BERANDA
LIPUTAN
PROGRAM
MAJALAH
PROFIL
Lelaki dengan Tiga Kepala
Mustawalad
Tue, 17 June 2008

Kisah tentang petugas kamar mayat di Aceh Tengah. Ia mengevakuasi dan menguburkan korban konflik maupun korban tsunami.

 

SEORANG lelaki setengah baya mengenakan topi  dengan tulisan “PMI”. Ia  tampak memindahkan  empat bungkusan hijau dari ambulan jenazah itu ke ranjang yang biasa digunakan untuk membaringkan mayat. Masing-masing dua bungkusan untuk tiap ranjang.  Tali plastik hitam melingkari ujung-ujung tiap bungkusan itu, sedang tali plastik hijau membebat bagian tengahnya. Mirip dodol-dodol raksasa.

Nama lelaki itu kuketahui kemudian: Muhammad Saheh. Selain dia, ada dua lelaki lain di ruangan tersebut.

Lelaki kedua tatapannya tak lepas dari bungkusan di ranjang. Wajahnya murung. Ia adalah abang kandung Ramlan, salah seorang korban tragedi Atu Lintang. Ramlan anggota Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi mantan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka. Ia dibakar hidup-hidup oleh massa di Atu Lintang, Aceh Tengah, sebagai buntut pertikaian sejumlah anggota KPA dan anggota milisi pro Indonesia, seperti Pembela Tanah Air atau PETA.

Peristiwa pembantaian itu terjadi pada tengah malam 29 Januari 2008.  Mereka yang berseberangan di masa konflik Aceh itu berebut mencari nafkah di lahan parkir terminal di masa damai.

Lelaki ketiga berusia setengah baya. Ia  mengenakan jas hitam, kopiah hitam dan kain sarung merah jambu yang dikalungkan di lehernya. Wajah lelaki ini juga terlihat muram. Ia membuka semua bungkusan tadi.

Tapi tak ada lagi wujud manusia dalam tiap bungkusan, melainkan seonggok arang yang menghitam. Ia ternyata paman korban yang bernama Selamat, anggota KPA yang  juga korban tragedi Atu Lintang.

Tingkah laku  mereka terekam dalam foto-foto hasil bidikan Win Ruhdi Bathin. Ia  wartawan Takengon yang bekerja untuk harian Rakyat Aceh.  Foto-foto itu menggambarkan suasana di kamar mayat  Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Datu Beru Takengon, Aceh Tengah, setelah peristiwa Atu Lintang

.

Ada yang menarik perhatianku ketika melihat foto-foto Win.  Sepertinya aku tak asing dengan sosok lelaki yang memakai topi dengan lambang PMI itu.

Aku mencoba mengingat-ingat lagi. Ya, lampu ingatanku pun menyala: aku kembali ke pertengahan tahun 2006.

Saat itu seorang temanku yang bernama Faisal memperlihatkan tumpukan foto yang menurutku menggambarkan kesadisan, kebiadaban, dan kekejian manusia. Aku menggelengkan kepala berkali-kali ketika melihat foto-foto yang diperlihatkan Faisal.

Foto-foto tadi merupakan rekaman kejadian di tahun 2001 hingga tahun 2004, di kabupaten Aceh Tengah, sewaktu kekerasan sedang marak-maraknya  terjadi di situ.

Ada mayat tanpa kepala, ada mayat yang sekujur tubuhnya penuh jahitan, ada mayat dengan kepala tapi kepalanya telah terpenggal  dan diletakkan di dadanya.  Semua mayat berjenis kelamin laki-laki.

Foto-foto itu sungguh vulgar dan bukan karya fotografer sekelas Tarmizi Harva, yang meraih penghargaan World Press Photo of The Year 2003 untuk fotonya tentang konflik Aceh.

Nah, dalam sejumlah foto itulah, aku menemukan lelaki dengan topi berlambang PMI tadi. Cara ia memegang kepala-kepala yang sudah terpisah dari tubuh itu mirip gaya tukang buah memegang semangka-semangka dagangannya. Tapi tak ada senyum di wajahnya.


PERTENGAHAN Mei 2008, aku  mengunjungi RSUD Datu Beru Takengon untuk menjenguk salah seorang saudaraku yang dirawat di situ. Tak sengaja, aku melihat lelaki setengah baya yang mirip laki-laki dalam foto yang diperlihatkan Faisal.

Rambutnya tampak tak disisir. Ia mengenakan kaos putih yang sudah lusuh.  Lelaki itu sedang melangkah keluar dari ruangan laundry, lalu membuang sesuatu ke tempat sampah. Aku memperhatikan gerak-geriknya dari koridor.

Setelah itu, aku mencari keterangan tentang dia dari seorang perawat yang kebetulan ada di situ.  Perawat itu memberitahuku namanya. Seorang pegawai lain di rumah sakit ini juga mengatakan bahwa ia  bertugas di kamar mayat.

Akhirnya aku berhasil berbicara langsung dengan Saheh. Ia tinggal di rumah dinas pegawai yang terletak di lingkungan rumah sakit ini.

Rumah sederhana. Di dalam rumah ada sederetan ayunan bayi. Kuhitung jumlahnya. Enam belas ayunan. Semula aku tak tahu apa fungsi ayunan bayi sebanyak itu, tapi nanti aku akan memperoleh jawabannya.

Kami kemudian bercakap-cakap di ruang muka yang berfungsi sebagai ruang tamu.

Saheh lahir pada 1 Januari 1954. Ayahnya, Bahrumsyah, pernah bergabung dengan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh Tengah, di bawah kepemimpinan Tengku Ilyas Leube. Bachrumsyah bertugas di bagian perbekalan.

Sekarang ini Saheh bekerja sebagai staf di bagian laundry RSUD Datu Beru Takengon, golongan II/C.  Selain itu, ia menjabat Kepala Ruang Mayat.

“Pada awalnya di rumah sakit ini tidak ada ruang mayatnya. Jika ada orang yang meninggal dari rungan perawatan  langsung dibawa ke alamat si mayat ,” katanya.

Saheh memperoleh pekerjaannya di rumah sakit tersebut secara kebetulan.

Pada 1980, istrinya Murniati dirawat inap di Datu Beru selama sebulan. Saheh menjaga istrinya siang-malam dan ia sering tertidur di ruang rawat inap karena kelelahan. Kesetiaan Saheh ini rupanya menarik perhatian
kepala rumah sakit yang saat itu dijabat oleh Dokter Soetrimo.

Suatu hari ia dipanggil Dokter Soetrimo dan ditanya, “Apa kamu mau bekerja?”

Tanpa menanyakan jenis pekerjaan yang ditawarkan, Saheh menjawab, “Bersedia, Pak.”

Tugas pertama Saheh adalah mencuci piring dan sendok di rumah sakit itu. Ia juga dapat tugas tambahan yakni membersihkan rumput di pinggir-pinggir luar lantai rumah sakit dan merawat bunga-bunga.

Gajinya tentu saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya pendidikan empat anaknya. Selain mengambil kredit di bank, istrinya membantu perekonomian keluarga ini dengan mengawasi dan mengasuh bayi-bayi para pekerja rumah sakit.  Kini aku paham mengapa banyak ayunan bayi bergantungan di rumah mereka.

Istri Saheh, Murniati, kadang-kadang melibatkan diri dalam perbincangan kami. Saheh tak pernah menyela apa yang dikatakan istrinya.


SEBELUM 1999, Saheh hanya mengurusi jenazah orang yang meninggal karena sakit, kecelakaan lalu-lintas,  dibunuh penjahat, atau bunuh diri.

Di tahun 1999, konflik dan kekerasan makin tinggi di Aceh Tengah, sebagai dampak perang antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.

Tugas Saheh semakin sulit. Ia mulai mengurus mayat-mayat korban pembunuhan politik. Ada yang ditemukannya di bawah jembatan, di pinggir pasar, di hutan, atau di kebun-kebun warga.

“Rata-rata  mayat yang saya temukan tidak utuh,” katanya.

“S
emua mayat itu meninggal karena dibunuh. Ada yang digorok, ada yang ditembak, tapi kebanyakan digorok,” lanjutnya.

Kemudian ia diam. Ia meraih selembar kertas rokok dari kantong plastik yang warna beningnya sudah berubah kekuningan. Dalam kantong itu terlihat kertas rokok dan tembakau. Kantong plastik ini sama seperti kantong plastik untuk membungkus gula pasir yang dijual di warung atau kedai.  Ia lantas menjumput  sedikit tembakau dengan ujung jari telunjuk dan jempolnya, melinting rokok, dan kemudian membakarnya.

Tiba-tiba ia bangkit dari tempat duduknya, menuju ke salah satu kamar. Tak lama kemudian, ia muncul dengan tiga album foto di tangan.

Album itu disodorkannya kepadaku. Semua foto yang pernah kulihat pada tahun 2006, ada dalam album ini.  Barangkali, foto-foto yang kulihat saat itu berasal dari lelaki ini, pikirku. Ia sama sekali tak ngeri melihat mayat dalam kondisi mengenaskan.

”Kita juga akhirnya akan menjadi mayat, jadi mengapa mesti takut,” jawabnya.

”Pernah suatu kali kami dengan tim PMI melakukan evakuasi terhadap dua mayat. Kepala kedua mayat itu telah terpisah dengan badannya. Aku agak kesulitan mengangkat kedua kepala mayat itu. Kalau aku pegang rambutnya, rambut  itu rontok, jadi aku letakkan  kedua kepala itu di kedua telapak tanganku. Sambil berjalan aku angkat kedua tanganku sebatas bahu. Jadilah aku seperti manusia yang memiliki kepala tiga,” katanya, terbahak. Ada nada bangga.


SEJAK bergabung sebagai relawan PMI,  tugasnya tak hanya menunggui jenazah di kamar mayat rumah sakit. Ia punya kerja tambahan. Bersama timnya, ia harus mengevakuasi mayat-mayat yang ditemukan di Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Namun, tidak semua mayat yang mereka temukan itu bisa dievakuasi ke rumah sakit. Beberapa kali kejadian, Saheh dan teman-temannya dari PMI langsung menguburkan mayat tersebut di tempat di mana ia ditemukan.

Alasannya ketika diangkat daging-daging mayat tersebut berjatuhan, sehingga tidak memungkinkan untuk dievakuasi dan dibawa ke rumah sakit. Menurut Saheh, salah satu pantangan ketika mengevakuasi mayat adalah meninggalkan salah satu bagian dari mayat dan tidak terbawa ke kuburannya.

Menurut Saheh, roh si mayat tidak tenang dan sering terdengar suara aneh di tempat kejadian itu kalau ada bagian tubuhnya yang tercecer.

Saheh juga minta izin kepada si mayat untuk dikuburkan di tempat itu.  Saheh biasanya mengucapkan kata-kata ini: “Nasibmu telah ditentukan oleh Allah, ikhlaslah menerima kenyataan  ini, kalau kamu baik tentu kamu akan menerima balasan yang setimpal dari amalmu dan begitu juga kalau kamu jahat, kamu juga akan menerima balasannya di hari kiamat kelak, jadi ikhlaslah menghadap Tuhanmu.”

Setelah mengucapkan kata seperti mantra tersebut, Saheh mulai menimbun mayat dengan tanah dan diikuti oleh anggota kelompoknya.

Menurut Saheh, mayat yang tidak dikuburkan sebagaimana mestinya, kerap akan menghubungi kerabatnya melalui mimpi dan meminta untuk dikuburkan sebagaimana mestinya.

Di masa konflik,  para keluarga orang hilang sering mendatangi Saheh dan membawa selembar foto untuk menanyakan keberadaan orang yang dimaksud.  Seringkali  mereka  ini meninggalkan foto tersebut untuk Saheh dan menjadi koleksi Saheh di album fotonya.

Sudah ratusan mayat dievakuasi Saheh sejak 1999. Tapi ada satu kasus yang membuat ia sangat terenyuh dan hampir  menitikkan air mata.

Kasus pembunuhan keluarga Karjono. Kejadiannya pada 04 Juni 2001 di daerah perbatasan antara Aceh Tengah dengan Gayo Lues, tepatnya di daerah  Ise-Ise. Selain Karjono, anaknya Hardinda Pangestu juga jadi korban. Hardinda berusia 4,5 tahun.  Lehernya digorok dan telapak kakinya dibacok dengan parang.

Dalam hati Saheh berkata, “Anak adalah manusia suci layaknya malaikat, tapi mengapa ada orang yang tega membunuh dengan cara menggorok anak ini.”

Pengalaman  Saheh yang paling menarik adalah ketika ia naik helikopter Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD). Ia hendak mengevakuasi mayat dari Aceh Tenggara. Peristiwa ini terjadi menjelang penerapan operasi militer di Aceh pada tahun 2003.

Tak semua mayat ditangani tim PMI. Tentara atau polisi juga terlibat. Suatu kali Saheh menasihati anggota tentara dan polisi yang mengantar mayat ke rumah sakit, “Jika membunuh, bunuhlah mereka dengan segera, jangan pernah menyiksa.”

Di bulan Juli 2001, Saheh terlibat dalam pengevakuasian mayat secara besar-besaran dari kawasan Pepedang, kecamatan Syiah Utama, Aceh Tengah (sekarang kabupaten Bener Meriah). Suratkabar Aceh, Serambi Indonesia,  memberitakan peristiwa ini.

Dua puluh tujuh mayat itu diketahui keberadaannya oleh 300 warga yang tergabung dalam paguyuban Gabungan Putra Daerah (Garuda) Aceh Tengah berkat informasi Haji Lanjut, seorang warga kecamatan Bandar yang kehilangan empat anaknya yang tak pulang lagi ke rumah setelah berangkat mengurus kebun kopi miliknya.

Warga mencari mayat-mayat itu dengan menggunakan 21 truk dan 100 sepeda motor.

Namun, dari berbagai peristiwa dan evakuasi mayat yang dilakukan Saheh,  tak ada yang lebih mudah dibanding menangani korban Atu Lintang.

Bagaimana tidak, ia hanya mengangkat onggokan arang, bukan tubuh manusia.

Setelah tsunami melanda Aceh, Saheh juga ditugaskan PMI menangani jenazah korban tsunami.

”Saya menangis. Suara saya sampai serak dan sulit untuk berbicara, melihat alat yang digunakan untuk menguburkan  mayat adalah buldozer. Saya melihat ada bagian tubuh mayat yang tertinggal dan copot dari badannya,” katanya.

Pemerintah daerah menghargai kerja Saheh dengan menjual sebuah ambulan bekas kepadanya dengan harga rendah. 
Pada tahun 2010 nanti, ia akan pensiun. Saheh ingin menggunakan ambulan itu untuk berpergian. Ia juga bercita-cita menikmati hari tuanya dengan berkebun.***


*)Mustawalad adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service. Dia menjabat Kepala Bidang Internal Kontras (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) Aceh.

 

kembali keatas
Kursus Narasi XVIII
FacebookTwitter