Kecepatan, Ketepatan, Perdebatan
Mon, 3 September 2001
MENJELANG sore Jumat 20 Juli para awak redaksi RCTI berkumpul di kantor mereka untuk berangkat piknik ke Puncak, daerah sejuk sekitar 70 kilometer selatan Jakarta, memanfaatkan liburan akhir pekan.
Laporan ini dikerjakan sebuah tim wartawan dan
peneliti terdiri dari Agus Sudibyo, Andreas Harsono, Coen Husain Pontoh, Dyah
Listyorini, Elis N. Hart, dan Eriyanto. Disain polling dan monitoring televisi
dikerjakan Eriyanto.
MENJELANG sore Jumat 20 Juli para awak redaksi RCTI berkumpul di kantor mereka
untuk berangkat piknik ke Puncak, daerah sejuk sekitar 70 kilometer selatan Jakarta, memanfaatkan
liburan akhir pekan.
Suasana meriah itu mendadak surut ketika mereka tahu Presiden Abdurrahman Wahid
bakal melantik seorang perwira polisi jadi pejabat sementara kepala polisi
Republik Indonesia.
Ini gawat karena akan memancing lawan-lawannya mengadakan sidang istimewa Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kata lainnya adalah pemecatan!
“Jadi acara dibatalkan dan semua siaga,” kata Atmadji Sumakidjo, wakil pemimpin
redaksi RCTI.
Mereka bergegas meliput langsung acara itu pukul 17:30 dari Istana Negara di
mana Jendral Surojo Bimantoro, pejabat kepala polisi yang diganti Wahid,
sengaja memboikot dan tak menyerahkan tongkat komando. Toh, Wahid tetap
melantik Jendral Chaeruddin Ismail seraya mengatakan tongkat komando itu
tradisi militer, bukan polisi.
Seusai pelantikan, Wahid menyatakan “semua pihak” harus siap-siap bila negara
dinyatakan dalam keadaan bahaya. Chaeruddin tampaknya disuruh Wahid
melaksanakan keadaan darurat itu.
Usai pelantikan, pukul 19:00 Atmadji Sumakidjo, memimpin rapat redaksi RCTI.
Mereka membagi pekerjaan. Semua awak redaksi yang ada di rumah ditelepon.
“Besok pagi pukul lima
sudah harus ada di kantor, pergi ke lapangan dan mengerjakan pekerjaan sesuai
dengan tugasnya masing-masing,” kata Sumakidjo.
Untungnya, mereka tak panik karena sudah punya persiapan satu bulan sebelumnya,
jaga-jaga kalau pertikaian presiden versus parlemen meruncing. “Yang juga
krusial adalah mengatur dengan yang lain. Kita ada sinetron, film anak-anak,
kita sudah mengatur itu semua,” kata Sumakidjo. “Pihak iklan bisa complain
ketika iklannya tidak ditayangkan,” kata Sumakidjo.
Sekitar dua kilometer dari RCTI, di sebuah ruangan hotel bintang lima di daerah
Senayan, terjadi pertemuan singkat antara ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
Amien Rais dengan menteri koordinator politik, sosial, dan keamanan Agum
Gumelar.
Amien adalah rival utama Wahid. Mereka saling mengenal lebih dari 20 tahun.
Mereka juga pernah memimpin dua organisasi keagamaan yang secara theologis,
historis, dan sosiologis punya perbedaan. Amien adalah mantan ketua
Muhammadiyah, yang sering disebut sebagai organisasi Islam modernis, anggotanya
kebanyakan orang perkotaan. Sedangkan Wahid, lebih akrab dipanggil Gus Dur,
adalah mantan ketua Nahdlatul Ulama, yang biasa disebut Islam tradisional, dan
anggotanya kebanyakan dari masyarakat perdesaan.
Gumelar adalah pembantu Wahid untuk urusan keamanan. Gumelar orang militer
tulen. Dia lulusan akademi militer Magelang pada 1968. Karirnya banyak dibangun
lewat pasukan komando serta intelijen.
Di kamar hotel itu, menurut Gumelar dalam wawancara dengan majalah Forum, Amien
menyampaikan rencana percepatan sidang istimewa MPR. Gumelar tanya apakah
rencana itu sudah dibicarakan dengan Megawati Sukarnoputri, wakil presiden
sekaligus ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai yang punya kursi
terbanyak di parlemen.
“Sudah,” jawab Amien.
“Kalau memang sudah ya, go ahead. Saya tidak bisa melarang. Silahkan kalau
sudah bulat. Kalau soal keamanan, dari awal aparat keamanan sudah siap. Itu
tidak ada masalah,” kata Gumelar.
Dari pertemuan itu, Amien Rais mengadakan rapat di ruang kerjanya di gedung
parlemen yang terletak dekat hotel. Amien memimpin rapat sekitar 20 legislator
untuk menanggapi pelantikan Chaeruddin Ismail. Banyak wartawan menunggu
keputusan rapat.
“Besok, Sabtu 21 Juli mulai pukul 10.00 pagi kami mengundang seluruh anggota
majelis untuk mengadakan rapat paripurna dalam rangka sidang istimewa MPR,”
kata Amien Rais. Amien mengatakan pengangkatan Chaeruddin dapat membuat
institusi kepolisian “retak dan pecah sehingga mengganggu keamanan.”
Maka Jumat malam itu semua anggota MPR, yang terdiri dari semua anggota
parlemen, sekitar 500 orang, plus sekitar 200 orang utusan daerah dan golongan,
diberitahu agar hadir Sabtu pagi untuk rapat paripurna.
Pertempuran presiden versus parlemen dimulai.
SABTU pagi 21 Juli 2001. Lain dengan hari biasa, hari ini wartawan tak bisa
masuk ke gedung parlemen tanpa menunjukkan kartu tanda pengenal warna putih
bertuliskan “PELIPUTAN.” Suasana halaman depan gedung sangat sepi.
Tapi di halaman belakang terlihat 15 buah panser berjejer rapi. Agak jauh
sedikit ada 14 tank baja VAB Renault buatan Perancis dan tiga mobil pemadam
kebakaran. Juga terdapat anjing gembala Jerman. Menurut seorang perwira polisi,
ada 2095 tentara dan polisi dari 29 satuan setingkat kompi yang datang ke
Senayan. Mereka menjaga kemungkinan datangnya ribuan demonstran pendukung
Wahid, yang didukung oleh Nahdlatul Ulama, organisasi muslim terbesar di
Indonesia, memprotes rapat paripurna MPR.
Tindakan ini didasarkan pada asumsi bahwa kaum nahdliyin bisa mengamuk kalau
junjungan mereka diganggu. Jawa Timur, propinsi asal Wahid, beberapa kali
dilanda amuk ketika parlemen mengeluarkan memorandum terhadap Wahid. Wahid
sendiri tak sekali dua mengkhawatirkan kemungkinan itu walau dia sering minta
pengikutnya, terutama dari Jawa Timur, agar tak datang ke Jakarta.
Agak jauh sedikit tampak studio mini dari beberapa televisi Indonesia:
SCTV, RCTI, Indosiar, TPI dan TVRI. Wartawan hilir mudik di berbagai tempat umum.
Makin lama makin banyak. Dari suratkabar Indonesia
hingga asing, dari media Jakarta
hingga daerah-daerah.
Namun salvo pertama Sabtu pagi ternyata datang dari Istana Negara di mana
Presiden Wahid mengadakan pertemuan pers. Wahid menyatakan tak akan menghadiri
pertemuan dengan MPR, “Itu sidang yang tidak sah atau ilegal.” MPR hanya berhak
menyelenggarakan sidang umum, sidang tahunan, dan sidang istimewa. Rapat
paripurna merupakan bagian dari ketiga sidang tersebut. "Mana mungkin
sidang istimewa ditentukan oleh sebuah paripurna? Bagaimana mungkin bagian yang
lebih kecil bisa menentukan sesuatu yang lebih besar?” kata Wahid.
Seraya berpidato, Wahid menyuruh stafnya membagikan fotokopi surat undangan
Amien Rais yang minta Wahid hadir di parlemen pada Senin 23 Juli 2001 untuk
menyampaikan pertanggungjawaban. Wahid tak bisa menyembunyikan kemarahannya
ketika mempertanyakan bagaimana mungkin sidang paripurna yang belum dimulai
Sabtu pagi ini sudah memberikan surat
macam itu Jumat malam?
Pada saat sama, sekitar pukul 09.40 di depan televisi yang terdapat dalam
gedung parlemen di Senayan, tampak berkumpul polisi dan beberapa wartawan.
Mereka menonton siaran langsung dari Istana Negara dan tertawa terbahak-bahak,
sambil berteriak hu… hu ... hu … ketika Wahid meninggikan suara.
Rapat paripurna sendiri yang sedianya dimulai pukul 10:00 tertunda karena Amien
Rais dan banyak anggota MPR yang lain juga menyaksikan televisi. Ibarat orang
bertinju, Istana Merdeka dan Senayan mulai saling melancarkan pukulan demi
pukulan lewat media. Ini sesuai dengan apa yang disebut oleh Bill Kovach dan
Tom Rosentiel dalam buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should
Know and the Public Should Expect. Kedua wartawan Amerika Serikat itu
mengatakan satu dari sembilan elemen jurnalisme adalah media harus menyediakan
forum bagi masyarakat untuk melontarkan kritik dan komentar.
Mereka mengibaratkan media dengan “public houses” pada zaman prapercetakan di
mana setiap pengunjung rumah macam itu, bisa berupa bar atau warung, menyampaikan
dan mencari informasi.
Seorang penjaga bar, seraya menyajikan segelas bir, tahu bagaimana menyampaikan
informasi dengan akurat. Dia tak diharapkan menambahi, tak diharapkan
mengurangi. Makin akurat seorang penjaga bar menjalankan fungsi ini makin
menguntungkan bagi warungnya.Makin banyak orang percaya pada forumnya. Makin
banyak pula pelanggannya.
Televisi Indonesia
tampaknya mulai mendapatkan kepercayaan macam itu. Siaran langsung demi siaran
langsung menjadikannya sebagai forum publik. Ini prestasi tersendiri. Tanpa
adanya kepercayaan, orang tak mau bicara lewat media.
Ini pertama kali pertikaian presiden versus parlemen disiarkan langsung
televisi. Pada zaman Presiden Soekarno (1945-1965) radio belum melakukan hal
ini sedang televisi masih teknologi baru. Selama 33 tahun pemerintahan Presiden
Soeharto (1966-1998) media tak bisa bekerja cukup bebas. Presiden B.J. Habibie
bekerja dalam waktu tak sampai dua tahun, sangat singkat, dan diganti oleh
Presiden Abdurrahman Wahid.
Lewat media pula orang-orang di Senayan mempertanyakan pelantikan Chaeruddin
Ismail. Legislator Budi Harsono, ketua fraksi militer di parlemen, mengatakan,
“Ciri-ciri organisasi bersenjata itu dia harus satu, harus homogen tidak boleh
dua.”
Legislator Ade Komarudin dari Partai Golongan Karya berpendapat Presiden Wahid,
tak biasanya bicara prosedur ketika Wahid sendiri sering melanggar prosedur.
Komarudin berpendapat adalah sah bagi MPR mengadakan sidang paripurna untuk
mengambil keputusan bikin sidang istimewa atau tidak.
Akhirnya rapat paripurna MPR dimulai. Mula-mula dilakukan dengan mempersilahkan
masing-masing fraksi menyuarakan sikapnya. Satu per satu jurubicara fraksi naik
ke podium dan berpidato. TVRI adalah satu-satunya televisi yang diizinkan masuk
ke ruang sidang. Entah kenapa televisi swasta tak dipersilahkan meliput dari
ruang sidang?
Legislator Yusuf Muhammad, ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, partainya
Wahid, memberi keterangan lain, “Kita tidak membenarkan, tidak menyetujui,
tidak ikut serta dan tidak ikut bertanggung jawab.”
“Kalau saya boleh menyatakan secara sederhana, mereka kecewa dan sakit hati.
Karena berkali-kali para tokohnya mengatakan bahwa mereka itu kesal karena
fungsionarisnya diberhentikan,” katanya.
Ketika pemungutan suara diambil semua 180 legislator dari Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan menyatakan setuju sidang istimewa dipercepat dan diadakan
Senin 23 Juli 2001. Partai Golongan Karya dengan 176 anggota hadir semuanya
setuju. Fraksi Utusan Golongan, 63 hadir, lima
anggota fraksi menolak, empat orang menyatakan abstain. Kemudian, fraksi
militer-polisi, yang seringkali memutuskan abstain, 38 anggota setuju. Partai
Kebangkitan Bangsa menolak hadir dalam rapat paripurna ini.
Singkatnya dari jumlah total 601 anggota MPR yang hadir 592 orang menyatakan
setuju penyelenggaraan sidang istimewa, lima
menolak, dan empat orang menyatakan abstain. Mereka yang setuju beralasan
Presiden Wahid melanggar sebuah ketetapan MPR karena mengangkat Chaeruddin
Ismail sebagai pemangku sementara jabatan kepala kepolisian tanpa konsultasi
parlemen.
Sabtu siang voting sudah diambil. Banyak anggota MPR hilir mudik di gedung
parlemen. Wartawan mengerumuni mereka. Salah satunya adalah Nursyahbani
Katjasungkana, anggota fraksi utusan golongan yang dikenal sebagai pengacara
dan aktivis perempuan, yang menolak percepatan sidang istimewa MPR.
Kepada wartawan Katjasungkana mengatakan dia menolak sidang istimewa karena
“elemen-elemen yang ada di sini mayoritas adalah Orde Baru.”
”Kalau kita ingat pasca jatuhnya Soeharto, kita berhasil melalui pemilihan umum
dengan happy. Tetapi begitu masuk ke gedung ini, semua itu dinafikan begitu
saja. Para wakil ini memposisikan diri tidak
sebagai wakil tapi sebagai wali!”
MINGGU pagi 22 Juli 2001. Di sebuah rumah dengan halaman hijau, luas, penuh
tanaman, di daerah Kebagusan, di selatan Jakarta,
diadakan sebuah rapat selama hampir tiga jam. Rumah ini milik pribadi Wakil
Presiden Megawati Sukarnoputri. Para tamunya
adalah ketua berbagai partai politik.
Usai rapat Megawati menemui puluhan wartawan yang menunggu di pintu rumah.
“Seperti yang saudara lihat di tempat kediaman saya pribadi, saya telah
mengundang para ketua umum dan kapasitas saya sebagai pengundang adalah ketua
umum PDI Perjuangan,” kata Megawati.
Selanjutnya Megawati mempersilahkan Amien Rais, ketua Partai Amanat Nasional
sekaligus ketua MPR, maupun Akbar Tanjung, ketua Partai Golongan Karya
sekaligus ketua parlemen, untuk memberitahu wartawan hasil pertemuan itu.
Amien mengatakan tidak berapa lama lagi Indonesia akan melihat sebuah
kepemimpinan nasional yang baru, "Insya Allah, itu semua tergantung Allah,
kami semua di sini sudah bersepakat untuk memberikan dukungan moral support
kepada ibu Megawati Soekarnoputri."
Ketika wartawan bertanya apa Megawati setuju dengan kesepakatan tersebut, Amien
Rais menyatakan, "Ya tentu."
Megawati hanya tersenyum. Rapat ini berhasil memuluskan kesepakatan
partai-partai. Mereka tampaknya puas dengan penampilan Megawati. Bisa
dipastikan bila tak ada aral melintang mereka bakal minta wakil-wakil mereka di
parlemen untuk memberikan suara memecat Wahid dan mengangkat Megawati sebagai
presiden.
Ternyata hari Minggu ini masih ada satu peristiwa besar yang makan perhatian
politisi maupun media. Saat Amien, Megawati, dan politisi lain berunding di
Kebagusan, dua buah gereja mengalami pemboman. Bom meledak di gereja Santa Anna
dan satunya di gereja Batak, keduanya di kawasan timur Jakarta. Wartawan pun ditugaskan mengejar
berita itu. Baik datang ke gereja maupun rumah sakit di mana 32 korban dirawat.
Seakan-akan melupakan pertikaian mereka, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Akbar
Tanjung, Alvin Lie, A.M. Fatwa, Fuad Bawazier, dan banyak politisi lain
mengalir ke berbagai tempat itu. Mereka tak datang bersamaan tapi tak bisa
hilang kesan bahwa pada momen-momen yang sangat menentukan perseteruan politik
mereka, kedua kubu berlomba menunjukkan simpati kepada para korban lewat media.
LAPANGAN luas sekitar Monumen Nasional selalu menarik perhatian orang pada hari
libur. Minggu sore 22 Juli 2001 itu seperti biasa banyak orang makan angin di sana. Ada banyak anak kecil yang minta diantar
bapak dan ibunya naik dokar. Banyak juga orang muda pacaran. Para
pedagang kakilima menggelar dagangannya di sini.
Minggu sore ini ada satu tambahan tontonan. Lebih dari 2.000 serdadu dilengkapi
dengan 134 tank datang ke lapangan ini. Mereka mengadakan “apel bersama dalam
rangka kesiapan jajaran TNI di wilayah Jakarta.”
Apel siaga ini dipimpin komandan apel Kolonel Marinir Sapzen Nurdin dari
Brigade Infanteri 2 Marinir. Sedangkan inspektur upacara adalah Panglima
Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal Ryamizard Ryacudu.
Pukul 19.00 Ryacudu memasuki lapangan Monumen Nasional dengan mengendarai
panser. “Bismillahhirrahmannirahim,” Ryamizard Ryacudu membuka pidatonya.
“Pangdam Jaya, Komandan Korp Marinir, Danjen Kopassus, Panglima Kohanudnas,
Pangkop AU, dan Paskhas, panglima Armabar dan seluruh prajurit TNI terutama
yang berada di daerah Jakarta Raya yang saya hormati, saya cintai dan yang
sangat saya banggakan.”
Secara singkat Ryacudu mengatakan tujuan apel ini adalah “membangun kekompakan”
antara semua prajurit. Dia mengingatkan pada 1998 kekompakan itu terganggu
ketika “kita diadu-adu sehingga timbul perkelahian di antara kita.” Walau dalam
pidatonya tak disebut, tapi Ryacudu mengacu pada pertikaian antara prajurit
Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan marinir pada
momen-momen jatuhnya Presiden Suharto pada 1998. Saat itu Kostrad dianggap
antireformasi. Marinir justru dielu-elukan mahasiswa.
Ryacudu menjelaskan bahwa apel ini tanpa “maksud politik” karena sudah
dilaporkan dan sudah mendapat persetujuan dari semua kepala staf angkatan,
panglima TNI Widodo A.S. dan Presiden Wahid. Dia menekankan bahwa dia adalah
tentara profesional yang tak mengurus politik.
Belum jelas benar apa dampak politis dari apel tersebut. Media Indonesia belum
banyak yang menggali informasi rapat apa yang memutuskan diadakannya apel malam
itu? Bagaimana hubungan Ryamizard Ryacudu dengan Presiden Wahid? Apa hubungan
apel itu dengan ketaksukaan Wahid pada dukungan fraksi militer di parlemen
terhadap percepatan sidang istimewa MPR?
Di Jakarta perkembangan ini bisa diketahui dari siaran langsung televisi dan
radio, terutama Metro TV dan radio Elshinta 90,5 MHz FM. Apalagi juga ada
undangan via short message service, biasa disingkat SMS, yang beredar secara
terbatas di Jakarta lewat telepon seluler. Pesannya: Dukung Gusdur sbg pejuang
kemanusiaan! (bukan sbg presiden saja) & malam ini istana terbuka utk
rakyat; kl setuju kirim pesan ini ke 10 org lagi & dtg ke istana.
Seberapa jauh teknologi itu mendorong orang datang ke Istana Negara masih bisa
dijadikan bahan studi yang lebih serius. Yang jelas cukup banyak tokoh-tokoh
lembaga swadaya masyarakat maupun mahasiswa, yang selama ini mendukung Presiden
Wahid, datang berbondong-bondong ke Istana Merdeka.
Sekitar pukul 22.00 jumlah mereka makin banyak. Sebut saja aktivis Emmy Hafild,
Muchtar Pakpahan, Sandyawan Sumardi, Nursyahbani Katjasungkana, Bonar Tigor
Naipospos, Dita Indah Sari, Yeni Rosa Damayanti, Alexander Irwan, Hermawan
Sulistyo, dan sebagainya. Adik kandung Megawati, Rachmawati Sukarnoputri, juga
ikut datang.
Faisol Riza dari Partai Rakyat Demokratik mengatakan lewat telepon pada seorang
wartawan bahwa istana terbuka bagi rakyat, “Tidur di sini pun boleh.”
Yeni Rosa Damayanti dari Pijar Indonesia keluar masuk istana dan merasa kecewa
karena pada saat yang genting media tak berperan membela Gus Dur, “Tidak ada
prinsip-prinsip dan etika yang dipegang. Saya lihat uang menjadi faktor
pendorong yang utama. Bukan lagi sebuah cita-cita atau sebuah ideologi.”
“Nah, ketika konflik menjadi sumber uang, itulah jalan yang diambil. Sama
sekali tidak ada pikiran tentang akibat yang ditimbulkan. Akibatnya media massa
terjebak pada jurnalisme yang prokekerasan, prosensasional dan memacu konflik.”
“Semakin konflik itu berkembang dan lama, maka semakin besar pendapatannya.”
Menurut AC Nielsen, antara Sabtu 21 Juli dan Senin 23 Juli, SCTV mengantungi Rp
3,182 milyar dari iklan program berita. RCTI mengantongi Rp 1,741 milyar,
Indosiar Rp 1,380 milyar, TPI Rp 683 juta, Anteve Rp 523 juta, serta Metro TV
Rp 282 juta. Jumlah ini besar tapi relatif kecil dibandingkan iklan dari
program hiburan. Metro TV memperoleh iklan paling sedikit karena usianya
relatif muda. Stasiun ini mulai siaran Desember 2000.
Novi B. Suratinoyo, wakil pemimpin redaksi tabloid Victorius, memandang media
banyak yang ingin menjatuhkan Gus Dur, “Editorial Media Indonesia, misalnya,
itu sangat jelas anti Gus Dur. Seharusnya sikap wartawan itu adalah mengontrol
mereka bukan menjatuhkan mereka.”
Pukul 21:30 Gus Dur menemui para aktivis. Beberapa menteri juga datang. Gus Dur
mengatakan dia akan mengeluarkan dekrit. Rapat jadi panas. Sebagian menteri
menyatakan kurang setuju. Gus Dur mengatakan, “Malam ini juga akan saya umumkan
dekrit.”
Soal konsep Wahid minta para aktivis membantu. Hermawan Sulistyo, seorang
peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang menulis buku Palu Arit di
Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966),
mengusulkan pembubaran Partai Golongan Karya, warisan dari rezim Presiden
Suharto. Usul itu ditolak karena dianggap antidemokrasi. Kesepakatannya, partai
ini dibekukan hingga ada keputusan Mahkamah Agung.
Sekitar pukul 22:30 pintu istana ditutup karena banyaknya jumlah pengunjung.
Banyak orang menunggu di pintu kiri gedung istana. Juga banyak wartawan yang
menunggu di sana. Situasi sekeliling istana tampak sepi. Tidak terlihat pasukan
dalam jumlah yang mencolok.
Pada pukul 23.03, tampak beberapa orang kiai keluar dari istana. Habib Yahya
Assegaf dari Jakarta kepada wartawan mengatakan Gus Dur “nasibnya mujur, bagus.
Dekrit akan didukung oleh semua rakyat Indonesia.”
Kalau dari TNI tidak mendukung bagaimana?
“TNI mendukung kok. Yang tidak mendukung itu barangkali cuma 20 persen atau
kurang.”
Televisi tak banyak mengambil gambar para kiai dan aktivis ini. Indra Piliang
dari Center for Strategic and International Studies mengatakan, “Saya udah
pegel nungguin sampai pukul 23.00, tapi Arief Suditomo (dari SCTV) dan
kawan-kawan hanya melaporkan sejumlah nama yang ada di istana, tanpa tertarik
untuk wawancara orang-orang itu.”
Hermawan Sulistyo keluar dari istana dan dicegat wartawan.
“Gus Dur mau mengeluarkan dekrit?”
“Belum tahu, maju mundur, maju mundur.”
“Konsep apa yang Anda tawarkan untuk dekrit?”
“Ah nggak, masuk aja saya nggak kok. Kalau kemarin, bersama dengan teman-teman
LSM, dekritnya hanya soal pembubaran Golkar sampai ada keputusan MA (Mahkamah
Agung). Tapi, kemarin. Bukan tadi lho! Soal dekrit itu saya masih seorang
demokrat. Hitungan-hitungannya itu bukan pertarungan politik.”
“Kalau dalam pandangan Anda mestinya gimana?”
“Ini sudah point of no return buat saya. Bagi saya cuman satu aja, kalau alasan
moral, bukan alasan politik: pembekuan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), lalu
pemilu dipercepat. Itu anu aja bahwa mereka menolak peradilan HAM untuk
penanggung jawab Trisakti dan Semanggi.”
Sulistyo mengacu pada dua tempat di Jakarta di mana pada 1998 terjadi
penembakan mati terhadap beberapa mahasiswa. Pertama di depan kampus
Universitas Trisakti dan kedua terjadi dekat jembatan Semanggi.
“Tapi militer khan tidak mendukung Gus Dur untuk mengeluarkan dekrit?”
“Ini khan urusan politik, urusan apa sama tentara?”
Sulistyo memainkan peran cukup penting Minggu malam itu. Salah satu televisi
yang melakukan kontak telepon dengan Sulistyo adalah Metro TV. Menariknya,
pemirsa dengan jelas mendengar tuduhan-tuduhan mahasiswa terhadap Metro TV
ketika wawancara berlangsung.
“Metro Cendana itu. Metro cuci uang Cendana itu.”
“Mungkin Anda bisa … backsound di belakang Anda itu. Nanti ada kesempatan Bung
Kikiek,” ujar Hersubeno Arief dari Metro TV. Kikiek adalah nama panggilan
Sulistyo.
“Iya, saya sudah menghindar,” kata Sulistyo.
Tuduhan mahasiswa bahwa Metro TV terhubung dengan keluarga Cendana mungkin
disimpulkan karena 20 persen saham Metro TV dimiliki oleh Bimantara, sebuah
perusahaan publik, yang didirikan dan sebagian sahamnya dimiliki putra Presiden
Soeharto, Bambang Trihatmodjo.
“Jadi kongkritnya apa Bung Kikiek?”
“Kalau buat saya bubarin saja DPR itu. Itu penghambat reformasi”
Di studio Metro TV, Hersubeno ditemani Alifian Mallarangeng dari Partnership
for Government Reform, sebuah lembaga dana bentukan Bank Dunia, Asian
Development Bank, serta United Nations Development Program. Mallarangeng
dikenal sebagai komentator politik. Dalam wawancara ini Mallarangeng
mengatakan, “Persoalannya adalah siapa yang berhak membubarkannya Bung Kikiek?”
“Ah, itu soal hukum. Biarlah para pakar hukum berantem. Saya lihat dari sisi
moralitas saja itu.”
Mallarangeng menjawab, “Tentu kalau kita bicara tentang demokrasi, kita
menghargai adanya konstitusi, aturan-aturan hukum, yang membatasi kemungkinan
pemusatan kekuasaan.”
“Bukan! Bagi saya demokrasi itu berarti pembenaran pembunuhan terhadap
mahasiswa. Itu ukuran saya,” kata Hermawan Sulistyo.
“Bung Kikiek Anda tidak membayangkan dampak dari dekrit bisa meneteskan darah
seperti yang Anda sesali saat ini?” tanya Hersubeno Arief.
“Sama halnya anggota DPR yang tidak membayangkan darah mahasiswa itu. Sama saja
kan?” kata Sulistyo.
“Artinya kemudian sah saja darah tumpah berikutnya. Dan ini bukan hanya
mahasiswa tetapi juga rakyat biasa,” kata Hersubeno Arief.
“Itu kan kata Anda. Kata saya, mereka yang memulai ini. Jadi, ini konsekuensi
logis dari satu situasi yang bagi saya itu sangat menghambat reformasi,” jawab
Sulistyo.
“Metro itu Cendana,” muncul teriakan lagi.
“Tapi bukankah, saya bisa saja, dan Anda bisa tidak sepakat, dengan keputusan
DPR dan MPR, tetapi bukankah sistem demokratis …” kata Mallarangeng.
“Saya tidak bisa dengar, ribut nih mahasiswa di seputar saya,” kata Sulistyo.
“Mungkin Anda bisa bergerak sedikit. Nanti kita kasih porsi,” kata Hersubeno.
Suara mahasiswa makin ricuh.
“Saya tidak bisa mendengar nih. Sudah,” kata Sulistyo, sembari mematikan
teleponnya.
PUKUL 21:00 di Departemen Pertahanan di Jalan Merdeka Barat ada rapat. Tuan rumahnya
Laksamana Widodo A.S., panglima Tentara Nasional Indonesia, yang mengundang
para petinggi militer dari angkatan darat, laut, dan udara, serta Agum Gumelar,
menteri koordinator politik, sosial dan keamanan.
Widodo mengatakan Presiden Wahid hendak mengganti kepala staf angkatan darat
dan angkatan laut, masing-masing Jenderal Endriartono Soetarto dan Laksamana
Indroko Sastrowiryono serta mengangkat Letnan Jenderal Johny Lumintang, seorang
perwira senior yang menjabat sekretaris jendral Departemen Pertahanan, sebagai
wakil panglima TNI.
Mereka menganggap keputusan ini persiapan Wahid menjalankan keadaaan darurat.
Tanpa dukungan polisi dan militer Wahid tak bisa menjalankan kebijakan itu.
Polisi sudah relatif dikuasainya dengan mengangkat Chaeruddin Ismail. Langkah
berikutnya adalah militer.
Para perwira ini juga mengundang Lumintang. Ternyata Lumintang menolak
pengangkatannya. Secara diplomatis Lumintang menyerahkannya pada Widodo A.S.
Pukul 23:30 Widodo dan Gumelar pergi ke Istana Negara buat menyampaikan
keputusan rapat. Di istana Gumelar melihat banyak orang. “Entah dari mana.
Banyak sekali. Ada orang-orang LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan Rachmawati
(Sukarnoputri) di situ,” kata Gumelar.
Di dalam ruang kerja Wahid ada beberapa pembantu Wahid termasuk Chaeruddin.
Sempat hening sejenak. Kemudian Agum Gumelar mendekati Wahid yang
penglihatannya kurang baik.
“Saya Agum Gumelar, menteri Bapak, ingin menyampaikan pandangan dan saran.
Kalau Presiden mengeluarkan dekrit, keadaan tidak akan bertambah baik, tapi
semakin memburuk, dan ini juga menyangkut nama baik serta reputasi Presiden.
Saran saya, janganlah dekrit dikeluarkan demi keselamatan bangsa.”
Tiba-tiba Wahid berdiri sambil berteriak sekeras-kerasnya, “Kalian semua
banci!” Teriakan Wahid sedemikian kerasnya sehingga mengundang perhatian orang
luar. Beberapa pengawal presiden menyerbu masuk.
Agum Gumelar kaget. Wahid terlihat emosional dan nafasnya terengah-engah.
Menurut penuturanya pada Forum, Gumelar memegang tangan Wahid, “Bapak Presiden,
saya membantu presiden dan tidak menginginkan presiden mengambil keputusan yang
keliru.”
“Sudah saya putuskan!” teriak Wahid.
“Kalau tidak setuju dengan dekrit, maka silahkan pisah. Kalau setuju dengan
dekrit, maka ikut saya.”
Suasana tak nyaman. Gumelar pun mengajak Widodo keluar.
SENIN 23 Juli 2001 dini hari. Di kantor RCTI di bilangan Kebun Jeruk, Atmadji
Sumakidjo kelelahan dan tertidur di kantornya. Bersama rekan-rekannya, wakil
pemimpin redaksi RCTI ini seharusnya bersantai di Puncak. Tapi Sumakidjo malah
tidur di kantor.
Budhius Ma’ruf, seorang produser RCTI, membangunkan Sumakidjo lima menit
sebelum Presiden Abdurrahman Wahid muncul di depan wartawan untuk mengumumkan
maklumat.
RCTI langsung menghentikan tayangan film dan pindah siaran ke Istana Negara.
Wahid minta maaf lebih dulu pada wartawan karena mereka menunggu lama. Dia
mengatakan ini bukan tindakan yang menyenangkan tapi dia harus mengambil
tindakan ini untuk keselamatan negara.
Isi lengkap maklumat dibacakan juru bicara kepresidenan Yahya C Staquf pukul
01.17. Maklumat ini, yang sering disebut “dekrit” oleh Wahid, dasarnya
mengatakan “krisis konstitusional telah memperparah krisis ekonomi, penegakan
hukum, dan pemberantasan korupsi.”
“Maka dengan keyakinan dan tanggung jawab untuk menyelamatkan negara dan bangsa
serta berdasarkan sebagian terbesar masyarakat Indonesia, hari ini selaku
kepala negara dan kepala pemerintahan saya terpaksa mengambil langkah-langkah
luar biasa untuk memaklumkan:
1. Membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI dan Dewan Perwakilan Rakyat RI;
2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta
menyusun badan yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemilihan umum dalam waktu
setahun;
3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru
dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.”
Wahid memerintahkan seluruh jajaran militer dan polisi untuk “mengamankan
langkah-langkah penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Acara ini berlaku singkat saja. RCTI, Indosiar, dan SCTV kembali melanjutkan
tayangan hiburan yang tertunda.
Sumakidjo mengatakan pengumuman itu membuat seluruh awak RCTI bekerja keras,
mencari nara sumber, mengemas berita, dan menyiarkannya untuk berita pagi.
Mereka kerja tanpa henti hingga pukul 8:00. “Karena kita bukan stasiun berita,
kita memasukkan berita curi-curi diselipkan ketika acara film,” kata Sumakidjo.
Tapi acara-acara hiburan itu, dari musik, film dan hiburan lain, tampaknya
membantu meredakan ketegangan di masyarakat. Waktu diumumkannya yang lewat
tengah malam juga mengurangi reaksi spontan dari masyarakat. Mungkin reaksinya
berbeda bila diumumkan siang hari.
Sepuluh menit sesudah pengumuman itu, menteri koordinator politik, sosial dan
keamanan Agum Gumelar dipanggil Megawati di kediaman resmi Megawati di bilangan
Menteng.
“Ada apa ini dan bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Megawati.
Gumelar menjelaskan kejadian di Istana Negara ketika Presiden Wahid emosional.
Usai bercerita Gumelar mengatakan dia hendak mundur karena tak setuju dekrit.
“Siapa yang akan mengendalikan masalah keamanan?” tanya Megawati.
Gumelar jadi bingung karena di satu pihak sebagai menterinya Gus Dur yang tak
setuju keputusan Gus Dur, dia harus mundur, tapi di pihak lain dilarang
Megawati. Namun Gumelar membenarkan Megawati dan menyatakan dia tetap menteri
tapi “siap mundur.”
Sementara itu di hotel bintang lima di mana ketua MPR Amien Rais dan kebanyakan
anggota MPR menginap suasananya mendadak hiruk pikuk. Orang-orang turun ke lobi
hotel. Mereka yang tidur dibangunkan. Orang-orang Partai Golongan Karya tak
bisa menyembunyikannya kegeramannya terhadap Wahid. “Suasananya kayak pasar,”
ujar seorang wartawan.
Dalam suasana hiruk pikuk ini, di mana perkembangan berita diluncurkan dengan
cepat, peran televisi jadi sentral dan orang pertama yang komentarnya muncul di
televisi adalah orang bisa berperan paling besar dalam membentuk opini publik.
Kebanyakan televisi menyiarkan langsung dekrit tersebut tapi cuma Metro TV yang
siap dengan seorang komentator di studionya. Komentator itu adalah Alifian
Mallarangeng, seorang Ph.D ilmu politik dari Ohio State University, Amerika
Serikat. Mallarangeng keturunan bangsawan Bugis sehingga sering dipanggil gelar
bangsawan Andi.
Menurut Mallarangeng, sebelum dekrit diumumkan, dia dan Hersubeno Arief
mengobrol “ngalor ngidul nungguin sambil berdebar-debar apa yang terjadi.” Ini
terjadi karena pengumuman itu ditunda tiga jam dari pukul 22:00 sampai jam
1:00.
Mereka kemudian berpikir apakah akan ada semacam dekrit yang isinya tak jelas?
Semua serba meraba-raba. Situasi di studio Metro TV juga menarik. Informasi
yang masuk menit per menit; dari reporter di lapangan, dari internet, dari
segala macam.
Mereka disodori informasi terus hingga menyaksikan sendiri siaran langsung dari
Istana Negara. Saat itu Mallarangeng tak bisa menyembunyikan emosinya lagi.
Begitu siaran langsung dihentikan Hersubeno Arief minta komentar Mallarangeng.
“Ini maklumat, sayang sekali, memperlihatkan sekali lagi, dan tampaknya akan
dicatat dalam sejarah, bahwa Presiden Abdurrahman Wahid adalah seorang
diktator. Dia telah melakukan makar terhadap negara,” kata Mallarangeng.
“Makar ya bung Andi?” tanya Hersubeno.
“Dia telah melakukan makar terhadap negara. Dia telah melakukan makar terhadap
lembaga tertinggi negara yang menjadi perwakilan rakyat. Tidak ada hak seorang
presiden yang tidak dipilih oleh rakyat secara langsung untuk membubarkan
parlemennya. Ini bukan sistem parlementer. Ini juga bukan sistem autoritarian.
Dengan ini, dia mengambil kembali seluruh kewenangan kekuasaan negara. Pada
dirinya sendiri dia sudah mendefinisikan negara. Dirinya adalah negara. L’etat
c’est moi.”
Tanpa jeda Mallarangeng melanjutkan, “Ini tidak bisa dibiarkan semacam ini.
Karena itu saya juga menghimbau, seluruh aparat negara, seluruh TNI dan militer
agar tidak mematuhi dekrit ini. Dekrit ini adalah makar terhadap negara. Kepada
sesama warganegara Republik Indonesia, inilah saatnya kita mengatakan selamat
tinggal Gus Dur! Kemudian kita mempersilahkan sidang istimewa MPR/DPR tetap
bersidang sebagaimana mestinya. Kita sebagai rakyat dan seluruh aparat negara
mesti melindungi wakil-wakil rakyat di MPR melakukan persidangan sebagaimana
mestinya. Kemudian memberhentikan dengan tidak hormat Presiden Abdurrahman
Wahid dan kemudian melantik Wakil Presiden Megawati sebagai presiden.”
Suasana agak tegang. Hersubeno bergurau, “Ya, saya kira ini bukan maklumat
tandingan ya?”
“Bukan. Sebagai warga negara dan seorang demokrat,” kata Mallarangeng.
PERTANYAANNYA adalah seberapa besar pengaruh Alifian Mallarangeng? Berapa
banyak orang yang menonton Metro TV? Berapa persen dari para penonton itu yang
terpengaruh himbauan Mallarangeng?
Menurut AC Nielsen peringkat Metro TV Senin dini hari itu berkisar 0,3 sampai
1,2. Ini berarti 0,3 sampai 1,2 persen penduduk Indonesia nonton Metro TV.
Katakanlah populasi Indonesia 200 juta maka yang menonton 600 ribu sampai 2,4
juta orang. Sebagian besar mereka ada di Jakarta karena jangkauan Metro TV
paling banyak di ibukota. Ini cukup besar mengingat televisi ini baru operasi
sejak Desember 2001.
Tapi berapa orang yang datang ke parlemen untuk menentang dekrit? Belum ada
jawaban kongkrit tapi di satu sisi Mallarangeng dipuji karena berani mengambil
risiko. Bagaimana pun juga ada kemungkinan dekrit dijalankan, parlemen
dibubarkan, Amien Rais ditangkap, dan televisi dikuasai. “Istri saya sudah
nangis-nangis di rumah karena khawatir saya ditangkap,” kata Mallarangeng.
Mallarangeng mengatakan dia berusaha seobyektif dalam acara bincang-bincang itu
dengan melihat konteks peristiwa itu pada beberapa hari atau bulan sebelumnya.
“Tapi ada beberapa titik di mana mungkin saya tidak bisa obyektif. Misalnya
ketika dekrit diumumkan, saya kecewa, saya marah. Saya menganggap dekrit yang
dikeluarkan presiden itu inkonstitusional. Bisa mengarah pada makar, kudeta
terhadap negara.”
Mallarangeng belajar dari pengalaman negara lain, misalnya dampak buruk
pembubaran parlemen oleh Presiden Albert Fujimori di Peru dan Presiden Boris
Yeltsin di Rusia. “Saya jadi marah. Saya juga tidak suka sidang istimewa MPR
karena banyak prosesnya yang saya pertanyakan. Tapi tidak bisa karena saya
tidak suka sidang istimewa MPR maka saya membekukan MPR. Dalam titik itulah
saya tidak bisa mengambil jarak. Saya bersikap. Sebagai warga negara mungkin
atau sebagai orang yang selalu berusaha mewujudkan demokrasi,” katanya.
Tapi ada juga yang berpendapat persoalan tak seserius yang dibayangkan
Mallarangeng. Wahid tak bisa dibandingkan dengan Fujimori atau Yeltsin. Wahid
mengeluarkan dekrit yang tumpul. Kalau saja Mallarangeng tahu kesepakatan Amien
Rais dan Agum Gumelar pada Jumat malam, mungkin Mallarangeng bisa mengatakan
dekrit itu tak bakal efektif. Militer tak mendukung sehingga tak bakal jalan.
Dia tak perlu “menghimbau” militer agar menentang “makar.” Kalau Mallarangeng
tahu sikap Megawati Sukarnoputri, yang menanggapi ketegangan itu dengan santai,
bahkan pergi nonton film Walt Disney Shrek, mungkin Mallarangeng bakal lebih
tahu bahwa dekrit itu tak bakal melumpuhkan parlemen.
Th. Yacob Koekeritsz, seorang aktivis Forum Demokrasi, yang kenal Mallarangeng
sejak bangku sekolah menengah di Makassar, mengatakan Mallarangeng “emosional
sekali.” Mallarangeng dianggapnya “tidak lagi political scientist karena
berpihak sekali.”
“Okelah Andi Mallarangeng dikasih waktu empat jam berturut-turut. Satu atau 1,5
jam diberikan kepada Arbi Sanit, Thamrin Tomagola atau yang lain,” kata Yeni
Rosa Damayanti dari Solidamor, mengacu pada dua dosen Universitas Indonesia
yang pro Wahid.
Hersubeno Arief mengatakan kesulitan terkadang disebabkan keterbatasan
komentator yang bisa dihubungi dengan cepat. Selain harus menguasai persoalan,
seorang komentator diharapkan orang yang kenal kamera. Metro TV juga menghubungi
orang-orang Partai Kebangkitan Bangsa tapi mereka tak bisa dihubungi atau tak
bersedia datang. Andy F. Noya, pemimpin redaksi Metro TV, menghubungi Alifian
Mallarangeng Minggu pukul 22:00. Noya minta Mallarangeng datang ke studio.
Padahal Mallarangeng baru selesai dengan talk show televisi lain.
Atmadji Sumakidjo mengatakan, “Para komentator, para pengamat itu pasti laku,
jadi kita list dulu beberapa nama untuk dijadikan sumber. Waktu itu ada banyak
nama yang diajukan. Ada Dewi Fortuna Anwar, Andi Malarangeng, Rizal
Malarangeng, Arbi Sanit, Imam Prasojo dan lain-lain. Ada 30 nama waktu itu.”
RCTI akhirnya memilih Eep Saefulloh Fatah, seorang mahasiswa pascasarjana Ohio
State University yang “masih segar karena baru pulang dari Amerika.”
“Dalam memilih nara sumber kita coba seobjektif mungkin. Dia tidak membawa
suatu aliran atau pro Gus Dur atau anti Gus Dur karena nanti akan bias.
Riswanda Imawan juga jadi prioritas kita tapi karena ia jauh di Yogyakarta ya
kita cari yang ada di Jakarta saja,” kata Sumakidjo.
M. Imdadun Rahmat, Zuhairi Misrawi dan Rumadi dari Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama, berpendapat media
sengaja ingin menjatuhkan Wahid. Anak-anak muda Nahdlatul Ulama ini mengatakan
mereka sekali pun tak pernah dihubungi televisi. Lembaga mereka hanya sekali
dihubungi oleh sebuah radio.
“Saya kira apa yang ditampilkan Media Indonesia atau Metro TV sangat jelas
aspek by design itu. Orang awam akan bisa melihatnya. Apalagi orang yang berada
dalam komunitas NU,” kata Rumadi.
Harian Media Indonesia dan Metro TV adalah dua institusi media yang
berhubungan. Keduanya dipimpin oleh pengusaha Surya Paloh. Editorial Media
Indonesia tiap hari juga divisualkan di Metro TV.
Salim Said, penulis buku The Genesis of Power dan seorang komentator politik
yang banyak tampil pada hari-hari ini, berpendapat secara umum penampilan
televisi lumayan baik. Kesalahan atau pertanyaan yang bodoh memang muncul tapi
“by default not by design.”
Sumakidjo berpendapat agak sulit bagi televisi untuk tak mendapat cap anti Gus
Dur, “Sekarang ada ngak orang yang pro Gus Dur pada waktu itu?” Masalah teknis
lain. Komentator politik yang setuju dekrit semuanya ada di istana sehingga
sulit memanggilnya ke studio televisi. Sehingga yang muncul adalah yang kontra
dekrit tersebut.
Setiap televisi dan radio memang harus sangat hati-hati memilih nara sumber.
Lebih hati-hati ketimbang media cetak karena nara sumber media elektronik hanya
bicara. Orang menulis harus jujur terhadap dirinya sendiri. Orang menulis sulit
untuk berbohong. Ini berbeda dengan wicara.
Salah satu cara mengatasinya adalah memberikan suara kepada semua pihak yang
bertikai, kalau perlu sama-sama di studio. Dalam momen secepat ini salah satu
keterbatasan televisi dan radio adalah sulit dan mahalnya memproduksi berita.
Talk is cheap. News is expensive. Talk show jadi pilihan karena murah dan
kelihatannya gampang. Bandingkan kalau siaran-siaran ini diisi oleh berita
melulu? Berapa ratus reporter yang harus dikerahkan?
Konsekuensi lain adalah kerja marathon. Padahal makin capek seseorang makin
berkurang kinerjanya. Baik Hersubeno Arief maupun Alifian Mallarangeng, sekedar
contoh, bicara lebih dari enam jam. Hersubeno bahkan mulai kerja Minggu jam
6:30 dan baru pulang ke rumah 25 jam sesudahnya: Senin jam 7:30. Mallarangeng,
yang merasa khawatir akan keamanannya setelah bicara demikian keras, merasa tak
aman pulang dini hari, dan memutuskan tetap tinggal dan bicara di studio hingga
hari terang.
Atmakusumah Astraatmadja dari Dewan Pers berpendapat, “Memang sulit untuk
meminta perimbangan sumber berita 50:50 tapi sepintas (televisi) sudah cukup
baik.”
SENIN pagi 23 Juli 2002. Televisi, radio, dan dotcom terbukti di atas angin
dalam liputan 24 jam terakhir. Ini bisa dilihat pada harian Kompas, The Jakarta
Post, Media Indonesia, Republika, dan harian lain yang terasa lebih kurang
relevan ketimbang berita televisi, radio, dan dotcom.
Kompas menurunkan stop press pukul 3:15 dini hari yang berisi keterangan pers
Amien Rais bahwa MPR tetap bakal melaksanakan sidang.
Amien mengadakan pertemuan pers sekitar pukul 2:00 dini hari ketika kebanyakan
suratkabar Jakarta sudah naik cetak. Mereka masih sempat menurunkan berita
maklumat Presiden Wahid. Tapi reaksi Amien Rais sudah terlambat untuk dicetak.
Apalagi reaksi Akbar Tanjung, ketua Partai Golongan Karya, yang mengadakan
pertemuan pers lebih lambat dari Amien. Agum Gumelar bahkan bikin pertemuan
pers menjelang shalat subuh.
Suratkabar di zona Waktu Indonesia Tengah maupun Waktu Indonesia Timur, yang
masing-masing sejam dan dua jam lebih cepat dari waktu Jakarta, malah banyak
yang tak sempat menurunkan berita maklumat Wahid.
Kompas bisa melakukan stop press karena suratkabar ini menguasai sendiri
percetakannya. Toh, Kompas terbit Senin tanpa memasukkan reaksi Partai Golkar
atau keterangan Agum Gumelar.
Unsur kecepatan memang sangat penting. Makin cepat suatu media bekerja makin
penting kedudukannya dalam situasi kritis. Suratkabar kalah bersaing dengan
televisi, dotcom, dan radio karena butuh waktu cetak. Majalah Tempo bahkan
sudah selesai cetak ketika Wahid menyatakan negara dalam keadaan darurat.
Susahnya, wartawan cenderung bekerja dengan pola media masing-masing. Senin
dini hari itu hanya ada lima wartawan di hotel tempat Amien Rais dan Akbar
Tanjung bikin pertemuan pers. Kebanyakan wartawan suratkabar dan televisi
pulang setelah deadline. Mungkin kecapekan. Ini beda dengan media internet atau
kantor berita yang bekerja praktis 24 jam.
Detikcom menurunkan berita “Gus Dur Bekukan Partai Golkar, Pemilu Digelar 1
Tahun Lagi” hanya beberapa menit setelah jurubicara kepresidenan Yahya C Staquf
membacakan maklumat itu di Istana Merdeka pukul 01.17. Detikcom terus-menerus
melaporkan perkembangan momen-momen ini. Amien dilaporkan. Tanjung dilaporkan.
Gumelar juga dilaporkan.
Sapto Anggoro, wakil pemimpin redaksi Detikcom, mengatakan dia dan para
reporternya juga marathon. Para reporternya menggunakan telepon seluler dan
melaporkan berbagai kejadian dari istana, parlemen, hotel, kantor Gumelar, dan
sekitar Monumen Nasional.
Kompas Cyber Media menurunkan naskah lengkap maklumat pada pukul 01:43 dengan
judul “Isi Lengkap Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid.”
Di belahan dunia lain, situs The New York Times menurunkan laporan “Facing
Removal, Wahid Dissolves Legislature in Indonesia” pada pukul 1:47. Laporan ini
diambil dari kantor berita Associated Press.
Keunggulan suratkabar sebenarnya ada pada kedalaman. Wartawan mereka sebenarnya
bisa menembus tembok-tembok ruang rapat yang tak bisa ditembus kamera televisi.
Mereka juga punya waktu lebih panjang ketimbang wartawan dotocom. Tapi hingga
Senin, belum ada suratkabar yang mampu menjelaskan apa yang terjadi sepanjang
hari Jumat-Sabtu-Minggu di luar hal yang resmi.
Pertemuan Amien Rais dan Agum Gumelar tak diberitakan suratkabar hingga
seminggu sesudahnya. Dibentaknya Agum Gumelar oleh Abdurrahman Wahid juga baru
muncul hampir seminggu sesudah kejadian.
Media, menurut Bambang Wisudo dari Kompas, “… terjebak pada apa yang diomongkan,
tidak menggali hingga ke substansi persoalan.” Kegamangan ini membuat berita
suratkabar jadi kurang relevan. Mereka mengejar komentar demi komentar tapi
melupakan proses verifikasi fakta demi fakta.
“Wartawan bingung menangkap mana yang substasi dan mana yang tidak. Saya
sendiri mengalami kejenuhan, karena problem politik tidak maju-maju dari jaman
Soeharto,” kata Iwan Setiawan dari majalah Tempo.
SENIN siang 23 Juli 2001. Televisi berlomba-lomba menyiarkan sidang istimewa
MPR dan mendatangkan komentator di studio masing-masing. SCTV mendatangkan
Solahuddin Wahid dari Nahdlatul Ulama. Stasiun lain kebanyakan mendatangkan
pembicara dari kubu anti Wahid. TPI mendatangkan Indria Samego (LIPI), Maswadi
Rauf (Universitas Indonesia) dan Salim Said.
SCTV mendatangkan Solahuddin bersama Hasnan Habib (pensiunan letnan jendral),
Ryas Rasyid (rektor sebuah perguruan tinggi dan mantan menteri kabinet Wahid),
dan Daniel Sparingga (Universitas Airlangga). Metro TV mendatangkan Rizal
Mallarangeng (Center for Strategic and International Studies), Denny J.A.
(Universitas Jayabaya) serta Hamid Awaluddin (Partai Golkar).
RCTI mendatangkan Eep Saefulloh Fatah. Anteve mendatangkan Alifian Mallarangeng
dan Agus Haryadi (CPPS-Paramadina).
Kalau ada dua nama Mallarangeng di sini karena mereka memang kakak beradik.
Alifian adalah kakak sulung Rizal. Keduanya kuliah di ilmu sosial dan politik
Universitas Gadjah Mada dan melanjutkan studinya sama-sama di Ohio State
University di bawah bimbingan Prof. Bill Liddle, seorang akademisi Amerika
Serikat dengan spesialisasi Indonesia.
Pilihan-pilihan ini tampaknya tak memuaskan semua orang. Wakil direktur Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Enceng Sobirin
Nadj. termasuk salah satunya.
“Sungguh tak adil bahwa pengamat-pengamat yang tampil di televisi notabene
adalah mereka yang anti Gus Dur. Menurut saya, mereka ini lebih pas disebut
sebagai pemain-pengamat, karena mereka tak segan-segan turut bermain dalam
permainan politik menjatuhkan Gus Dur,” kata Sobirin.
“Tidak kritis terhadap tentara. Itu jelas sekali,” kata Koekeritsz dari Forum
Demokrasi.
Zuhairi dari Lakpesdam Nahdlatul Ulama melihat pilihan para komentator ini dari
sudut pandang “perebutan kekuasaan” antara Islam tradisional dan Islam
modernis. Menurutnya alumni Ohio State University kebanyakan berlatar belakang
Islam modernis. “Nah persoalannya, selama ini tidak cukup ada dialog antara
teman-teman berbasis Islam modernis dan teman-teman dari kalangan
tradisionalis.”
“Mereka berpikir kalau Gus Dur semakin berkuasa, otomatis mereka tidak punya
banyak peluang untuk berkembang. Di sini ada gambaran tentang persaingan antara
Ulil Abshar-Abdalla dan rekan-rekannya yang modernis. Ulil itu sebagai
intelektual muda Islam sangat cepat melejit. Sementara teman-teman
segenerasinya tidak mengalami hal yang sama.”
“Mereka menganggap kalau Gus Dur tetap berkuasa akan semakin banyak lagi
anak-anak muda NU yang melejit mewarnai dinamika intelektual, keagamaan, dan
politik di Indonesia. Saya menangkap ada kekhawatiran seperti itu,” kata
Zuhairi.
Menurut Hersubeno Arief, Metro TV mencoba mengatasi kurang beragamnya sumber
mereka pada Selasa 24 Juli 2001. Mereka mencari Ulil Abshar-Abdalla, orang
nomor satu Lakpesdam NU, tapi Ulil sedang berada di Amerika Serikat. Mereka
menggantinya dengan Ahmad Sahal dari jurnal kebudayaan Kalam. Sahal dari latar
belakang keluarga Nahdlatul Ulama.
Zuhairi mengatakan Sahal memang warga Nahdlatul Ulama tapi tak banyak terlibat
dan mengikuti secara langsung perkembangan-perkembangan yang terjadi di
Nahdlatul Ulama.
“Saya kira ini kecelakaan betul Metro TV. Mestinya media mengetahui hal-hal
seperti ini. Apakah benar seseorang itu merepresentasikan suara anak-anak muda
NU secara umum? Karena sesungguhnya Sahal diundang untuk melihat bagaimana sih
sebenarnya suara anak muda NU.”
Menurut Zuhairi ada dua penjelasan misrepresentasi ini. Pertama Metro TV tidak
memahami peta perkembangan di Nahdlatul Ulama. Kedua, ada kesengajaan
menghadirkan tokoh-tokoh dari luar maupun dari dalam Nahdlatul Ulama yang mau
bicara kritis atau negatif tentang Nahdlatul Ulama dan Gus Dur.
Kerangka yang muncul di media adalah kaum nadliyin kurang berpendidikan, orang
desa, dan bakal mengamuk bila Gus Dur dijatuhkan. Ternyata kekhawatiran ini tak
terjadi sama sekali. Penjagaan gedung parlemen terkesan malah berlebihan.
Apakah media kecele dengan asumsi-asumsi mereka? Hermawan Sulistyo mengatakan
dekrit dikeluarkan sebagai lambang gerakan moral melawan tren bahwa
demokratisasi Indonesia kembali ke model Orde Baru.
Hersubeno Arief dan Rizal Mallarangeng membantah hal ini. Tidak ada konspirasi.
“Lawan Gus Dur adalah prinsip demokrasi. Kikiek bilang dekrit moral. Itu juga
omong kosong. Itu dekrit politik. Nggak ada soal moral di situ,” kata Mallarangeng.
Hersubeno mengatakan bahwa latar belakangnya sendiri adalah seorang nahdliyin.
Ya bagaimana lagi? Mungkin persoalannya memang sudah terlalu terpecah. You take
it or you leave it. Th. Yacob Koekeritsz, aktivis Forum Demokrasi, memilih
mematikan televisi ketika talk show Metro TV sedang berjalan antara Rizal
Mallarangeng dan Ahmal Sahal.
MASALAH dari pemberitaan cepat biasanya akurasi. Waktu untuk verifikasi, untuk
editing, jadi berkurang. Bill Kovach dan Tom Rosentiel mengatakan esensi jurnalisme
adalah verifikasi. Boleh cepat tapi jangan meninggalkan esensi ini. Ini
kelemahan kebanyakan media Indonesia. Banyak wartawan yang melontarkan
pertanyaan tolol karena tak melakukan verifikasi lebih dulu. Ada wartawan di
Istana Negara yang Minggu petang dibentak Wahid dan dibilang "tukang
melintir" karena asumsi dalam pertanyaannya, soal kerja sama Wahid dan
Rachmawati Sukarnoputri, bertentangan dengan fakta.
Dari SCTV ada seorang presenter yang mengatakan dia mendapat
"bocoran." Hal itu tanpa dicek lebih dulu langsung disiarkannya di
televisi dan ditanyakan pada J. Kristiadi dari Center for Strategic and
International Studies, nara sumber di studio. Bagaimana mungkin Kristiadi bisa
mengetahui fakta itu? Seberapa besar kebenaran bocoran itu? Beruntung Kristiadi
cukup berpengalaman sehingga tak memperpanjang informasi yang belum jelas
asal-usulnya.
Orang bisa melancarkan kritik terhadap media dengan memperhatikan akurasi dalam
pemberitaannya. Siapa yang kebobolan? Siapa yang tekun? Siapa yang tak terburu-buru
minta komentar orang-orang yang disebut “pengamat” atau “pakar” sebelum
melakukan verifikasi fakta? Bagaimana seorang wartawan menempelkan label
“pakar” atau “pengamat” pada nara sumbernya? Mengapa orang yang tak pernah
menulis buku atau bikin penelitian serius bisa disebut sebagai pakar?
Selain itu salah satu kelemahan televisi adalah penggunaan apa yang disebut
sebagai telepolling atau penggunaan telepon buat menjaring pendapat masyarakat.
Menurut Enceng Sobirin dari LP3ES tak ada satu pun polling yang akurat di
televisi.
Logikanya, dalam sebuah polling, pengambilan sampel harus benar. Populasinya
yang mana? Kerangka sampling menggunakan apa? Teoritis setiap anggota populasi
sasaran harus memiliki kesempatan yang sama jadi responden. Penyelenggara
polling yang menentukan responden dengan menggunakan teknik sampling tertentu.
Artinya, responden itu dipilih dan bukan memilih dirinya sendiri.
Salah satu contoh telepolling televisi dibuat dengan pertanyaan sebagai
berikut: Setujukah Anda, apabila dekrit yang dikeluarkan presiden disebut
sebagai inkonstitusional?
Polling ini diadakan pada 17 Juli 2001 pukul 18.00-18.50. Jumlah penelepon 1351
(85 persen dari Jakarta dan 15 persen luar Jakarta). Hasilnya setuju 81,65
persen, tidak setuju 16,80 persen, dan tidak peduli 2,15 persen.
“Telepolling kita kan ngawur sekali. Pemirsa televisi mengajukan dirinya
sendiri untuk menjadi responden. Mereka menelepon untuk memberikan suaranya.
Bisa saja karena temanya sudah menjurus menyudutkan Gus Dur, dan para pakar
yang diundang juga memberi komentar negatif tentang Gus Dur, maka yang banyak
menelepon adalah mereka yang anti Gus Dur.”
“Mereka yang anti Gus Dur cenderung untuk tidak menonton acara tersebut. Dengan
kata lain, antara mereka yang pro dan anti Gus Dur tidak memiliki peluang yang
sama untuk menjadi responden. Dengan kata lain, televisi tidak melakukan
sampling yang benar,” kata Sobirin.
Polling itu masalah metodologi penelitian. Kalau metodologinya tak benar maka
hasilnya juga tak bermakna apa-apa. Hasil telepolling televisi tak bisa
dianggap sebagai suara masyarakat. “Namun apa yang terjadi? Para doktor lulusan
Amerika yang berbicara di televisi membenarkan begitu saja hasil polling itu,”
kata Sobirin.
Atmakusumah Astraatmadja dari Dewan Pers berpendapat polling macam ini memang
cacat. “Saya kira sudah jelas itu. Memang disayangkan jika ada media tidak
jujur mengatakannya. Hasil polling diklaim sebagai representasi suara
masyarakat.”
Namun Astraatmadja mengatakan pengaruh media tak seserius yang dibayangkan
orang selama ini, “Paling jauh, pengaruh media adalah membuat orang yang
sebelumnya sudah anti Gus Dur, menjadi lebih anti lagi, demikian juga
sebaliknya. Namun saya yakin tidak sampai membuat orang yang sebelumnya pro Gus
Dur atau netral menjadi anti Gus Dur.”
Mungkin dugaan itu benar. Pukul 16.53 MPR resmi memberhentikan Abdurrahman
Wahid sebagai presiden karena dinilai melanggar haluan negara. Megawati
Soekarnoputri jadi penggantinya.
Sebanyak 591 anggota MPR menyatakan setuju memberhentikan Wahid dan mengangkat
Megawati. Tidak ada yang menolak dan tidak ada yang abstain. Semua politisi itu
kelihatan kelelahan tapi tak ada satu pun yang menyimpang dari opini mereka
sebelumnya untuk memberhentikan Gus Dur.
Nun jauh di berbagai kantor berita, para wartawan pun juga merasa kecapekan.
Tapi marathon tiga hari ini memberi pelajaran dan pengalaman yang berharga
sekali agar kelak mereka bekerja lebih baik. Kritik adalah cambuk untuk
kemajuan masa yang akan datang.*