BERANDA
LIPUTAN
PROGRAM
MAJALAH
PROFIL
Bertahan di Lancang
Novia Liza
Sat, 28 June 2008
Lancang merupakan kawasan penghasil garam rakyat terbesar di Pidie. Ketika harga BBM naik, harga garam justru turun. Bagaimana nasib para petani garam di Lancang?

GUBUK-gubuk kayu tampak berjajar di sepanjang kiri jalan di desa Cibrek, kecamatan Simpang tiga, kabupaten Pidie. Kebanyakan bentuk dan warna gubuk itu serupa; kecil, hitam, dan berdiri di tanah laut yang gersang. Orang menyebut kawasan ini Lancang. Sebutan yang berasal dari bahasa Aceh, yang artinya gubuk.

Ada sekitar 70 gubuk di area seluas 27,7 hektare ini. Berdasarkan data perkembangan garam rakyat di kabupaten Pidie, tercatat 162 tenaga kerja di tempat itu. Data ini dikeluarkan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal Kabupaten Pidie pada tahun 2007.

Lancang memang kawasan penghasil garam terbesar di Pidie dengan hasil per tahun sebanyak 989,82 ton  garam jemur dan 945 ton garam masak.

Sore menjelang malam di penghujung Mei 2008 lalu, desa Cibrek terlihat sepi, hanya ada seorang lelaki yang masih bekerja menggerakkan garunya untuk meratakan pasir laut yang sengaja disebarkan di atas permukaan tanah padat.  Tak jauh dari tempatnya berdiri terdapat banyak gundukan pasir yang menunggu diratakan olehnya.

“Ini buat stok kerja besok,” ujar Bashariah Daud kepada saya.

Dia kemudian mengajak saya duduk di balai mini di depan gubuk pembuatan garamnya.

Sambil membakar sebatang rokok dia menjelaskan kepada saya apa saja persiapan untuk menjadi petani garam. Pertama-tama, dia membuat gubuk yang berfungsi sebagai dapur untuk memasak garam. Setelah itu dia membeli drum minyak besar yang dibelahnya menjadi dua untuk dijadikan wadah memasak garam.

“Saya punya dua drum, jadi kalau dibelah berarti ada empat,”  ujar Bashariah, seraya tersenyum lembut.

Dia mengatakan bahwa bahan pokok untuk menjalankan usahanya itu adalah kayu. Proses memasak garam membutuhkan banyak kayu. Sehingga dia harus memiliki stok kayu dalam jumlah besar. Kala itu hujan sering mengguyur kawasan Lancang, sehingga sulit menyimpan dan mendapatkan kayu kering untuk tungku.

Kayu yang digunakan petani garam sebagai bahan bakar merupakan sisa pembuangan dari panglong (tempat pengolahan) kayu, yaitu ranting dan  kayu yang tidak dapat dibentuk menjadi perabot. Walau kayu sisa, tetap saja tak mudah memperolehnya. Sejak moratorium logging berlaku, pemerintahan Aceh melarang siapa pun menebang pohon di hutan Aceh. Akibatnya tempat pengolahan kayu pun tidak mudah mendapatkan kayu dan rentetannya, sisa-sisa kayu pasti tak ada. Faktor ini makin menyulitkan petani garam memperoleh kayu bakar. Jenis kayu lain, seperti batang kelapa, tidak mereka gunakan karena api yang dihasilkan kayu kelapa kurang menyala.

Bashariah berhenti sejenak. Tatapannya jauh ke depan. Sambil terus menghisap  rokok, tiba-tiba dia kembali berbicara. Kali ini bernada protes.

“Siap tsunami kita berubah sedikit di segi ekonomi. Lebih buruk. Kamoe jra (kami jera)!” keluhnya.

Harga garam sangat rendah, tapi pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang membuat harga segala jenis barang melonjak.

“Barang lain sudah naik dari kemarin. Kami bukannya naik, tapi malah turun,” katanya.

Dulu harga garam Rp 1.500 per bambu, sekarang Rp 1.200 per bambu. Satu bambu kurang lebih berisi satu kilogram garam.  Bambu merupakan ukuran tradisional Aceh yang masih kerap dipakai sebagian masyarakat.

Kenaikan BBM membuat harga kayu ikut naik. Sebelum BBM naik, harga kayu bakar sebanyak satu bak mobil pikap Rp 160 ribu sampai Rp 170 ribu. Sekarang harga kayu  Rp 200 ribu per pikap.

Stok kayu tersebut hanya bertahan lima hari jika dia memasak garam dua kali sehari, dengan hasil 60 bambu garam per hari.

Bashariah tidak bisa menaikkan harga garamnya, karena khawatir pelanggannya beralih ke garam produksi luar daerah yang harganya lebih terjangkau.

“Kebutuhan kita cuma  kayu aja. Minyak disiram dikit aja cukup untuk pancingan api. Sehari-hari kadang berutang, tapi kalau ada koperasi kan enak,” tuturnya.

Koperasi sempat berdiri di Cibrek. Manajemen yang buruk dan konflik politik antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang memanas waktu itu membuat koperasi itu berhenti beraktivitas.

“Waktu itu ada warga marah. Siapa yang  memegang sendok itu yang banyak makan. Misalnya saya ketua koperasi, saya yang banyak makan, bukannya memelihara masyarakat anggota koperasi. Itu kejadiannya sebelum tsunami dan orangnya pun sudah meninggal. Sejak itu  koperasi bubar,” katanya.

Perkumpulan atau organisasi petani garam juga tidak ada di Cibrek, padahal desa itu adalah desa penghasil garam terbesar di kabupaten Pidie. Sekitar 60 persen garam jemur merupakan produksi Cibrek dan Cibrek juga produsen garam masak terbesar di kabupaten ini.

“Yang kita mau seharusnya di sini ada industri garam. Kan jadi orang itu bisa dikasih pengarahan. Sebelumnya pernah dilatih sama orang Madura, bukan pemerintah tapi industri. Tapi bukan garam masak kayak kita, tapi garam jemur. Soalnya di Madura kan airnya beda dengan kita, di sana paling asin. Airnya bisa langsung diambil  tanpa pakai tanah bisa langsung jadi garam,” tutur Bashariah.

Selain prosesnya yang lama, resiko garam jemur juga besar. Jika hujan mendadak turun, maka garam tersebut akan rusak. Ulah binatang pada malam hari juga dapat mengganggu proses ini. Akhirnya, orang lebih suka membuat garam masak. Meski membutuhkan modal besar untuk membeli kayu, tapi hasilnya cepat dicapai dan risiko kerusakan sangat kecil.

“Kalaupun hujan, kita bisa masak juga karena kita punya simpanan tanah. Macam orang simpan padi. Yang susah kalau tanahnya habis dan masih hujan, jadi kita ndak bisa kerja lagi. Ya,  kita cari kerja tempat lain,” ujarnya sambil terseyum.

Proses pembuatan garam masak sangat unik. Media yang digunakan untuk mengambil sari pati garam adalah pasir laut yang disebarkan di atas tanah lapang. Dekat dari tempat tersebut terdapat semacam irigasi yang airnya berasal dari laut. Irigasi itu bukan untuk menyuplai air ke lahan mereka, melainkan untuk menampung air laut di petak-petak lahan yang nampak mirip sawah itu.

Air laut dalam irigasi akan menyebar ke lahan-lahan kosong, lalu menguap jadi sari pati garam. Tanah yang menampung sari pati garam tersebut dimasukkan ke dalam bak terbuka. Air asin lantas dituangkan ke dalam bak itu, sehingga sari pati terurai dan terpisah dari tanah. Selanjutnya, sari pati garam dialirkan ke bak penampungan.


DI dalam gubuk itu tepatnya di bagian belakang terdapat tumpukan tanah kuning keputih-putihan dengan tekstur kaku dan rapuh jika disentuh.

“Nah ini sudah asin. Warnanya sama, tapi keras. Kalau yang di luar tadi ampas, nanti ampas itu bisa dilemparkan lagi,” tutur Basyariah.

Kemudian dia melangkah mendekati bak penampungan air sari pati garam.

“Nah, kalau ini ukuran dia, ukuran air. Misalnya kayak gini timbul itu (pertanda) sudah asin airnya,” katanya, sambil memasukkan bola hitam kecil yang diikat  nilon menyerupai pancing ikan.

“Kalau misalnya barang ini jatuh ke bawah-bawah terus, itu artinya airnya sudah tawar, sudah kurang asin,” jelasnya.

“Kalau orang Aceh bilang ini malo,” ujarnya.

Dia menceritakan bahwa semula malo berbentuk segi empat  kemudian  dibalut ke dalam kain dan dimasukkan ke dalam air asin. Setelah teksturnya berubah dan menjadi lembek, malo tersebut dibentuk seperti bola.

“Kita giniin aja biar bulat dia, macam bikin boh rom-rom (kue kelepon),” ujarnya.

 Bashariah mengajak saya menuju gubuk di sebelah kanan lahannya.

Gubuk tetangganya tak jauh berbeda dengan gubuk Bashariah. Bedanya sore itu tungku di gubuk tetangganya masih menyala. Butiran garam sudah terbentuk sempurna di wadah yang terbuat dari drum minyak. Air sari pati garam yang masih tersisa sedikit di atas sedimen garam terlihat meletup-letup bagai lahar gunung berapi.

Bashariah berdiri agak jauh dari tunggu sembari memperhatikan saya. Terkadang dia berteriak memperingatkan saya agar jangan terlalu dekat dengan wadah pemasak garam itu.

“Tidak pernah tengok ya,” kata perempuan yang tiba-tiba sudah berdiri di dekat Bashariah. Dia adalah pemilik gubuk itu. Namanya Salamah.

“Jangan dekat itu dek, panas,” ujarnya,  ketika saya melongokkan kepala untuk mengintip garam yang hampir masak sempurna.

“Saya sudah jadi petani garam sejak kecil,” ujarnya. Dia juga mengeluhkan kenaikan BBM yang berimbas pada kenaikan harga kayu bakar.

Salamah mudah terbuka pada orang yang baru dikenal. Tiap mengakhiri perkataannya, dia tersenyum dan kadang tertawa lepas.

Salamah berencana menaikkan harga garam ke posisi harga semula, sebelum BBM naik, yaitu, Rp1.500 rupiah. Alasannya, barang lain saja bisa lebih mahal mengapa harga garam yang turun itu tidak didongkrak ke posisi semula.

Namun, rencana  itu pupus ketika Bashariah berkata bahwa dia tidak mempertimbangkan lagi harga, yang penting datang mugee (pedagang) yang membeli garam mereka. Dapat uang, beli beras. Habis pekara.

“Mau bilang apa kita kalau tidak orang-orang besar itu, penjabat-penjabat kan harus melihat kita petani garam susah begini. Orang itu seharusnya turun ke lapangan cek bagaimana keadaan. Sekarang tidak ada,” tutur Bashariah.

“Pemerintah belum bantu kita,” kata Salamah, menimpali kata-kata Bashariah.

Mereka sempat memperoleh bantuan gubuk dari sebuah lembaga swadaya lokal yang berbasis di Medan. Itu pascatsunami. Tapi mereka tidak ingat lagi nama lembaga tersebut.

Koalisi Perempuan Indonesia atau KPI yang berkantor cabang di Banda Aceh ikut memberi bantuan kepada para petani garam Cibrek. Setiap kelompok yang dibantu terdiri dari lima perempuan.

“Bentuknya simpan-pinjam. Misal kita pinjam Rp 500 ribu, satu bulan kita cicil Rp 55 ribu. Kami ambil itu untuk beli kayu. Ini sudah jalan lima bulan. Nanti  setahun baru lunas. Gimana mau ada simpanan, beli kayu aja kita ngutang,” tutur Salamah, kemudian tertawa lepas.


KEESOKAN harinya saya bertemu dengan Zukhri Mauliddinsyah Adan, wakil panitia legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pidie.

Kami berbicara panjang tentang kenaikan BBM dan Bantuan Tunai Langsung untuk membantu masyarakat miskin.

“Kita sudah lihat mereka sangat layak mendapatkan bantuan tunai langsung tapi apakah cukup bantuan yang diberikan. Kenapa pemerintah tidak berfikir tempat petani garam, kemudian membeli produksi, membuat semacam koperasi untuk membeli hasil petani garam. Kemudian  pemerintah hari ini juga harus membuat kerja sama dengan perusahaan, PT (Perseroan terbatas) misalnya, yang ada di Aceh atau pun di luar untuk membawa garam hasil produsksi kita keluar. Itu belum dijalani,” ujarnya.

Kemudian dia juga mengatakan bahwa dalam menstabilkan harga barang yang melonjak tinggi tadi pemerintah punya kewenangan kuat.

“Dia kan punya kekuasaan. Dia boleh melakukan proses penstabilan harga. Kenapa itu tidak dilakukan? Harga besi kenapa bisa naik? Kenapa pemerintah tidak melakukan intervensi sejauh itu? Misalnya, kenaikan minyak. Sebelum minyak naik masyarakat sudah membeli minyak seharga delapan sampai tujuh ribu (rupiah, per liter). Itu enam hari yang lalu berdasarkan berita di Waspada (suratkabar yang terbit di Aceh dan berkantor pusat di Medan). Kenapa itu bisa terjadi,” tuturnya.

Di  tempat terpisah, Kepala Seksi Pendaftaran Dinas Perindustran Perdagangan dan Penanaman Modal Kabupaten Pidie, Syafruddin, mengatakan bahwa selama ini memang belum membuat program khusus yang berkaitan dengan pengelolaan pemasaran dan pelatihan untuk petani garam.

“Karena produksi garam itu industri rumah tangga. Kita lihat saja pondoknya kecil. Satu pondok menghasilkan sekitar 60 kilo (gram). Jadi saya rasa tidak perlu manajemen yang gimana gitu. Paling nanti bawa ke pasar atau datang pembeli ke situ,” tuturnya kepada saya.

Dia mengatakan  dulu ada tiga  usaha garam yodium di kabupaten Pidie, kemudian berhenti produksi karena sulit menjual hasil produksinya. Hal itu dikarenakan garam masak lebih diminati penduduk setempat.

“Dulu salah satu perusahaan garam yodium besar di sini, namanya PT Lancang Sira tempatnya di Blang Paseh, akhirnya terpaksa tutup karena masyarakat sendiri kurang berminat dengan garam yodium. Jadi sekarang gedungnya tidak ada lagi. Itu pun untuk pembuatan garam yodium di sini barang bakunya kurang. Bahkan dipasok dari Madura. Karena lebih bagus, murah, dan lebih asin,” ujarnya.***


*) Novia Liza adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Aceh. Dia mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry,  Banda Aceh.

kembali keatas
Kursus Narasi XVIII
FacebookTwitter