GUBUK-gubuk
kayu tampak berjajar di sepanjang kiri jalan di desa Cibrek, kecamatan Simpang
tiga, kabupaten Pidie. Kebanyakan bentuk dan warna gubuk itu serupa; kecil,
hitam, dan berdiri di tanah laut yang gersang. Orang menyebut kawasan ini
Lancang. Sebutan yang berasal dari bahasa Aceh, yang artinya gubuk.
Ada sekitar 70
gubuk di area seluas 27,7 hektare ini. Berdasarkan data perkembangan garam
rakyat di kabupaten Pidie, tercatat 162 tenaga kerja di tempat itu. Data ini
dikeluarkan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal Kabupaten Pidie
pada tahun 2007.
Lancang memang
kawasan penghasil garam terbesar di Pidie dengan hasil per tahun sebanyak
989,82 ton garam jemur dan 945 ton garam
masak.
Sore menjelang
malam di penghujung Mei 2008 lalu, desa Cibrek terlihat sepi, hanya ada seorang
lelaki yang masih bekerja menggerakkan garunya untuk meratakan pasir laut yang
sengaja disebarkan di atas permukaan tanah padat. Tak jauh dari tempatnya berdiri terdapat
banyak gundukan pasir yang menunggu diratakan olehnya.
“Ini buat stok
kerja besok,” ujar Bashariah Daud kepada saya.
Dia kemudian
mengajak saya duduk di balai mini di depan gubuk pembuatan garamnya.
Sambil
membakar sebatang rokok dia menjelaskan kepada saya apa saja persiapan untuk menjadi
petani garam. Pertama-tama, dia membuat gubuk yang berfungsi sebagai dapur untuk
memasak garam. Setelah itu dia membeli drum minyak besar yang dibelahnya
menjadi dua untuk dijadikan wadah memasak garam.
“Saya punya
dua drum, jadi kalau dibelah berarti ada empat,” ujar Bashariah, seraya tersenyum lembut.
Dia mengatakan
bahwa bahan pokok untuk menjalankan usahanya itu adalah kayu. Proses memasak
garam membutuhkan banyak kayu. Sehingga dia harus memiliki stok kayu dalam jumlah
besar. Kala itu hujan sering mengguyur kawasan Lancang, sehingga sulit menyimpan
dan mendapatkan kayu kering untuk tungku.
Kayu yang
digunakan petani garam sebagai bahan bakar merupakan sisa pembuangan dari panglong
(tempat pengolahan) kayu, yaitu ranting dan kayu yang tidak dapat dibentuk menjadi perabot.
Walau kayu sisa, tetap saja tak mudah memperolehnya. Sejak moratorium logging
berlaku, pemerintahan Aceh melarang siapa pun menebang pohon di hutan Aceh.
Akibatnya tempat pengolahan kayu pun tidak mudah mendapatkan kayu dan
rentetannya, sisa-sisa kayu pasti tak ada. Faktor ini makin menyulitkan petani
garam memperoleh kayu bakar. Jenis kayu lain, seperti batang kelapa, tidak mereka
gunakan karena api yang dihasilkan kayu kelapa kurang menyala.
Bashariah
berhenti sejenak. Tatapannya jauh ke depan. Sambil terus menghisap rokok, tiba-tiba dia kembali berbicara. Kali
ini bernada protes.
“Siap tsunami
kita berubah sedikit di segi ekonomi. Lebih buruk. Kamoe jra (kami jera)!”
keluhnya.
Harga garam sangat
rendah, tapi pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang membuat harga
segala jenis barang melonjak.
“Barang lain
sudah naik dari kemarin. Kami bukannya naik, tapi malah turun,” katanya.
Dulu harga
garam Rp 1.500 per bambu, sekarang Rp 1.200 per bambu. Satu bambu kurang lebih berisi
satu kilogram garam. Bambu merupakan
ukuran tradisional Aceh yang masih kerap dipakai sebagian masyarakat.
Kenaikan BBM
membuat harga kayu ikut naik. Sebelum BBM naik, harga kayu bakar sebanyak satu bak
mobil pikap Rp 160 ribu sampai Rp 170 ribu. Sekarang harga kayu Rp 200 ribu per pikap.
Stok kayu
tersebut hanya bertahan lima hari jika dia memasak garam dua kali sehari,
dengan hasil 60 bambu garam per hari.
Bashariah tidak
bisa menaikkan harga garamnya, karena khawatir pelanggannya beralih ke garam
produksi luar daerah yang harganya lebih terjangkau.
“Kebutuhan
kita cuma kayu aja. Minyak disiram dikit
aja cukup untuk pancingan api. Sehari-hari kadang berutang, tapi kalau ada
koperasi kan enak,” tuturnya.
Koperasi
sempat berdiri di Cibrek. Manajemen yang buruk dan konflik politik antara
pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang memanas waktu itu membuat koperasi
itu berhenti beraktivitas.
“Waktu itu ada
warga marah. Siapa yang memegang sendok
itu yang banyak makan. Misalnya saya ketua koperasi, saya yang banyak makan,
bukannya memelihara masyarakat anggota koperasi. Itu kejadiannya sebelum
tsunami dan orangnya pun sudah meninggal. Sejak itu koperasi bubar,” katanya.
Perkumpulan atau organisasi petani garam juga
tidak ada di Cibrek, padahal desa itu adalah desa penghasil garam terbesar di
kabupaten Pidie. Sekitar 60 persen garam jemur merupakan produksi Cibrek dan
Cibrek juga produsen garam masak terbesar di kabupaten ini.
“Yang kita mau
seharusnya di sini ada industri garam. Kan jadi orang itu bisa dikasih
pengarahan. Sebelumnya pernah dilatih sama orang Madura, bukan pemerintah tapi
industri. Tapi bukan garam masak kayak kita, tapi garam jemur. Soalnya di Madura
kan airnya beda dengan kita, di sana paling asin. Airnya bisa langsung
diambil tanpa pakai tanah bisa langsung
jadi garam,” tutur Bashariah.
Selain
prosesnya yang lama, resiko garam jemur juga besar. Jika hujan mendadak turun,
maka garam tersebut akan rusak. Ulah binatang pada malam hari juga dapat
mengganggu proses ini. Akhirnya, orang lebih suka membuat garam masak. Meski
membutuhkan modal besar untuk membeli kayu, tapi hasilnya cepat dicapai dan risiko
kerusakan sangat kecil.
“Kalaupun
hujan, kita bisa masak juga karena kita punya simpanan tanah. Macam orang simpan
padi. Yang susah kalau tanahnya habis dan masih hujan, jadi kita ndak bisa
kerja lagi. Ya, kita cari kerja tempat
lain,” ujarnya sambil terseyum.
Proses
pembuatan garam masak sangat unik. Media yang digunakan untuk mengambil sari
pati garam adalah pasir laut yang disebarkan di atas tanah lapang. Dekat dari
tempat tersebut terdapat semacam irigasi yang airnya berasal dari laut. Irigasi
itu bukan untuk menyuplai air ke lahan mereka, melainkan untuk menampung air
laut di petak-petak lahan yang nampak mirip sawah itu.
Air laut dalam
irigasi akan menyebar ke lahan-lahan kosong, lalu menguap jadi sari pati garam.
Tanah yang menampung sari pati garam tersebut dimasukkan ke dalam bak terbuka.
Air asin lantas dituangkan ke dalam bak itu, sehingga sari pati terurai dan
terpisah dari tanah. Selanjutnya, sari pati garam dialirkan ke bak penampungan.
DI dalam gubuk
itu tepatnya di bagian belakang terdapat tumpukan tanah kuning keputih-putihan
dengan tekstur kaku dan rapuh jika disentuh.
“Nah ini sudah
asin. Warnanya sama, tapi keras. Kalau yang di luar tadi ampas, nanti ampas itu
bisa dilemparkan lagi,” tutur Basyariah.
Kemudian dia
melangkah mendekati bak penampungan air sari pati garam.
“Nah, kalau
ini ukuran dia, ukuran air. Misalnya kayak gini timbul itu (pertanda) sudah
asin airnya,” katanya, sambil memasukkan bola hitam kecil yang diikat nilon menyerupai pancing ikan.
“Kalau
misalnya barang ini jatuh ke bawah-bawah terus, itu artinya airnya sudah tawar,
sudah kurang asin,” jelasnya.
“Kalau orang Aceh
bilang ini malo,” ujarnya.
Dia menceritakan
bahwa semula malo berbentuk segi empat
kemudian dibalut ke dalam kain
dan dimasukkan ke dalam air asin. Setelah teksturnya berubah dan menjadi lembek,
malo tersebut dibentuk seperti bola.
“Kita giniin
aja biar bulat dia, macam bikin boh rom-rom (kue kelepon),” ujarnya.
Bashariah mengajak saya menuju gubuk di sebelah
kanan lahannya.
Gubuk tetangganya
tak jauh berbeda dengan gubuk Bashariah. Bedanya sore itu tungku di gubuk
tetangganya masih menyala. Butiran garam sudah terbentuk sempurna di wadah yang
terbuat dari drum minyak. Air sari pati garam yang masih tersisa sedikit di
atas sedimen garam terlihat meletup-letup bagai lahar gunung berapi.
Bashariah
berdiri agak jauh dari tunggu sembari memperhatikan saya. Terkadang dia
berteriak memperingatkan saya agar jangan terlalu dekat dengan wadah pemasak
garam itu.
“Tidak pernah
tengok ya,” kata perempuan yang tiba-tiba sudah berdiri di dekat Bashariah. Dia
adalah pemilik gubuk itu. Namanya Salamah.
“Jangan dekat
itu dek, panas,” ujarnya, ketika saya
melongokkan kepala untuk mengintip garam yang hampir masak sempurna.
“Saya sudah
jadi petani garam sejak kecil,” ujarnya. Dia juga mengeluhkan kenaikan BBM yang
berimbas pada kenaikan harga kayu bakar.
Salamah mudah terbuka
pada orang yang baru dikenal. Tiap mengakhiri perkataannya, dia tersenyum dan kadang
tertawa lepas.
Salamah
berencana menaikkan harga garam ke posisi harga semula, sebelum BBM naik,
yaitu, Rp1.500 rupiah. Alasannya, barang lain saja bisa lebih mahal mengapa harga
garam yang turun itu tidak didongkrak ke posisi semula.
Namun, rencana
itu pupus ketika Bashariah berkata bahwa
dia tidak mempertimbangkan lagi harga, yang penting datang mugee (pedagang)
yang membeli garam mereka. Dapat uang, beli beras. Habis pekara.
“Mau bilang
apa kita kalau tidak orang-orang besar itu, penjabat-penjabat kan harus melihat
kita petani garam susah begini. Orang itu seharusnya turun ke lapangan cek
bagaimana keadaan. Sekarang tidak ada,” tutur Bashariah.
“Pemerintah
belum bantu kita,” kata Salamah, menimpali kata-kata Bashariah.
Mereka sempat
memperoleh bantuan gubuk dari sebuah lembaga swadaya lokal yang berbasis di Medan.
Itu pascatsunami. Tapi mereka tidak ingat lagi nama lembaga tersebut.
Koalisi
Perempuan Indonesia atau KPI yang berkantor cabang di Banda Aceh ikut memberi
bantuan kepada para petani garam Cibrek. Setiap kelompok yang dibantu terdiri
dari lima perempuan.
“Bentuknya
simpan-pinjam. Misal kita pinjam Rp 500 ribu, satu bulan kita cicil Rp 55 ribu.
Kami ambil itu untuk beli kayu. Ini sudah jalan lima bulan. Nanti setahun baru lunas. Gimana mau ada simpanan,
beli kayu aja kita ngutang,” tutur Salamah, kemudian tertawa lepas.
KEESOKAN
harinya saya bertemu dengan Zukhri Mauliddinsyah Adan, wakil panitia legislasi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pidie.
Kami berbicara
panjang tentang kenaikan BBM dan Bantuan Tunai Langsung untuk membantu
masyarakat miskin.
“Kita sudah
lihat mereka sangat layak mendapatkan bantuan tunai langsung tapi apakah cukup
bantuan yang diberikan. Kenapa pemerintah tidak berfikir tempat petani garam,
kemudian membeli produksi, membuat semacam koperasi untuk membeli hasil petani
garam. Kemudian pemerintah hari ini juga
harus membuat kerja sama dengan perusahaan, PT (Perseroan terbatas) misalnya,
yang ada di Aceh atau pun di luar untuk membawa garam hasil produsksi kita
keluar. Itu belum dijalani,” ujarnya.
Kemudian dia
juga mengatakan bahwa dalam menstabilkan harga barang yang melonjak tinggi tadi
pemerintah punya kewenangan kuat.
“Dia kan punya
kekuasaan. Dia boleh melakukan proses penstabilan harga. Kenapa itu tidak
dilakukan? Harga besi kenapa bisa naik? Kenapa pemerintah tidak melakukan
intervensi sejauh itu? Misalnya, kenaikan minyak. Sebelum minyak naik
masyarakat sudah membeli minyak seharga delapan sampai tujuh ribu (rupiah, per
liter). Itu enam hari yang lalu berdasarkan berita di Waspada
(suratkabar yang terbit di Aceh dan berkantor pusat di Medan). Kenapa itu bisa
terjadi,” tuturnya.
Di tempat terpisah, Kepala Seksi Pendaftaran
Dinas Perindustran Perdagangan dan Penanaman Modal Kabupaten Pidie, Syafruddin,
mengatakan bahwa selama ini memang belum membuat program khusus yang berkaitan
dengan pengelolaan pemasaran dan pelatihan untuk petani garam.
“Karena
produksi garam itu industri rumah tangga. Kita lihat saja pondoknya kecil. Satu
pondok menghasilkan sekitar 60 kilo (gram). Jadi saya rasa tidak perlu
manajemen yang gimana gitu. Paling nanti bawa ke pasar atau datang pembeli ke
situ,” tuturnya kepada saya.
Dia mengatakan dulu ada tiga
usaha garam yodium di kabupaten Pidie, kemudian berhenti produksi karena
sulit menjual hasil produksinya. Hal itu dikarenakan garam masak lebih diminati
penduduk setempat.
“Dulu salah
satu perusahaan garam yodium besar di sini, namanya PT Lancang Sira tempatnya
di Blang Paseh, akhirnya terpaksa tutup karena masyarakat sendiri kurang
berminat dengan garam yodium. Jadi sekarang gedungnya tidak ada lagi. Itu pun
untuk pembuatan garam yodium di sini barang bakunya kurang. Bahkan dipasok dari
Madura. Karena lebih bagus, murah, dan lebih asin,” ujarnya.***
*) Novia Liza adalah kontributor
Pantau Aceh Feature Service di Aceh. Dia mahasiswa Institut Agama Islam Negeri
Ar Raniry, Banda Aceh.