Wartawan, ee, Radio, ee
Thu, 1 March 2001
APA Anda pernah memperhatikan gaya wartawan radio --kalau mereka boleh disebut wartawan-- mengadakan wawancara di udara?
APA
Anda pernah memperhatikan gaya
wartawan radio --kalau mereka boleh disebut wartawan-- mengadakan wawancara di
udara?
Ada yang khas Indonesia dalam hal ini. Mereka
doyan, doyan banget, menambah bunyi “ee” atau “oh gitu” atau “oh gitu ya” dalam
wawancara. Ketika sumber menjawab, apapun jawabannya, di sela-sela jawaban
kebanyakan ada bunyi “eh” dan sebangsanya.
Ambil contoh Odetta Levine dari radio Elshinta
Jakarta.
Suatu sore di bulan Oktober, dari studio
Elshinta di daerah Joglo, Jakarta, mbakyu satu ini berbunyi “ee” hingga 35 kali dalam satu
segmen wawancara 10 menit dengan seorang dokter, mengenai kesehatan Presiden
Suharto.
Mau lengkap lagi? Levine
membunyikan kata “iya” sebanyak 15 kali dan kata “oh begitu ya” dua kali.
Mengapa?
Levine menolak berkomentar dan memberi nama Eddy Harsono, kepala bagian siaran
Elshinta, buat menerangkan jurus “ee” dan strategi “oh gitu ya” itu.
Harsono menjawab, bunyi “ee” diperlukan agar sumber di ujung telpon tetap tahu
bahwa si Levine masih mendengarkan omongannya. “Kalau nggak, mereka khan bisa
bilang, ‘Halo? Halo?’” kata Harsono.
Harsono dan Levine mungkin tak tahu, dalam standar siaran internasional, bunyi
“ee” itu haram hukumnya, karena mengganggu pendengar, karena mengesankan si
pewawancara membenarkan ucapan sumber, karena terkesan mengajari pendengar dan
karena itu jelek.
Tak usah jauh-jauh. Kalau Levine dan Harsono mau menyimak siaran berita BBC
–yang disiarkan Elshinta setiap malam sesudah acara Levine usai, mereka tahu
bahwa wartawan BBC tak ada yang pakai jurus “ee.”
Atau dengarkan Voice of America,
Radio Australia, atau kalau
punya dana, datang saja ke radio-radio berita di negara maju, misalnya, WBUR di Boston. Mereka semua
mengharamkan bunyi “ee.”
Atau sekali-kali, Harsono dan Levine dikirim ke pelatihan jurnalisme radio,
untuk tahu bahwa bertanya di udara, haram hukumnya berbunyi “ee” atau
menggunakan kalimat panjang, apalagi pertanyaan tertutup (jawaban: ya atau
tidak).
Levine, lagi-lagi, cukup tak punya malu untuk bertanya hingga menggunakan 60
kata. Levina juga tak punya malu untuk meminjam mulut orang buat mengiyakan
opininya sendiri.
Levine, lagi-lagi, tak tahu ketika ditanya berapa jumlah kata yang sebaiknya
dipakai buat bertanya? Mbakyu satu ini mempersilahkan Eddy Harsono (ada sedikit
pertanyaan soal profesionalisme Levine karena penyiar muda ini adalah istri
Iwan Haryono, general manager Elshinta yang atasan Harsono).
“Untuk di radio, ee, kita sebetulnya tidak ada aturan berapa kata, berapa
kalimat. Yang kita pentingkan, tidak perlu panjang, tidak perlu pendek, yang
penting adalah apa yang ingin dipertanyakan itu sudah mewakili rasa ingin tahu
dari audience,” kata Harsono.
Ketaktahuan Harsono dan Levine, bukan monopoli radio Elshinta. Dari Medan
hingga Jakarta, dari Yogyakarta hingga Ujungpandang, radio-radio gemetar,
karena tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan harus memproduksi berita.
Mereka tak siap. Selama setengah abad, radio di Indonesia hanya jadi alat
penguasa atau alat cari makan. Radio di Indonesia, identik dengan propaganda
ala RRI, atau bermusik ria ala radio swasta.
Hasilnya, ya jurnalisme yang amburadul. Jurnalisme yang tak punya rasa malu.
Jurnalisme ala Levine, yang tak sadar bahwa mereka ikut menggerogoti nama baik
wartawan Indonesia.
Ee, itu kalau mereka
boleh disebut wartawan lho ya! *