BERANDA
LIPUTAN
PROGRAM
MAJALAH
PROFIL
Jurnalisme Sastrawi
Admin Pantau
Thu, 4 September 2014

SEMUA ini bermula dari keisengan belaka. Pada Maret 2000, dari sebuah apartemen kecil di dekat Harvard Square, jantung kota Cambridge, Amerika Serikat, saya mengirim sebuah email kepada dua mailing list yang anggota-anggotanya kebanyakan orang Indonesia: wartawan, seniman, dosen, peneliti, dan sebagainya.

Isinya sebuah pertanyaan yang diterangkan dengan agak panjang lebar. Mengapa di Indonesia tak ada surakabar di mana orang bisa menulis narasi secara panjang dan utuh? Mengapa jurnalisme sastrawi (literary journalism) tak berkembang di kalangan wartawan, sastrawan, seniman, dan cendekiawan Indonesia?

Pertanyaan itu muncul sejak semester sebelumnya ketika saya mengikuti matakuliah non-fiction writing dalam program Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard. “Kalau di Amerika Serikat mereka punya majalah Time, Newsweek, dan sejenisnya, kita juga punya Tempo, Gatra, dan lain-lain. Kalau Amerika punya harian The New York Times, The Washington Post, kita juga punya harian sejenis. Tapi mengapa kita ompong di jurnalisme sastrawi?”

“Jurnalisme sastrawi” adalah satu dari setidaknya tiga nama buat genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe,
wartawan-cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama "new journalism" (jurnalisme baru). Kritisi menanggapi, “Apanya yang baru?”

Maka pada 1973, Wolfe dan EW Johnson menerbitkan antologi dengan judul The New Journalism. Mereka jadi editor. Mereka memasukkan narasi-narasi terkemuka zaman itu. Antara lain dari Hunter S. Thompson, Joan Didion, Truman Capote, Jimmy Breslin, dan Wolfe sendiri. Wolfe dan Johnson menulis kata pengantar. Mereka bilang genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail.

Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan lebih sering ratusan, narasumber. Risetnya tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua. Tapi bisa berbulan-bulan. Ceritanya juga kebanyakan tentang orang biasa. Bukan orang terkenal.

Beberapa pemikir jurnalisme mengembangkan temuan Wolfe. Ada yang pakai nama "narrative reporting." Ada juga yang pakai nama "passionate journalism." Pulitzer Prize menyebutnya “explorative journalism”. Apapun nama yang diberikan, genre ini menukik sangat dalam. lebih dalam daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu. Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik. Laporannya panjang dan utuh –tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan.

Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W 1H adalah singkatan dari who (siapa), what (apa), where (dimana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana).
Pada narasi, menurut Clark dalam sebuah esei Nieman Reports, “who” berubah menjadi karakter, “what” menjadi plot atau alur, “where” menjadi setting, “when” menjadi kronologi, “why” menjadi motif, dan “how” menjadi narasi.

Ada juga yang bilang genre ini adalah jawaban media cetak terhadap serbuan televisi, radio, dan internet. Hari ini praktis tak ada orang mendapatkan breaking news dari suratkabar. Orang mengandalkan media elektronik. Suratkabar tak bisa bersaing cepat dengan media elektronik. Namun media elektronik sulit bersaing kedalaman dengan media cetak. Suratkabar bisa berkembang bila ia menyajikan berita yang dalam dan analitis. Genre ini makanya disajikan panjang. Majalah The New Yorker bahkan pernah menerbitkan sebuah laporan hanya dalam satu edisi majalah. Judulnya “Hiroshima” karya John Hersey yang dimuat pada 31 Agustus 1946 tentang korban bom atom Hiroshima.

Pada Maret 1946 itu, The New Yorker merayakan ulang tahunnya yang ke-75. Editor David Remnick datang ke Harvard dan bicara panjang lebar soal tantangan majalah tersebut. Banyak orang mengatakan The New Yorker adalah ikon dunia pemikiran di Amerika Serikat. Ada lebih dari 10 judul buku diterbitkan dalam kesempatan ini.

Di Indonesia, kehidupan pers bebas baru mulai 1998 saat Soeharto ambruk kejeblok. Negara baru ini dibentuk pada 1950-an dengan menghancurkan semua suratkabar “peninggalan” kolonialisme Belanda. Tak ada garis sambung antara media pemula di Hindia Belanda –dengan jagoan-jagoan macam Tirto Adisurjo, F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, Mas Marco Dikromo, Kwee Kek Beng, Adi Negoro, atau J.H. Pangemanann– dan media pascakemerdekaan dengan tokoh macam Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Joesoef Isak, Umar Said, serta L.E. Manuhua.

Buntutnya, republik baru ini tak punya sejarah jurnalisme yang panjang. Ia belum pernah punya majalah atau harian yang secara sadar menggunakan narasi sebagai tulang punggung cerita-ceritanya. Berapa wartawan yang bisa dan biasa menulis lebih dari 15,000 kata dalam satu cerita? Kebanyakan wartawan di negara baru yang didirikan dari Hindia Belanda ini tumbuh hanya dengan batas 1.000 atau 2.000 kata per cerita. Apalagi pada zaman Orde Baru.

Saya menulis bahwa di Indonesia genre ini tak berkembang karena tak ada media yang mau menyediakan tempat, uang, dan waktu untuk naskah panjang. Memang ada media kecil yang memberikan kesempatan menulis panjang, itu pun kebanyakan esei, macam majalah Sastra, Horizon, Kalam, Basis, atau Intisari. Namun ukuran mereka relatif kecil, bukan media mainstream, dan isinya lebih banyak esei yang kering (kecuali mungkin Intisari), plus catatan kaki, daripada narasi yang bisa dinikmati orang banyak. Apakah jurnalisme sastrawi tidak berkembang karena pasarnya kecil? Apakah mereka ompong karena zaman rezim Presiden Soeharto belum memungkinkan gaya begitu?

“Saya tidak tahu jawabnya secara persis,” kata saya.

Keisengan itu ternyata mendapat reaksi. Dari mailing list penerima beasiswa Fulbright Scholarship, ada jawaban dari tiga mahasiswa Indonesia yang sedang studi lanjut di Amerika: Fadjar I. Thufail, Biranul Anas, dan Wicak Sarosa. Dari mailing list Institut Studi Arus Informasi, saya mendapat jawaban dari Yosep Adi Prasetyo, Alip Kusnandar, Nirwan Dewanto, maupun Atmakusumah Astraatmadja.

Yosep Adi Prasetyo kritis mempertanyakan genre ini, “Saya kuatir penamaan-penamaan jurnalisme ini tak bermakna apa-apa, kecuali hanya ingin menandai serta membedakan karya yang satu dari karya yang lain.” Alip Kusnandar dari Makassar mempertanyakan apa sebenarnya ciri-ciri genre ini? Apa yang membedakannya dari jurnalisme biasa?

Fadjar Thufail mengatakan, “Menurut saya, kuncinya justru terletak pada Anda, atau kawan-kawan di sektor media, untuk mulai bereksperimen dengan segala macam kemungkinan genre penulisan. Saya yakin, sekali ada yang mulai, pasti nantinya kita paling nggak punya satu majalah semacam itu....”

Nirwan Dewanto menulis, “Penerbitan majalah yang bisa menyelenggarakan jurnalisme sastrawi (seperti The New Yorker) memang harus diusahakan atau kita usahakan bersama …. Namun, kalau berpikir tentang pembaca dan pasar, sampeyan pasti gemetar juga untuk membuat majalah ala The New Yorker di Negeri Melayu. Tapi soal yang lebih penting, seperti yang sudah saya bilang, siapa wartawan dan penulis kita yang bisa dan siap untuk itu?” kata Nirwan.

Atmakusumah Astraatmadja, ketua Dewan Pers, pesimis pada proposal Fadjar Thufail karena genre ini “tidak mungkin” berkembang di Indonesia. Pasalnya? Kebanyakan media bermodal kecil atau sama sekali tidak berkeuntungan. Para pengasuhnya, termasuk wartawan, sangat sedikit jumlahnya.

Astraatmadja memberi contoh. Harian Tifa Papua (Jayapura) hanya diasuh lima wartawan. Ada harian Palu dan Kendari yang hanya diasuh oleh kurang lebih tiga wartawan saja. Jumlah wartawan di Indonesia pada masa Presiden Soeharto hanya sekira 7.000, mengasuh hampir 300 media cetak. Ada hampir 700 stasiun radio (walaupun sangat sedikit yang memiliki kegiatan jurnalistik) dan enam stasiun televisi. Sekarang, ketika media cetak jadi sekitar 600-700, stasiun radio lebih dari 1.000, dan televisi menjadi lebih dari sepuluh di Jakarta, paling-paling wartawan bertambah menjadi 8.000-10.000. Bandingkan dengan Jerman, misalnya, yang 90.000, termasuk 40.000 wartawan freelance. Jadi ada kekurangan wartawan.

“Media massa kita lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas –yang memerlukan lebih banyak waktu untuk membuatnya. Mengingat sangat kurangnya tenaga wartawan, walaupun sejumlah kecil media seharusnya sudah mampu menyisihkan sebagian wartawannya untuk lebih
memusatkan perhatian pada, misalnya: peliputan penyidikan (investigative reporting), peliputan berkedalaman (in-depth reporting), dan jurnalisme baru,” kata Astraatmadja, maka tak mungkin penulisan narasi bisa berkembang di Indonesia.

Debat itu sangat menarik. Ia berjalan hingga dua bulan. Saya puas dengan jawaban-jawaban yang muncul. Kesimpulan diskusi, tak mungkin bikin media dengan narasi di Jakarta. Negeri ini ditakdirkan bernasib malang!


ROBERT VARE seorang lelaki paruh baya. Rambutnya memutih. Dia biasa datang Jumat siang ke Lippmann House, Cambridge, naik mobil sedan warna hijau. Lippmann House adalah rumah petani yang diubah jadi kantor, perpustakaan, dan ruang kelas milik Nieman Foundation di Harvard University. Nama Lippmann, tentu saja, diambil dari teoritikus jurnalisme terkenal Walter Lippmann, penulis Public Opinion, buku babon jurnalisme awal abad ke-20. Harvard sengaja menamakan rumah itu untuk menghormati Lippmann.

Robert Vare pernah bekerja untuk majalah The New Yorker dan The Rolling Stones. Dia mengajar kelas narasi saya. “Kelas” mungkin pengertian yang agak kaku karena kami lebih sering diskusi di ruang yang hangat. Makan. Minum. Ruang kelas, pakai karpet tebal. Penerangan warna kuning hangat. Kursinya macam-macam. Ada sofa, ada kursi Victorian, terkadang malah tiduran. Seringnya, para murid membaca bergantian. Lalu saling memberi komentar. Ketika musim dingin, perapian dinyalakan.

Setiap Jumat, Robert membawa daftar bacaan. Truman Capote. Tom Wolfe. Joan Didion. Jimmy Breslin. Joseph Mitchell. John McPhee. Juga generasi baru. Mark Kramer. Susan Orlean. Andrian Nicole LeBlanc. Joseph Nocera. Mark Singer. Mark Bowden. Kami sampai “mabuk” karena tiap minggu membaca karya demi karya. Hampir semuanya bikin saya tercengang.

Menurut Vare, ada tujuh pertimbangan bila Anda hendak menulis narasi.
Pertama, fakta. Jurnalisme menyucikan fakta. Walau pakai kata dasar “sastra” tapi ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama orang adalah nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Merah disebut merah. Hitam hitam. Biru biru.

Jurnalisme sastrawi bukan, bukan, sekali lagi bukan, reportase yang ditulis dengan kata-kata puitis. Sering orang salah mengerti. Narasi boleh puitis tapi tak semua prosa yang puitis adalah narasi. Kebanyakan narasi bawaan Robert Vare malah tak puitis. John Hersey menulis “Hiroshima” layaknya laporan suratkabar.

Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Maka apa yang disebut sebagai jurnalisme sastrawi juga mendasarkan diri pada verifikasi.

Saya sering ditanya apakah kumpulan cerita pendek karya Seno Gumira Adjidarma Saksi Mata masuk dalam kategori jurnalisme sastrawi?

Adjidarma cerita soal pembunuhan orang-orang Timor Leste oleh tentara-tentara Indonesia pada November 1991. Ceritanya memukau. Tapi karya itu fiktif. Nama-nama diganti. Tempat tak disebutkan jelas. Adjidarma membuat cerita fiksi justru karena dia tak bisa menuliskan fakta. Harap maklum, rezim Soeharto dengan anjing-anjing penjaganya melarang media bercerita bebas soal pembantaian Santa Cruz 1991.

Kedua, konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Bila Anda berminat bikin narasi, Anda sebaiknya pikir berapa besar sengketa yang ada?

Sengketa bisa berupa pertikaian satu orang dengan orang lain. Ia juga bisa berupa pertikaian antarkelompok. Misalnya, upaya Arnold Ap, cendekiawan Papua, mengembangkan kesenian dan nasionalisme Papua berbuntut ketegangan dengan tentara Komando Pasukan Khusus dari Jawa yang dikirim ke Jayapura. Ap ditahan dan ditembak mati. Banyak sekali cerita di Republik Indonesia yang mengandung sengketa. Dari Sabang sampai Merauke, isinya banyak berdarah.

Namun sengketa juga bisa pertentangan seseorang dengan hati nuraninya. Sengketa juga bisa pertentangan seseorang dengan nilai-nilai di masyarakatnya. Soal interpretasi agama sering jadi sengketa. Pendek kata, konflik unsur penting dalam narasi. Dalam fiksi, seluruh cerita terkenal dibangun di atas gugusan konflik. Bahkan lapis-lapis konflik. Tanpa elemen konflik, orang tak akan membaca Harry Potter, bahkan kisah Cinderella atau Putri Tidur dan Tujuh Kurcaci.

Ketiga, karakter. Narasi minta ada karakter-karakter. Karakter membantu mengikat cerita. Ada karakter utama. Ada karakter pembantu. Karakter utama seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Ia harus punya kepribadian menarik. Tak datar dan tak menyerah dengan mudah.

Pada 15 November 1958, di kota kecil Holcomb, Kansas, terjadi pembunuhan terhadap bapak, ibu, dan dua anak keluarga Clutter. Ini keluarga petani. Mereka ditembak dengan senapan laras pendek. Jaraknya, dekat dengan wajah mereka.

Wartawan The New Yorker Truman Capote mengikuti kasus ini selama enam tahun hingga pemuda Richard Hickock dan Perry Smith ditemukan polisi, diadili, dinyatakan bersalah, dan dihukum gantung karena kasus tersebut. Maka Capote pun menerbitkan serial In Cold Blood di majalah The New Yorker. Dick dan Perry adalah karakter dalam cerita Capote.
Keempat, akses. Anda seyogyanya punya akses kepada para karakter. Akses bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, gambar, kawan, musuh, dan sebagainya.

Capote mengikuti kasus Dick dan Perry selama lima tahun, empat bulan, dan 28 hari. Capote menyaksikan penangkapan mereka. Pemeriksaan. Pengadilan. Hukuman. Capote juga menyaksikan ketika Dick dan Perry dihukum gantung. Serial itu dibukukan dan difilmkan. Capote punya akses yang luar biasa terhadap keduanya.

Kelima, emosi. Ia bisa rasa cinta. Bisa pengkhianatan. Bisa kebencian. Kesetiaan. Kekaguman. Sikap menjilat dan sebagainya. Emosi menjadikan cerita Anda hidup. Emosi juga bisa bolak-balik. Mulanya cinta lalu benci. Mungkin ada pergulatan batin. Mungkin ada perdebatan pemikiran. Capote menangkap emosi Dick dan Perry.

Di Indonesia, saya kira tidak susah mencari karakter dengan emosi. Mulai drama perlawanan orang-orang Acheh terhadap Jakarta hingga gerakan kemerdekaan di Timor Leste. Mulai diskriminasi terhadap orang Tionghoa –disuruh meninggalkan identitasnya, agamanya, namanya, dan dipaksa “berasimilasi”– hingga pembunuhan massal terhadap orang-orang Madura di Kalimantan.

Keenam, perjalanan waktu. Robert Vare mengibaratkan laporan suratkabar “biasa” dengan sebuah potret. Snap shot. Klik. Klik. Klik. Laporan panjang adalah sebuah film yang berputar. Video. Ranah waktu jadi penting. Ini juga yang membedakan narasi dari feature. Narasi macam video. Feature macam potret. Sekali jepret.

Vare menyebutnya “series of time.” Peristiwa berjalan bersama waktu. Konsekuensinya, penyusunan struktur karangan. Mau bersifat kronologis, dari awal hingga akhir. Atau mau membuat flashback. Dari akhir mundur ke belakang? Atau kalau mau bolak-balik bagaimana agar pembaca tak bingung? Teknik-teknik ini diajarkan dan didiskusikan bersama selama setahun di ruang kelas yang hangat itu. Saya sangat menikmati masa dua semester bersama Vare.

Panjang perjalanan waktu tergantung kebutuhan. Cerita kehamilan bisa dibuat dalam sembilan bulan. Tapi bisa juga dibuat dalam kerangka waktu dua tahun, tiga tahun, dan sebagainya. Tapi bisa juga sekian menit ketika si ibu bergulat hidup dan mati di ruang melahirkan.

Ketujuh, unsur kebaruan. Tak ada gunanya mengulang-ulang lagu lama. Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari kacamata orang biasa yang jadi saksi mata peristiwa besar. John Hersey mewawancarai dua dokter, seorang pendeta, seorang sekretaris, seorang penjahit, dan seorang pastor Jerman untuk merekonstruksi pemboman Hiroshima.
Secara detail, Hersey menceritakan dahsyatnya bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus bom rahasia, ada kematian menyeramkan, ada dendam, ada rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah satu cerita termasyhur dalam sejarah jurnalisme Amerika.

Pada Maret 1999, Universitas New York menunjuk 37 ahli sejarah, wartawan, penulis, dan akademisi untuk memilih 100 karya jurnalistik terbaik di Amerika Serikat pada abad ke-20. Ini bukan pekerjaan mudah karena ada jutaan karya. Hasilnya, “Hiroshima” menduduki tempat nomor satu (Karya Rachel Carson soal DDT "Silent Spring" pada 1962 jadi juara kedua, sedang karya investigatif Bob Woodward dan Carl Bernstein soal Watergate untuk harian The Washington Post pada 1972-73 juara ketiga).*

kembali keatas
Kursus Narasi XVIII
FacebookTwitter