Nachtwey
Mon, 3 September 2001
SEORANG pria duduk di restoran sebuah hotel kecil di daerah Menteng, Jakarta. Rambutnya pirang keperakan, tersisir rapi. Usianya awal 50-an.
Dikerjakan
bersama Andreas Harsono
SEORANG pria duduk di restoran sebuah hotel kecil di daerah Menteng, Jakarta. Rambutnya pirang
keperakan, tersisir rapi. Usianya awal 50-an. Dia mengenakan celana jin, baju
kanvas, sepatu gunung, dan berbincang pelan dengan asistennya.
Matahari penghujung bulan Juli mulai meninggi. Di meja sebelah, seorang
wartawan Korea,
rambut panjang dengan kacamata berbingkai hitam, menyapa sopan, “Rasanya pernah
bertemu Anda?”
“Oh ya, di mana kira-kira?” kata pria Amerika itu, seraya bangkit dari tempat
duduknya. Si Amerika sopan mengulurkan tangan, memperkenalkan diri, “James
Nachtwey.”
“Jeong Moon Tae. November tahun lalu saya lihat Anda di Gaza,” kata Jeong.
“Anda di sana
juga?” kata Nachtwey.
“Ya, saya ada di Gaza.
Tapi saya tinggal di Bangkok.
Anda tinggal di New York?”
“Ya, New York.”
“Saya sering lihat Anda di Rwanda?” kata Jeong.
“Ya.”
Mereka bertukar kartu nama, membandingkan cerita demi cerita, membangun
percakapan ringan. Cerita tentang medan perang
satu ke medan
perang lain. Kosovo. Rwanda.
Palestina. Pertemanan yang singkat, dua orang asing, dua wartawan asing,
bertemu di tanah asing. Jeong pamit karena harus pergi. Nachtwey pun kembali
pada kopinya.
KALAU seseorang mengunjungi Newseum, sebuah museum tentang jurnalisme di
Arlington, dekat Washington D.C., ibukota Amerika Serikat, dan mengetikkan
huruf “N” di komputer, maka di layar monitor salah satu biodata wartawan yang
bisa dibacanya adalah biodata James Nachtwey.
Nachtwey memang nama besar dalam dunia jurnalisme. Dalam buku War Stories:
Reporting in the Time of Conflict, kurator Newseum Harold Evans menjajarkan
Nachtwey dengan wartawan legendaris macam Ernest Hemingway, Robert Capa, David
Halberstam, Peter Arnett, dan sebagainya.
“Foto-fotonya indah, secara komposisi kompleks, bahkan terkadang terlalu
sempurna. Orang heran bagaimana dia bisa memegang kameranya dengan seimbang,
menyetel bukaan kamera, dan menciptakan komposisi yang dahsyat, sekaligus
elegan, ketika berhadapan dengan lelaki telanjang, kelaparan sedang merangkak
ke sebuah penampungan darurat, seperti yang dilakukannya di Sudan?” kata
Michele McDonald, fotografer freelance dari Boston, dalam triwulanan Nieman
Report.
“Kalau Anda bekerja di dekatnya, Anda tahu bahwa Anda bekerja dengan para
wartawan profesional,” kata Seth Mydans, koresponden harian The New York Times
untuk Asia Tenggara, menambahkan bahwa Nachtwey, “sangat profesional, sangat
menyenangkan, dan sangat murah hati.”
Prestasi Nachtwey bisa lebih dipahami kalau orang memperhatikan penghargaan
yang didapatkannya. Nachtwey memenangi World Press Photo of the Year dua kali
(1992 dan 1994), Magazine Photographer of the Year (enam kali), Capa Gold Medal
(lima kali antara 1984 dan 1999), International Center of Photography Infinity
Award (dua kali), Leica Award (dua kali), penghargaan Canon Photo Essayist, dan
W. Eugene Smith Grant in Humanistic Photography.
Menurut Zamira Loebis, reporter majalah Time di Indonesia, di luar jam kerja
Nachtwey adalah sosok yang manis dan sopan. Tapi jika di lapangan, Nachtwey
berubah jadi sangat intens memburu gambar. “Kalau sudah begitu kita lebih baik
menjauh,” katanya.
Zamira Loebis seringkali melakukan liputan bersama Nachtwey, “James sangat
tertarik dengan hal human interest, dan sepertinya dia juga sedang banyak
mengumpulkan data tentang anak-anak jalanan, baik itu di Yogya, Jakarta, Surabaya.”
Nachtwey dikontrak majalah Time terbitan New
York sejak 1984. Pada 1999 Nachtwey menerbitkan buku
Inferno. Ini sebuah buku raksasa. Tebalnya 5,5 cm, ukuran 11x15 inci, 480
halaman berisi 380 foto yang diambil Nachtwey dari India, Rumania, Somalia,
Sudan, Bosnia, Rwanda, Zaire, Chechnya, dan Kosovo. Harganya US$ 125.
“Inferno adalah sebuah visual archive tentang kejahatan terhadap kemanusiaan
pada dasawarsa terakhir abad 20. Fokusnya meliputi ethnic cleansing, kekejaman
di Bosnia, Kosovo, genocide antarkelompok etnik di Rwanda, kekejaman,” kata Nachtwey
pada kami dalam suatu wawancara.
“Kerja dengan beliau harus benar-benar profesional,” kata Dwi Abi Yantoro,
asisten merangkap “tukang ojek” Nachtwey, yang membantu Nachtwey berjalan ke
mana pun di Jakarta
dengan sepeda motornya.
Nachtwey memilih sepeda motor ketimbang mobil.
“Datang harus tepat waktu,” kata Abi.
Tantyo Bangun, seorang fotografer Indonesia yang pernah jadi asisten
Nachtwey, ingat bagaimana mereka bekerja, “Di mana dia harus memotret James
tidak pernah coba dekat dengan subyeknya. Dia hanya pasang muka baik dan diam.
Dia lebih banyak diam dan bergerak, diam lagi dan bergerak, yang kerja hanya
mata dan tangannya.”
“Orang terkadang suka melupakan kehadirannya. Dan alat yang dibawa pun sangat
minim hanya satu kamera dengan zoom 17-35mm/f 2.8 dan satu kamera dengan lensa
24mm f/1.4. James tidak pernah pakai tele lens.”
MINGGU 22 November 1998 dini hari. Di sebuah daerah padat, separuhnya kumuh, di
daerah Ketapang, Jakarta,
terjadi ketegangan. Beberapa pemuda penganggur bertengkar dengan seorang pemuda
kampung. Tokoh setempat melerai mereka.
Pukul delapan pagi, kampung di Gang Pembangunan I itu didatangi sekitar 40
pemuda penganggur, yang kebanyakan dikenal sebagai tukang parkir dan preman
daerah Ketapang. Kedatangan mereka untuk melanjutkan amarah dini hari itu.
Walau mereka tak semuanya orang Ambon tapi cukup banyak yang berasal dari etnik
Ambon.
Suasana panas. Dalam keributan itu sebuah kaca jendela masjid pecah. Kabar
angin tentang penyerbuan masjid beredar. Pengeras suara masjid dipakai untuk
membangun solidaritas. Agama dinistakan. Banyak pemuda muslim ke luar rumah dan
berkumpul di sebuah pusat keramaian dekat Ketapang. Tujuannya bukan saja
membela diri tapi menyerang para preman dan menuntut ditutupnya “tempat-tempat
perjudian dan pelacuran” yang selama ini dianggap “sarang para preman.”
James Nachtwey mendapat informasi ini lewat radio taksi. Dia cepat-cepat ke sana bersama tukang
ojeknya Dwi Abi Yantoro, mereka meluncur dengan sepeda motor ke Ketapang.
“Sejak pukul enam, kami mutar-mutar di sana,”
kata Abi.
Seorang ulama Muslim setempat, Habib Al Riziq Shihab, datang dan bicara dengan
polisi maupun tentara. Tapi keinginan Shihab dan ulama lain, agar para preman
“dievakuasi secepatnya” tak dipenuhi. Mereka berusaha menenangkan massa tapi kurang
berhasil.
Suasana makin panas. Para pemuda Muslim ini
menyerang dan membakar sebuah tempat permainan ketangkasan yang berdekatan
dengan Gereja Ketapang. Gereja ini ikut terbakar.
Kerusuhan berbau sentimen agama meledak. Pemuda Ambon diidentikkan dengan
kekristenan. Dua gereja lain ikut dirusak. Para preman Ambon
yang melarikan diri dihajar warga.
Nachtwey ada di Gang Pembangunan I ketika seorang pemuda Ambon
lari menghampirinya. Si Ambon dikejar 20-an pemuda Muslim. Mereka bersenjata,
dari celurit hingga pentungan, dari batu hingga golok. Mereka mengejar dan
membantai si Ambon dengan brutal.
“Urat takutnya sudah putus,” kata Panji Wibowo, seorang pembuat film dokumenter
yang kebetulan jadi saksi mata, dan menyaksikan Nachtwey memotret adegan itu.
Beberapa pemuda muslim berteriak, “No photo, no photo.”
Nachtwey mundur, tapi maju lagi.
Mereka teriak lagi, “No photo, no photo.”
Nachtwey mundur lagi, tapi maju lagi, setiap massa bergerak, setiap saat itu pula Nachtwey
menguber.
Nachtwey berada pada detik-detik yang sulit. Seorang fotografer terkadang
dituntut memilih apa yang harus dilakukannya: memotret dan membiarkan si Ambon mati atau membantu menyelamatkan nyawa seorang anak
manusia tapi tak memotret. Siapa tahu dengan kehadiran seorang asing, mereka
bisa diingatkan untuk tidak main hakim sendiri?
“Ketika itu terjadi, saya mencoba menghentikan massa. Dua kali mereka seakan-akan hendak
menghentikan serangan mereka. Tapi mereka menunjukkan sikap tak bersahabat pada
saya. Di sisi lain saya hanya seorang diri. Saya juga tak menguasai bahasa
setempat,” kata Nachtwey.
Dia pun memutuskan memotret.
Panji juga melihat Nachtwey, “Gua liat ada upaya-upaya gitu tapi karena dia
outsider, bule, dan dia nggak bisa ngomong bahasa Indonesia.”
Tapi ini dilema yang sering dihadapi fotografer. Mereka sering dituduh tak
berperikemanusiaan. Kapan seorang fotografer membantu orang yang difotonya dan
kapan memutuskan hanya jadi pengamat?
“Batasnya adalah ketika Anda hanya jadi satu-satunya orang yang bisa mengubah
keadaan,” kata Nachtwey.
Ketika usaha Nachtwey gagal, pertanyaan berikutnya adalah meninggalkan kejadian
atau merekam adegan kejam itu? Nachtwey memilih merekam adegan di Gang
Pembangunan I. Tugas seorang fotografer adalah merekam dan memperlihatkan
adegan itu pada masyarakat luas. Nachtwey pun mengarahkan kameranya, klik ….
Foto-foto itu beberapa bulan sesudahnya memenangkan World Press Photo untuk
kategori kedua.
BANYAK orang mengatakan karya James Nachtwey membangkitkan rasa jijik, rasa
ngeri, dan takut. Ada
mayat membusuk. Ada
anak matanya dicongkel. Mayat berkulit pucat, berbintil-bintil di seluruh
wajahnya karena luka. Foto Nachtwey bercerita tentang kekejaman perang, tentang
kelaparan, kekerasan, pembunuhan, senjata, darah, dan air mata.
Dari Somalia
pada 1993 Nachtwey memotret seorang ibu yang membawa mayat anaknya, terbungkus
kain kafan, dan menguburkannya seorang diri di pemakaman Bardera. Panen gagal
dicampur dengan perang saudara mengakibatkan antara satu hingga dua juta orang Somalia
meninggal. Bahkan lebih dari 200 orang meninggal per hari di daerah-daerah yang
paling parah.
Pada perang saudara Hutu melawan Tutsi di negara Rwanda 1995, Nachtwey memotret
wajah seorang suku Hutu dengan bekas luka bacokan. Orang ini menolak ikut
menyerang dan merampok kelompok minoritas Tutsi sehingga dia ditahan, dibuat
kelaparan, dan disiksa oleh sesama Hutu.
Bukankah gambar-gambar ini bad taste, bisa merusak selera makan? Bayangkan bila
seseorang diperlihatkan sebuah foto yang menjijikkan sedemikian rupa sehingga
tragedi itu selalu mengganggu pikirannya?
“Mana ada kelaparan atau perang yang bisa disajikan dengan indah?” tanya
Nachtwey.
Nachtwey berpendapat orang-orang yang mengatakan fotonya bad taste justru perlu
dipertanyakan mengapa mereka enggan melihat gambar-gambar itu? Kenyataan yang
buruk tak bisa disajikan seindah foto-foto glamor.
Ketika menciptakan buku raksasa Inferno, Nachtwey dan penerbit Phaidon Press
memperhitungkan proyek ini sebagai bagian dari idealisme mereka, menghabiskan
uang, tak bakal menguntungkan.
Phaidon Press mengirimkannya gratis ke berbagai kepala negara, kepala
pemerintahan, pemimpin perusahaan, di seluruh dunia, maupun organisasi
nonpemerintah, pemikir, juga duta besar dengan harapan mereka belajar tentang
dampak dari berbagai keputusan yang mereka buat.
“Saya kaget ketika Inferno ternyata mendapat perhatian besar,” kata Nachtwey.
Reaksi dari berbagai pemimpin dunia menyakinkan mereka bahwa gambar-gambar itu
berpengaruh. Lebih mengagetkan lagi ternyata edisi pertama Inferno habis
terjual dalam dua bulan.
“Orang ternyata menaruh perhatian. Orang ternyata ingin tahu substansi,” kata
Nachtwey. Kenyataan ini membuktikan bahwa orang ternyata peduli dengan masalah
kemanusiaan, perang, kelaparan, dan pembunuhan massal. Kenyataan ini
membuktikan orang bukan hanya peduli pada hiburan dan segala yang glamor.
JAMES Nachtwey lahir 1948 di Syracuse, negara
bagian New York,
tapi besar dan sekolah di Massachussette, Amerika Serikat. Negara bagian ini
terkenal karena dianggap sebagai daerah dengan tradisi intelektual yang kuat di
Amerika Serikat.
Massachussette didirikan para imigran asal Inggris pada awal abad ke-17.
Revolusi kemerdekaan Amerika Serikat bahkan dimulai dari Boston, ibukota
Massachussette, pada 1773, ketika para penghuni koloni ini menolak membayar
pajak pada Kerajaan Inggris.
Massachusette punya banyak perguruan tinggi, salah satunya adalah Darmouth College, di mana Nachtwey belajar ilmu
politik. Masa kuliah Nachtwey banyak dibentuk oleh gerakan anti-Perang Vietnam. Dia
mengetahui banyak hal buruk tentang perang itu lewat foto-foto medan peperangan.
Saat itulah nama-nama besar dalam jurnalisme muncul lewat Perang Vietnam: David
Halberstam dan Neil Sheehan dari The New York Times, Peter Arnett dari United
Press Service, Robert Capa dari Magnum, dan sebagainya.
Ketika lulus 1972, Nachtwey memutuskan ingin jadi wartawan perang. Selama dua
tahun di Boston dan New York, dia belajar sendiri. Dia termasuk
orang yang percaya bahwa fotografer adalah salah satu profesi yang membantu
menghentikan Perang Vietnam.
“Nachtwey dilahirkan dari kelas pekerja, mungkin karena itu perasaannya cepat
tersentuh dengan masalah sosial,” kata Zamira Loebis dari Time.
“Saya menyewa sebuah kamar gelap untuk berlatih. Saya melihat buku-buku foto,
saya melihat pameran. Saya kira penting sekali untuk mengamati karya fotografer
lain. Saya mencoba mendekonstruksi karya fotografer yang baik dan mencoba
mengerti proses kreatifnya,” kata Nachtwey.
“Saya tak punya uang untuk membeli buku sehingga saya sering membaca di toko
buku. Saya sering kembali ke toko buku yang sama untuk mengamati buku yang
sama. Ini semacam universitas gratis.”
Pada 1976 Nachtwey bekerja di sebuah suratkabar kecil di New Mexico. Dia menganggapnya sebagai
latihan. Empat tahun di sana Nachtwey pindah ke New York dan bergabung
dengan agen foto Black Star. Liputan perang pertamanya adalah pertikaian
Irlandia Utara pada 1981. Cita-cita Nachtwey jadi wartawan perang dimulai.
Hampir semua negara yang mengalami perang, bencana kelaparan, dan problem
sosial lain pernah diliputnya: El Salvador, Nikaragua, Guatemala, Lebanon, West
Bank dan Gaza, Israel, India, Sri Lanka, Afghanistan, Filipina, Korea Selatan,
Somalia, Sudan, Rwanda, Afrika Selatan, Rusia, Bosnia, Chechnya, Romania,
Brazil, dan Amerika Serikat.
Pada 1986 Nachtwey bergabung dengan Magnum, sebuah koperasi fotografer yang
tergolong sangat bergengsi. Anggotanya tak banyak, tak lebih dari 50 orang, dan
keanggotaan barunya harus melalui persetujuan anggota lama.
“Saya sudah tujuh atau delapan kali ke Indonesia sejak 1997. Ketika
Soeharto digulingkan saya juga di sini. Proses demokratisasi dimulai. Padahal
negara ini sebuah negara yang kurang begitu terbiasa dengan praktik demokrasi.
Hingga kini proses itu masih berlanjut.”
Pekerjaan Nachtwey berbahaya. “Saya pernah dipukul polisi, disergap tentara,
terkena ranjau, dijadikan sasaran tembak, sulit menghitungnya,” katanya. Di
Jakarta pada akhir 1998 dia dipukul polisi sehingga bibirnya pecah, berdarah.
Tapi sehari sesudah itu Nachtwey kembali ke lapangan.
Satu ketika Nachtwey bersama sekelompok wartawan jadi sasaran tembak di Afrika
Selatan. Nachtwey membantu temannya Ken Oosterbroek yang tertembak. Sebuah
peluru menyerempet Nachtwey sehingga sejumput rambutnya rontok. Oosterbroek
sendiri luka parah tapi nyawanya tertolong.
Tantyo Bangun, fotografer yang pernah kerja buat majalah Matra, juga pernah
mendampingi Nachtwey memotret di Kawah Ijen, daerah tambang belerang di dekat
Jember dan Bondowoso, di timur Pulau Jawa.
“Selama tiga hari dia ikutin pekerja tambang itu di kawah, tanpa pakai masker
dan hanya mengenakan secarik kain seperti pekerja itu. Itu jelas sangat
berbahaya buat paru-paru, tapi dia ingin merasakan hal yang sama dengan
subyeknya,” kata Tantyo Bangun.
“Orang pake masker aja megap-megap apalagi nggak pake? Emang dia itu gila kalo
kerja tapi kalo selesai kerja, James berubah total jadi manusia paling lembut
di dunia. Yang jelas dia itu total sekali sama kerjanya. Kalau udah kerja tidak
ada kompromi, kata Bangun.
Tapi Nachtwey juga tahu bagaimana bersantai sembari menunggu berita. Zamira
Loebis ingat sewaktu meliput sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1998. Sambil
menunggu sidang, para awak Time, termasuk Nachtwey, sibuk bermain game dari
telepon seluler mereka. “Nachtwey selalu menjadi pemenang dalam game tersebut,”
kata Loebis.
Ketika bertemu kami Juli lalu, Nachtwey mengatakan dia baru mundur dari Magnum
dan September ini bermaksud memperkenalkan sebuah agen foto baru. Namanya VII
–angka tujuh dalam karakter Romawi.
“Saya merasa Magnum kurang responsif dengan kebutuhan-kebutuhan saya. Magnum
sudah jadi sebuah perusahaan besar,” kata Nachtwey. VII didirikan oleh Nachtwey
dan enam orang fotografer rekannya antara lain John Stanmeyer dan Ron Habib.
Mereka bakal bekerja lewat internet, memberikan kemudahan pada orang untuk
download foto mereka dari internet, walau ada seorang manajer yang bakal
bekerja di sebuah kantor kecil di Paris.
Mengapa namanya VII?
“Karena jumlah kami tujuh, dan kami suka angka tujuh,” kata Nachtwey,
tersenyum.*