JIMI menggerakkan tangan kanannya pelan-pelan,
naik-turun, pada papan berukuran sekitar 2,5 x 2 meter itu. Tangan kirinya
memegang kaleng cat. Dia memulas huruf-huruf G-A-M yang semula berwarna putih
dengan cat merah, agar huruf-huruf itu hilang dan menyatu dengan warna yang
semula jadi latarnya. Seorang kawannya berjaga di bawah, memegangi tangga
alumunium yang dinaiki Jimi.
“Ini sudah ketiga kali,” ujarnya kepada saya, seusai mengecat.
Jimi bekerja di Menara Grafika, perusahaan pembuat papan reklame di Banda Aceh.
Sewaktu Partai GAM meresmikan kantornya pada awal Juli 2007, Jimi ikut andil.
Papan nama itu buatannya.
Di hadapan wartawan dan undangan yang hadir ketika itu, Muzzakir Manaf selaku
ketua dan petinggi partai lainnya memperkenalkan lambang partai mereka, yaitu
bulan sabit dan bintang putih di atas dasar merah.
Tapi pemerintah menolak lambang partai yang serupa dengan lambang Gerakan Aceh
Merdeka itu. Bahkan, kepala Kepolisian Kota Banda Aceh, Komisaris Besar
Zulkarnain, segera memerintahkan papan nama Partai GAM ditutup.
Sore hari setelah deklarasi itu, papan nama partai tersebut diselubungi kain
kuning.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya menjelang akhir Februari 2008, Jimi dipanggil
untuk menghapus lambang bulan sabit dan bintang tadi dan menggantinya dengan
tiga huruf, G-A-M, dengan cat putih.
Belum selesai sampai di situ. Pada Rabu siang, 21 Mei 2008, Jimi diminta
mengecat kembali lambang partai GAM. Kali ini ia harus mengganti huruf G-A-M
dengan huruf A-C-E-H.
Partai Aceh. Itulah nama resmi terakhir partai yang didirikan orang-orang yang
dulunya bergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka atau disingkat GAM ini.
Bagaimana jika nama atau lambang berubah lagi?
“Ya order lagi,” sahut Jimi, tersenyum. Maksudnya, tiap penggantian nama atau
lambang adalah rezeki baginya.
Ketika Jimi tengah sibuk mengukir huruf A-C-E-H dengan kuasnya itulah, Adnan
Beuransah yang didampingi Ibrahim bin Syamsuddin mengumumkan peresmian
penggantian nama Partai GAM menjadi Partai Aceh di hadapan belasan wartawan.
Adnan adalah juru bicara partai, sedangkan Ibrahim menjabat juru bicara Komite
Peralihan Aceh atau KPA, organisasi yang beranggotakan mantan GAM.
“Perubahan itu sudah direstui Meuntroe Malik (Perdana Menteri GAM Malik
Mahmud),” kata Adnan. Ia pernah menjadi juru bicara GAM di , tempat ia
mengasingkan diri dari tahun 1998 hingga 2006.
Menurut Adnan, pergantian itu terpaksa dilakukan karena protes pemerintah
Inodnesia.
“Kami (berubah) mengikuti alur cerita. Kalau tidak, kami tidak akan bisa maju,”
imbuh Adnan.
GAM mengubah jalur perjuangannya dari bersenjata ke politik berdasarkan
Perjanjian Damai di Helsinki, Finlandia yang ditandatangani GAM dan
pemerintah pada 15 Agustus 2005 lalu. Disebutkan dalam butir 1.2.1
perjanjian itu bahwa pemerintah setuju dan akan memfasilitasi pendirian
partai-partai politik lokal Aceh.
Pembentukan partai politik lokal di Aceh pun diatur dalam Bab XI Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Selain itu, dipertegas lagi
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2007 (PP Nomor 20/2007). Di situ
diatur dari tata cara pendaftaran, anggaran dasar, kerja sama dengan partai
nasional, penyelesaian perselisihan hingga pembubaran partai.
Dalam pasal 22 ayat 4 peraturan itu disebutkan ketentuan bahwa nama, lambang,
dan tanda gambar tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan lambang negara, lambang lembaga negara, lambang pemerintah, lambang
pemerintah daerah, nama, lambang, dan tanda gambar partai politik atau partai
politik lokal lain.
Tapi pemerintah segera menerbitkan aturan baru setelah mereka melarang lambang
Partai GAM.
Di akhir Desember 2007, keluar Peraturan Pemerintah Nomor
77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Aturan ini menjelaskan jenis lambang
daerah, kedudukan dan fungsi, desain, hingga rincian aturan penempatan lambang
dan logo daerah. Pada ayat 4 pasal 6 pada bab Desain Lambang Daerah tercantum
kalimat ini: “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan
pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain dan logo dan bendera organisasi
terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara
Kesatuan Republik .”
Yang dimaksud logo dan bendera organisasi terlarang maupun gerakan separatis
diterangkan dalam bagian penjelasan. Yaitu, “logo dan bendera bulan sabit yang
digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan
bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta
bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.”
Motif pelarangan pun jadi jelas. Bulan sabit dan bintang merupakan lambang yang
dipakai Hasan Tiro sebagai lambang pada bendera Front Pembebasan Aceh Sumatera
yang diproklamasikannya pada Desember 1976. Front itu kemudian dikenal dengan
nama GAM, julukan yang diberikan pemerintah terhadap gerakan kemerdekaan Aceh.
Tak ayal lagi aturan tadi jadi pembicaraan utama dalam round table meeting di Jakarta awal Februari 2008. Forum ini
disponsori Institute for Indonesian Peace-Interpeace Aceh Program. Forum ini
mempertemukan petinggi GAM dan pemerintah untuk membahas perkembangan dan
keberlangsungan perdamaian di Aceh. Wakil GAM yang hadir, antara lain Perdana
Menteri Malik Mahmud, Menteri Luar Negeri Zaini Abdullah, Ketua Komite
Peralihan Aceh (KPA) Muzzakir Manaf, dan juru bicara Ibrahim bin Syamsuddin.
Aturan ini juga sempat diprotes Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Sebab penerbitan
peraturan itu, menurut Irwandi, tak melalui konsultasi dengan gubernur Aceh
seperti yang tercantum di Undang-undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006.
Ia juga cemas PP Nomor 77/2007 bakal merusak perdamaian di Aceh.
Atas nama pemerintah Aceh, Irwandi mengirim bernomor 188.31/545 kepada
pemerintah di pada 4 Januari 2008. Salah satu bunyi poin surat itu adalah
“meminta agar pemerintah pusat agar mencabut dan meninjau ulang Peraturan
Pemerintah Nomor 77 tahun 2007”, serta mengatur kembali aturan tersebut setelah
melalui proses konsultasi dengan gubernur dan mendapat pertimbangannya.
Pemerintah Jakarta tak menggubris protes Irwandi. Sebaliknya, belakangan GAM
memilih jalan kompromi.
Pada Kamis 25 Februari 2008, lambang partai GAM berubah jadi logo “GAM”.
Kepanjangan GAM di logo ini bukan “Gerakan Aceh Merdeka”, melainkan menjadi
“Gerakan Aceh Mandiri”.
Ternyata pemerintah belum tenang juga. Mereka keberatan dengan kata “gerakan”
dalam nama partai GAM.
Partai GAM kemudian berganti nama jadi Partai Aceh. Mengalah untuk menang.
Juru bicara Adnan Beuransah menegaskan bahwa Partai Aceh bakal mengusai kursi
parlemen di Aceh.
“Ya mungkin tidak seratus persen. Tapi kami optimis (menang),” katanya.
Saat ini, meski belum ada data resmi, jumlah formulir keanggotaan yang masuk ke
partai sudah sekitar 50 ribuan. pendukung utama Partai Aceh ada di Aceh Utara
dan Pidie.
“Yang masih diproses sekitar 150 ribu. Kami perkirakan jumlah anggota sekitar
500 ribuan,” kata Adnan.
“Dari mana dana partai?” tanya saya.
“Kami ini partai rakyat, kalau ada yang sumbang silakan.”
“ iuran anggota?”
“, tapi sampai sekarang belum diputuskan.”
Dua kali ganti nama dan lambang partai bukan tanpa risiko. Menurut Adnan, tiap
kali ganti nama membutuhkan dana jutaan rupiah untuk mensosialisasikan kepada
pengurus dan pimpinan partai di daerah. Pengurus partai di pusat harus
mendatangi dan menyampaikan sendiri perubahan nama partai.
Bagaimana kalau pemerintah menolak nama dan lambang terakhir ini?
“Tidak akan ada perubahan (nama dan lambang) lagi,” tegas Ibrahim bin
Syamsuddin yang mendampingi Adnan.
“Kami optimis, ini tidak akan ditolak,” tandasnya.
Pernyataan Ibrahim terbukti. Pada 23 Mei 2008, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia di Jakarta mengumumkan bahwa 12 dari 14 partai lokal di Aceh lulus
verifikasi, termasuk Partai Aceh.***
*) Samiaji Bintang adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda
Aceh.