BERANDA
LIPUTAN
PROGRAM
MAJALAH
PROFIL
Densus 88 Kembangkan Target
Nivell Rayda
Tue, 16 September 2014

Densus 88, unit khusus kepolisian dibentuk tak lama setelah bom bali pertama 2002. Mereka dilatih dan dapat banyak bantuan dari Amerika dan Australia untuk mengatasi terorisme. Di lapangan, ada fakta-fakta mereka tak hanya urus soal terorisme. Mereka juga mengurusi aksi-aksi damai warga yang menolak tambang hingga menyerukan kemerdekaan di Ambon, Aceh, Bima, hingga Papua.

Matahari pagi perlahan naik di pulau Ambon dari arah Gunung Salahutu. Namun pulau ini tak segera menghangat. Mentari masih bersembunyi di balik awan gelap. Jauh di cakrawala, di seberang laut Banda tetesan hujan mulai jatuh. Angin dingin membuatku bergemetar tak terkira saat pemanduku Rezon memacu motornya kencang di jalanan Ambon yang sepi. Rezon seperti terbiasa dengan dinginnya pulau Ambon. Saat itu, ia hanya memakai sandal jepit butut, celana loreng sepanjang lutut dan kaos oblong tipis bergambarkan pulau Ambon.

“Kita su di sini, nah kita mau ke sini lai,” kata Rezon sembari menunjuk satu bagian dari kaosnya, sambil memacu motornya lebih kencang.

Kami sedang terburu-buru dan perjalanan kami masih lumayan jauh. Aku ada janji ketemu dengan seorang aktivis Republik Maluku Selatan yang minta disebut Geba atau “teman” dalam bahasa Maluku.

Sebelumnya kutemui Geba di kedai kopi kecil di pojok pasar di kota Ambon. Kami menikmati kopi ditingkahi lagu Bob Tutupoli yang lantang. Berjam-jam kami bincangkan bagaimana orang Eropa menjajah Maluku dengan mencuri rempah-rempah untuk membangun kampung asal mereka. Kini, penjajahnya berganti menjadi penguasa Jakarta. Rakyat Maluku semakin terbelakang dan tertinggal.

Geba menyimpan satu cerita yang hanya bisa dikisahkan di kediamannya: sisi kelam perjuangannya dengan RMS.

“Saya telah membayar mahal untuk cita-cita saya,” katanya saat kami bertemu lagi di teras belakang rumahnya. Perlahan ia buka semua kancing kemejanya demi untuk menunjukkan ratusan luka bakar kecil persis seukuran jari kelingking tersebar di hampir seluruh permukaan dada, perut dan punggungnya.

“Ratusan kali saya disundut rokok oleh polisi,” katanya.

Geba ditangkap aparat tahun 2006. Ia dituduh makar dengan memimpin suatu upacara pengibaran bendera “Benang Radja” simbol Maluku merdeka.

Geba dipaksa berbaring telungkup di atas dua kursi sambil diinterogasi di markas Detasemen Khusus 88, Tantuwi, Ambon. Ia ditendang aparat berkali-kali. “Mereka juga memukul saya berulangkali di kepala dengan popor senapan mereka. Mereka juga memecahkan gelas di kening saya. Bahkan ketika saya sudah terkulai lemas tak berdaya, darah mengucur deras dan tiga gigi saya tanggal, penyiksaan terhadap saya tidak berhenti,” katanya.

Namun luka yang masih dibawa sampai kini adalah ketika ia disebut, “anjing RMS.” Orang-orang yang bertanggungjawab terhadap penyiksaan sadisnya itu adalah Densus 88, sebuah unit khusus kepolisian yang sebenarnya dibentuk untuk memberantas terorisme bukan tahanan politik yang menyerukan kemerdekaan secara damai.
Densus 88 dibentuk tak lama setelah kejadian Bom Bali pertama di tahun 2002.

Bermodalkan ketakutan dunia terhadap serangan-serangan terorisme, unit baru ini menerima banyak sekali bantuan uang maupun pelatihan dari negara-negara macam Amerika Serikat dan Australia.

Gampang sekali membedakan Densus 88 dengan polisi lainnya. Sementara polisi dari unit-unit lain menenteng senapan laras panjang dan pistol revolver dari Pindad, sebuah Badan Usaha Milik Negara penghasil senjata lokal, anggota Densus 88 menggunakan senapan Styer AUG yang lazim dipakai tentara dan unit taktis polisi federal Australia atau senapan AR 15 buatan Amerika.

Sayang senapan-senapan itu tak banyak terpakai pasca Bom Bali kedua tahun 2005 –setelah itu hanya ada kejadian-kejadian terorisme kecil di Poso, Sulawesi Tengah dan Ambon, Maluku. Tugas besar yang tadinya diemban Densus 88 menjadi tidak signifikan lagi sementara sumber daya yang mereka miliki begitu banyak. Genap empat tahun kemudian baru mereka aktif kembali saat Indonesia mengalami pemboman besar di tahun 2009, kali ini terhadap hotel JW Marriott dan Ritz Carlton di Kuningan, Jakarta Selatan.

“Idealnya [Densus] tetap fokus memberantas terorime,” kata Taufik Andrie, direktur riset Yayasan Prasasti Perdamaian, sebuah konsultan keamanan di Jakarta. “Kita tak bisa pungkiri, Densus lebih berpengalaman, puya peralatan lebih canggih dan keterampilan untuk melakukan penyelidikan daripada unit-unit [kepolisian] yang lain.”

Pada Juni 2007, Densus 88 terlibat dalam penangkapan 22 aktivis RMS yang dituduh telah membentangkan bendera Benang Radja di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat kunjungan resmi ke Maluku.

Eva Kusuma Sundari, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengatakan bahwa Densus 88 juga terlibat dalam penyelidikan kejahatan perbankan.

“Saya pernah bertemu beberapa anggota Densus dan mereka bilang mereka disuruh meneliti SP3-SP3 [Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara] perbankan,” kata Kusuma Sundari.

Sepertinya keterlibatan Densus dalam urusan-urusan di luar terorisme kembali terulang, pasca terbunuhnya figur-figur besar jaringan terorisme regional, seperti: Nurdin M Top dan Dulmatin dan tertangkapnya orang-orang seperti Abu Bakar Baasyir dan Umar Patek.

Bulan Agustus 2011, Markas Besar Polri mengirimkan anggota Densus 88 ke Nafri, Papua setelah empat orang, termasuk satu anggota militer tewas ketika angkot yang mereka tumpangi disergap oleh orang-orang yang dicurigai sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka.

“Kami telah mengirimkan penyidik dari Densus 88 ke Nafri untuk membantu Polda Papua melakukan pengejaran para pelaku,” kata mantan juru bicara Polri Irjen Anton Bachrul Alam saat itu.

Oktovianus Pekei, seorang pendeta dari kabupaten Paniai, Papua bilang anggota Densus 88 juga terlihat di ibukota kabupaten Enarotali saat menggeledah rumah-rumah warga saat kepolisian terlibat kontak senjata dengan pejuang-pejuang OPM pada November 2011.

“Polisi di Paniai itu berbeda dari Brimob [Brigade Mobil] tapi polisi bilang mereka itu Brimob. Penampilan mereka tak seperti biasa. Pakai penutup muka sampai terlihat hanya mata saja. Pakai peralatan lengkap canggih dan senjata canggih seperti itu,” kata pendeta Pekei.

Bahkan Densus 88 juga diduga berada di Bima, Nusa Tenggara Barat saat kabupaten tersebut sedang dilanda bentrokan antara aparat dan warga desa Lambu yang sedang menolak kehadiran eksplorasi emas di daerah mereka.

Mulyadin, juru bicara para demonstran mengatakan anggota Densus 88 menggeledah rumah-rumah warga saat mencari 50 tahanan yang kabur dari rumah tahanan di kota Bima saat demonstran membakar kantor bupati dan penjara setempat.

Juru bicara Mabes Polri Irjen Saud Usman Nasution, yang dulu pernah jadi anggota Densus, membantah kehadiran unit antiteror ini di Bima. “Gak ada hubungannya. Ini kasus pidana umum dan gak ada sangkut pautnya dengan Densus,” Saud menjelaskan. “Densus 88 itu di bawah Kapolri. Gak bisa polda meminta bantuan begitu saja.”

Walau begitu, Saud tidak membantah bahwa Densus 88 diperbantukan untuk menumpas gerakan separatisme di Papua.

“Berbicara soal terorisme itu tidak melulu berbicara soal radikal jihad. Menurut undang-undang terorisme segala bentuk ancaman yang menimbulkan keresahan di masyarakat dapat dikategorikan sebagai bentuk terorisme,” katanya.

Pengamat terorisme Noor Huda Ismail tidak sependapat Densus 88 perlu terjun ke bidang-bidang lain termasuk separatisme. “Pertanyaannya selama ini memangnya terorisme sudah selesai?” tanya Huda.

Huda menjelaskan bahwa masih banyak teka-teki maupun tokoh kunci yang belum tuntas diselesaikan oleh Densus 88. “Umar Patek itu setahun tinggal di Indonesia. Dalam setahun udah berapa orang yang bertemu dengan dia? Berapa besar jaringan yang bisa dia bangun?” Huda menyoal.

Ada juga pemain baru seperti Sigit Qurdowi yang ditembak mati setelah memimpin kelompok yang bertanggungjawab terhadap bom bunuh diri di Cirebon, Jawa Barat dan Solo, Jawa Tengah di tahun 2011. Ada pula beberapa peserta pelatihan kamp terorisme di pegunungan Jalin Jantho, Aceh yang belum tertangkap hingga kini.

Tetapi bukan dari banyaknya tersangka terorisme yang masih bebas yang membuat Taufik dari YPP khawatir. Sejak Densus 88 mulai menyelidiki kasus-kasus terorisme di tahun 2004, mereka sudah terkenal dengan kasus-kasus penyiksaan dan pembunuhan tanpa prosedur hukum yang jelas.

“Baru di tahun 2008 penyiksaan itu berhenti,” katanya. “2008, mulai banyak sumber-sumber dan mantan teroris yang membantu Densus dalam membongkar jaringan terorisme. Begitu jaringan mereka mulai terbongkar, mulai berkurang kebutuhan untuk mendapatkan informasi dari penyiksaan.”

Walaupun berbekal informasi-informasi baru, kasus pembunuhan terhadap tersangka teroris tak lantas berhenti. Di tahun 2010, anggota Densus 88 menembak mati lima orang di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Polisi mengatakan mereka adalah teroris yang berbahaya dan berusaha menyerang polisi. Hingga ini, hanya empat dari lima tersangka yang ditembak mati di Cawang teridentifikasi. Ada kecurigaan bahwa korban kelima bukan teroris.

“Sangat mungkin,” kata Taufik saat ditanya kemungkinan Densus 88 menggunakan penyiksaan jika diperbolehkan terlibat dalam urusan separatisme. “Jaringan [separatisme] belum terbongkar tetapi di waktu bersamaan ada tekanan besar untuk menyelesaikan kasus-kasus secara cepat.”

Kekhawatiran ini punya bukti kuat. Yonias Siahaya, yang ditangkap pasukan Densus 88 pada tanggal 3 Januari, 2010 karena kedapatan menyimpan bendera Benang Radja warisan dari ayahnya, adalah saksi hidup kebrutalan Densus 88 saat menghadapi isu separatisme. Selama dua minggu Yonias lumpuh dari pinggang ke bawah setelah ia disiksa di markas Densus 88 Ambon di Tantuwi.

“Kepala beta dikasih pasang kantung hitam. Ada empat orang Densus semua. Beta diinterogasi, kasih pukul badan beta kalau beta jawab salah. Beta jatuh lai ke lantai, dikasih tendang lai,” kata Yonias di rumahnya.

Penyiksaan itu terjadi berkali-kali sampai saraf tulang belakangnya terjepit oleh tulang-tulang belakang yang remuk. “Beta bilang su seng bisa jalan. Polisi bilang bohong,” katanya. Satu setengah bulan lamanya ia harus menderita sebelum akhirnya ia dibawa ke rumah sakit umum di kawasan Kudamati.

“Sekarang kencing masih sakit. Kalo malam beta pala pusing-pusing,” katanya. Yonias sekarang hanya mampu berjalan lambat tertatih, terbelenggu oleh sakitnya dulu yang tidak pernah pulih. Kini ia sudah tidak lagi menjadi buruh bangunan, menggantungkan hidupnya pada sebuah warung kecil terbuat dari kayu bekas dan bambu berlantaikan tanah merah yang becek dan lembab.

Charlotta Sapakoly, janda aktivis RMS Yusuf Sapakoly mengatakan penanganan kasus-kasus makar menjadi brutal saat Densus 88 terlibat.

“[Suami saya] ditangkap pertama 2003. Kasusnya ikut kibar bendera [Benang Radja] di Alang [Maluku]. Seng ada dikasih siksa seng ada apa apa. 2007 ditangkap lai sama Densus,” kata Charlotta.

“Beta datang ke penjara, [suami saya] seng ada bisa jalan. Samua badan kena pukul ka kena siksa ka. Ada satu kali beta lihat ada tulang kaluar siku kanan. [Suami saya] seng ada bilang sapa orang kasih siksa. Ada kawan dia kasih kabar kalo dia dikasih siksa terus.”

Charlotta menirukan apa yang diceritakan teman satu sel suaminya dengan logat Ambon yang begitu kental. Yusuf, katanya, dipukul keras dengan kayu saat diinterogasi. Kepalanya ditutupi oleh ember sehingga ia sulit mengenali penyerangnya.

Salah satu pukulan ke perutnya begitu kerasnya sehingga membuat ginjalnya terluka. Yusuf pun terbaring koma selama tiga hari dengan muka yang sudah membiru. Ia pun harus dilarikan ke rumah sakit dan menjalani cuci darah sampai 11 kali. Tiga tahun tanpa pertolongan medis berarti Yusuf akhirnya meninggal pada tahun 2010 karena luka dalam yang dideritanya.

Kali ini ada dugaan taktik serupa terulang kembali, terutama Agustus tahun lalu di Nafri, Papua saat Densus 88 membantu polisi setempat untuk menyelidiki penembakan sebuah angkot.

Lembaga Studi Kebijakan dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mengatakan ada 15 warga Horas Skyline yang ditangkap polisi termasuk di antaranya dua anak kecil Desi Kogoya, 8, dan Novi Kogoya, 7. Semuanya ditahan tanpa alasan jelas dan diperlakukan semena-mena dalam kondisi yang tidak manusiawi. Beberapa di antara mereka pun ada yang dipukul, ditendang dan ditodong dengan senjata. Desi dan Novi termasuk tahanan yang ditodong polisi. Semua ini terjadi di bawah supervisi Densus yang saat itu memimpin penyelidikan. Keesokan harinya 13 dari 15 tahanan tersebut dilepaskan karena kekurangan bukti.

Haris Azhar, koordinator KontraS bilang kasus yang terjadi pada akitivis-aktivis RMS menunjukkan preseden buruk bagi keterlibatan Densus 88 dalam urusan separatisme dan penyelidikan kasus-kasus makar.

“Padahal kasus-kasus ini tidak ada ancaman fisik bagi masyarakat secara langsung dan nyata,” katanya. “Ini adalah preseden yang berbahaya. Jika Densus 88 dibolehkan menangani kasus-kasus makar, yang terjadi adalah semua aktifis politik yang kontra terhadap pemerintahan dapat dikategorikan sebagai terorisme.”

Azhar mencontohkan kasus-kasus yang terjadi pada beberapa anggota Gerakan Aceh Merdeka yang dipenjara atas tuduhan makar dan juga terorisme. “Ini menjadi luka dan catatan bagi proses rekonsiliasi pemerintah dengan GAM. Sementara teman-temannya [mantan GAM] yang lain bebas mereka tetap dipenjara,” katanya.

Elaine Pearson, Wakil Direktur Divisi Asia Human Rights Watch mengatakan keterlibatan Densus 88 dalam menangani aksi damai pro-kemerdekaan sangat berbahaya.

“Densus 88 mempunyai catatan HAM sangat buruk. Tanpa adanya keseriusan pemerintah dalam pengawasan serta tidak diperbolehkannya [pengamat internasional] untuk memasuki Papua, semua pelanggaran HAM oleh aparat kemungkinan besar akan dibiarkan,” katanya.

Juru bicara kedutaan Australia, Ray Marcelo mengatakan meskipun negaranya mengakui klaim Indonesia terhadap Maluku dan Papua, Australia tidak pernah mendukung Densus 88 untuk menangani isu separatisme.

“Fokus keterlibatan Australia dengan Densus 88 adalah untuk memerangi terorisme. Australia tidak pernah memberikan bantuan kepada Densus 88 atau unit lain dalam kepolisian Indonesia dan TNI berkaitan dengan semua aktifitas yang berhubungan dengan memerangi kelompok separatis,” kata Marcelo.

Namun meski menuai kecaman, juru bica kepolisian Saud mengatakan kewenangan Densus dalam menangani isu separatisme sudah diatur dalam definisi terorisme yang terdapat dalam peraturan perundangan.

Ketika ditanya mengenai banyaknya kasus pelanggaran HAM yang melibatkan Densus 88, Saud mengatakan polisi tidak pernah mendapatkan laporan seperti itu. “Orang-orangnya suruh datang ke sini [mabes polri] nanti kita tindaklanjuti kebenarannya,” tutupnya.

Diterjemahkan: Nivell Rayda

Diedit: Imam Shofwan

Naskah ini awalnya ditulis Nivell Rayda dalam Bahasa Inggris, dengan judul Anti-Teror Police Expand Their Targets di JakartaGlobe edisi Senin, 5 Maret 2012.

kembali keatas
Kursus Narasi XVIII
FacebookTwitter