuasaan Orde Baru, hari ulang saya selalu diperingati
dengan bendera setengah tiang,” selorohnya. Dia kemudian mengangsurkan buku
Biografi Oemardhani. Dibukanya halaman pertama. Tangannya menunjuk sebuah
kalimat, “For my Boss!” terparaf nama Oemardhani. Ya, Oemardhani adalah salah
satu anak buah Ronodipura, ketika Oemardani belum memasuki karir militer di
Angkatan Udara Republik Indonesia. Hubungan mereka terus berlanjut bahkan
setelah Oemardhani ditahan karena peristiwa 30 September 1965.
”Sejak tahun 1995 saya tidak mau lagi hadir pada peringatan 17 Agustus di
istana!” kata Ronodipura. Ini agak aneh karena Ronodipuro bersama Bachtar Lubis
adalah orang pertama yang membacakan isi teks Proklamasi 17 Agustus 1945 lewat
radio. Siaran inilah yang banyak didengar orang Indonesia dan dunia. Suara Bung
Karno yang jadi dokumen audio satu-satunya untuk proklamasi adalah hasil
rekaman Ronodipuro. Dia merekamnya di awal tahun 1951. Baginya, apa yang dia
sumbangkan pada masyarakat melalui berbagai posisi tugasnya di birokrasi Orde
Baru sudah cukup. dia pensiun 31 Mei 1976 setelah menempati berbagai pos di
Departemen Luar Negeri dan Departemen Penerangan.
Pensiun tak berarti dia berdiam diri di rumah. Sampai kini Ronodipuro adalah
penasehat di beberapa organisasi sosial nirlaba macam LP3ES, Yayasan Lembaga
Indonesia Amerika, dan Dewan Harian Nasional Angkatan ’45. Sebuah buku saku
bersampul hitam selalu dikeluarkannya bilamana ada orang meminta waktunya untuk
bertemu.
Tapi Ronodipuro merasa tak pernah kekurangan waktu untuk sekali dalam seminggu
menemani lima orang cucu persembahan dari tiga anaknya. Ronodipuro juga tak
pernah melewatkan waktu menjelang tengah malam sampai pukul satu dini hari
untuk menikmati cerutu Romeo and Julliet atau Davidoff berbandrol Havana Kuba
di ruang tengahnya. Dia memutar musik klasik sambil menelusuri lukisan Basuki
Abdullah, Soedjojono, Affandi yang tergantung di dinding rumahnya. Suara bising
lalu lintas di Jalan Talang Betutu, depan rumahnya di Jakarta telah mengendap
di embun malam. Pendiri RRI tersebut sebentar lagi beristirahat, dan Siti Fatma
Rassat istri tercinta masih setia menunggunya di kamar.
BENDERA setengah tiang setiap 30 September menyimpan ingatan pahit bagi seorang
Karim DP. Paling tidak, berawal dari hari tersebut maka seluruh kenyataan
sejarah menjadi sungsang. Karim adalah ketua Persatuan Wartawan Indonesia
periode 1963-1965 –sebuah organisasi yang dianggap dekat dengan pemerintahan
Presiden Soekarno. Gara-gara jabatan itu, sejak Kamis 30 September 1965, Karim
kehilangan segalanya. Segala harta milik pribadi, namun terutama kebebasan
telah dirampas tanpa pengadilan.
Karim DP meringkuk di penjara Salemba, Jakarta, selama 14 tahun tanpa proses
peradilan. Dia menghayati semua itu dengan pikiran sejernih mungkin. Sehingga
istilah putus asa menjadi terlalu murah untuk dibayar dengan apa yang
dilakukannya selama itu. Sebagai jurnalis, dia mengembangkan profesionalismenya
secara optimal. Cuma politik rasanya seperti cuaca, yang tak pasti ditebak
sampai kapan bersahabat dan kapan datang, tak ampun membabat.
Tiras terakhir harian Warta Bhakti yang dipimpinnya mencapai angka 100 ribu
eksemplar dengan volume terbit tiga kali sehari. Karim mengenangkan itu semua
pada senja usia dari rumah di komplek Radio Republik Indonesia No. 35 Tanjung
Duren Selatan, Jakarta. Rumah
tersebut adalah rumah dinas jatah anaknya yang dibangun dengan jerih payah
istrinya sewaktu Karim dipenjara.
Karim menyimpan baik-baik semua kenangan tersebut dengan bangga. Sekecil apapun
kebanggaan atas apa yang dicapainya di masa lalu, menjadi penting baginya untuk
merawat harga dirinya sebagai manusia. Karenanya, dia kini tak segan lagi untuk
menggugat perampasan rumah pribadinya di jalan Otto Iskandar Dinana yang sampai
sekarang masih diklaim sebagai milik seorang perwira militer dari Komando
Daerah Militer Jakarta.
Melewati usia 74 pada 29 Mei lalu, dia mengurus sendiri semua gugatan ke
militer Jakarta.
Dengan tas kulit imitasi dia masih sanggup naik turun mikrolet dan bus umum
sendirian. Meski dua orang anaknya sudah mapan dalam bidang kerjanya masing-masing,
dia tak mau merepotkan anaknya dengan urusan itu. Kini, sambil tetap menulis
buku atau artikel, dia masih berjuang untuk merebut kembali hak atas rumahnya.
Ini dilakukannya lebih karena harga diri dan kebenaran yang diyakininya.
SEBUAH rumah besar di kawasan mahal Taman Patra Kuningan adalah tempat tinggal
Siti Latifah Herawati Diah. Tiga orang anaknya sudah mandiri dan sukses dalam
dunia masing-masing.
Herawati memasuki usianya yang ke-84 pada 3 April lalu. Herawati juga masih
sering memakai kebaya dan sering terlihat menghadiri rapat-rapat di Komisi
Nasional Perempuan. Selain itu dia juga bergabung dengan beberapa ibu-ibu
penggemar olahraga bridge yang setiap minggu bergiliran main di rumah para
anggotanya. Di perkumpulan ini usia rata-rata anggotanya di atas 70 tahun.
Mereka rata-rata fasih bicara bahasa Belanda atau Bahasa Inggris atau keduanya.
Herawati dikenal sebagai pendiri harian berbahasa Inggris Indonesian Observer
pada 1955. Namun harian itu sudah dijualnya dan sejak Juni ini berhenti terbit.
Bersama seorang sekretarisnya, Herawati kini mengatur segala jadwal pekerjaan
sehari-harinya dari rumahnya di Taman Patra X/10, Kuningan, Jakarta.
Nampaknya gangguan osteoporosis telah memaksanya untuk mengurangi aktivitas
fisiknya. dia menjadi anggota klub Pusat Kesehatan Olahraga dr. Sadoso di
Senayan. Klub ini diperuntukkan bagi penderita osteoporosis. Biasanya setiap
hari Selasa, Kamis dan Sabtu, jam enam pagi Herawati sudah sampai di Senayan
untuk mengikuti program klub osteoporosis tersebut.
Herawati memasuki karir jurnalistik sebagai stringer United Press International
pada usia 22 tahun. Pada masa pendudukan Jepang dia menikah dengan B.M. Diah
dari harian Merdeka.
Perkawinan mereka pernah retak karena BM. Diah mempunyai istri lagi. Namun di
sisi lain, Herawati juga sedih ketika “penanda terpenting” dalam kehidupan
perkawinan mereka, harian Merdeka harus mati suri beberapa saat lalu.
Kini mungkin dia bisa sedikit tersenyum lega, karena pembenahan manajemen
Merdeka diharapkannya bisa membuat siuman harian tersebut. Tapi Herawati
sebagai orang media tahu betul bahwa bisnis media tak sesederhana dulu lagi.
Suratkabar baru lahir seperti jamur di musim hujan. Dia tetap berharap-harap
cemas.
S.K. Trimurti, Soebagijo IN., serta wartawan tua lain, adalah manusia yang satu
persatu melukis senja harinya dengan warna kenangan yang dipilihnya sendiri.
Mereka menghabiskan sebagian besar usianya sebagai pencatat peristiwa dan
sejarah Indonesia, yang pada
porsinya juga jadi catatan panjang sejarah jurnalisme dan media di Indonesia.*