TING, ting, ting.... Wajan beradu dengan centong. Tampak di dalam
wajan itu kuah kental berwarna kuning kemerahan. Asap mulai keluar. Gelembung-gelembung
udara sudah muncul, tanda kuah akan segera mendidih.
Walaupun kuah telah mendidih, Roslinda
menambahkan lagi air dan memasaknya hingga kembali kental kemudian menambahkannya
lagi dengan kentang yang dipotong-potong menjadi empat bagian. Setelah kentang
matang barulah kuah ayam itu diangkat.
Sekarang api di kompor masih menyala
dan Roslinda dengan cekatan mengambil wajan baru. Ia kemudian memasak ikan
tongkol. Memang tidak biasanya ia memasak pada subuh hari dengan hidangan
bermacam-macam ini. Sarapan pagi keluarga ini biasanya dengan lauk ikan goreng.
Azan subuh mulai berkumandang. Di luar
masih gelap. Setelah kuah engkot sure teutrah (biasanya untuk kuah ikan
yag berwarna merah) selesai diangkat, Linda bergegas turun, kemudian pergi ke
kebun di belakang rumahnya untuk mencari daun pisang.
Rumah Linda adalah rumah panggung
dari papan. Satu tangga terletak di seuramou depan atau ruang tamu,
sedang satu tangga lagi berada di dekat dapur, seperti lazimnya model rumah
tradisional Aceh.
Khadijah, ibu Roslinda, memeriksa
beras yang sedang ditanak di atas kompor. Setelah itu ia menghampiri wajan
dengan membawa beberapa mangkok dan mulai menuang kuah ayam dan kuah teutrah
sure ke masing-masing mangkok.
Linda naik ke rumah dengan membawa
beberapa helai daun pisang. Setelah nasi diangkat, ia kemudian melayu
daun pisang di atas api. Melayu adalah memanggang daun pisang di atas
api tapi tidak sampai menghanguskannya. Melayu dilakukan untuk membuat getah
pada daun pisang hilang, daun lebih
lentur dan licin, dan aroma daun pun jadi harum.
Setelah selesai di-layu, daun
pisang dipisahkan dari tulang daunnya, lalu dipotong-potong persegi empat dan dilap
dengan kain bersih. Daun ini akan dibuat pembungkus bukulah (nasi yang
dibungkus dengan daun pisang yang dibentuk seperti piramida).
Sementara Khadijah membungkus nasi, Roslinda
kembali kembali ke dapur dan meneruskan memasak. Ada udang, kuah tulang daging
dan mi kuning digoreng. Sedangkan bulukat kuneng (nasi ketan kuning)
sudah selesai dibuat semalam. Sekarang Linda tinggal membuat kelapa yang digoreng
bersama gula merah untuk dihidangkan bersama bulukat dengan dibungkus
daun pisang secara bersama-sama.
Menjelang pukul dua siang semua
hidangan itu selesai dimasak. Hidangan tersebut disusun dalam talam besar. Kuah
tulang daging diletakkan di tengah, sedangkan
hidangan lain diletakkan mengelilinginya. Setelah itu hidangan ditutup dengan sange
(tudung saji mirip topi petani yang terbuat dari daun nipah dan diselimuti
dengan kain beludu warna merah bersulam benang emas dan manik-manik). Hidangan
ini disebut satu idang. Supaya hidangan tidak jatuh ketika dibawa, maka
talam beserta sange diikat dengan kain yang berwarna kuning raja.
Sedangkan bukulah, buleukat beserta kobokan (tempat cuci tangan)
dimasukkan ke dalam keranjang terpisah. Disertakan pula satu cerek (atau teko)
yang berisi kopi dan beberapa gelas kaca. Semuanya diletakkan di teras dekat
dapur yang biasa disebut ampet dalam bahasa Aceh.
TAK lama kemudian Jamaluddin, adik Roslinda,
bersama Budiman sang ayah, membawa hidangan tadi ke meunasah gampong
(kampung). Di jalan Jamaluddin juga berpapasan dengan beberapa laki-laki yang
membawa idang seperti dirinya.
Pada hari Minggu, 18 Februari 2008
itu, di desa Lam Tanjong, Darussalam, Aceh Besar, diselenggarakan kenduri
blang yang dipusatkan di meunasah. Ini merupakan hari istimewa buat seluruh
keluarga petani Aceh.
Jamaluddin meletakkan idang
di lapangan dekat meunasah. Laki-laki yang lain juga melakukan hal yang sama. Sedangkan
laki-laki yang tidak mambawa idang boleh memilih idang yang mana
yang akan mereka hampiri, dan setelah itu mereka duduk di hadapannya.
Setelah semua yang berkumpul duduk,
imam meunasah segera memimpin doa dan diikuti oleh semua orang yang ada di halaman
meunasah ini.
Idang pun
dibuka setelah doa selesai dan mereka yang hadir makan bersama. Shalat ashar bersama jadi acara selanjutnya.
Kenduri blang di Lam
Tanjong dilakukan di meunasah, karena masjid hanya ada di pusat kemukiman. Satu
kemukiman terdiri paling sedikit dari empat gampong. Namun, di masa pemerintahan
Soeharto, fungsi gampong di Aceh diubah jadi desa mandiri dengan batas
wilayah yang tentu lebih kecil.
Sebenarnya kenduri blang
dilakukan dua kali setiap masa panen atau waktunya disebut sebagai watee
keneuk jak atawa troen u blang dengen wate kadara pade (waktu mau bajak
sawah atau turun ke sawah dengan waktu padi sudah kuning hampir siap panen). Ini
menurut Badruzzaman Ismail. Ia adalah ketua Majelis Adat Aceh atau MAA.
“Manusia hidup ini kan perlu makan
jadi hampir semua orang senang makan, jadi kenduri blang adalah cara
mengumpulkan orang dan menjadi sarana komunikasi dalam membuat sesuatu,” kata Badruzzaman,
seraya tersenyum.
Saat kenduri blang, semua
warga kampung diundang. Tak hanya petani. Sehingga antar warga jadi saling
kenal.
“Saat umur padi mencapai empat bulan
atau ka dara pade (sudah mulai kuning dan hampir masak), ada kenduri blang
yang kedua,” kisah Ibrahim Ismail, imam masjid Tungkop, Aceh Besar, kepada saya.
Saat kenduri ini warga akan membawa
makanan bersama-sama lagi ke sawah. Namun, hidangan pada kenduri kedua ini tidak
ditentukan jenis masakannya. Paling tidak ada menu ayam.
“Yang membedakan kenduri blang
dengan kenduri lain adalah letak doa. Kalau kenduri lain makan dulu baru berdoa
tapi kenduri blang berdoa dulu baru makan,” kata Ibrahim.
“DULU kenduri blang dilakukan
di tengah sawah atau di dekat sawah. Sejak konflik memanas di Aceh, kenduri
dipindahkan ke meunasah,” ujar Budiman, ayah Roslinda, sambil terus menghembuskan
asap rokok dari mulutnya.
“Watee konflik na ureng berkumpul
rame bacut ka dicurigai, tea dijak tentra (waktu konflik ada orang berkumpul
dan ramai sedikit langsung dicurigai, langsung datang tentara),” lanjut
Budiman.
Budiman terpaksa menyuruh anak-anak
laki-lakinya yang nomor dua merantau ke Pulau Jawa saat konflik memanas.
Sejatinya Budiman adalah nelayan. Khadijah istrinya yang petani dan perempuan
ini yang menggarap sawah yang diberikan oleh orang tuanya saat pasangan ini menikah
dulu.
Dalam adat Aceh perempuanlah yang
menanam padi, seperti sebuah pepatah Aceh yang berbunyi ureung agam muue
umong, ureung inong jak seumula (orang laki-laki yang membajak sawah, orang
perempuan yang menanam padi).
Tapi pada masa panen tiba, Budiman,
Roslinda, dan Jamaluddin akan membantu Khadijah memotong padi. Sekarang ini sekali
panen keluarga Budiman dapat mengumpulkan 120 tem padi.
Biasanya tabur benih dilakukan pada bulan
Agustus tanggal 17. Pada awal bulan Agustus dilakukan meulangai atau
membajak sawah dengan lembu. Lalu dimulai meurawet (membersihkan rumput)
rumput yang sudah dibersihkan. Rumput tidak dibuang dan pada hari kesepuluh
posisi rumput dibalik. Sesudah itu rale (petakan kecil di sudut sawah
untuk menabur benih) dibuat. Benih padi lalu direndam selama tiga hari.
Hari keempat benih mulai ditabur di rale.
Pagi dan sore benih dijaga. Yang penting waktu menabur benih tidak dilakukan
pada hari ketujuh bulan Agustus.
“Karena pada hari itu cuaca sangat
panas, sehingga benih bisa mati,” kata Ibrahim kepada saya di tempat terpisah.
Di akhir bulan Agustus hujan sudah
mulai turun, sehingga rale dijaga agar benih tidak tenggelam. Setiap
malam selama sepuluh hari ke dalam rale dimasukkan air setinggi satu
ruas jari. Setelah benih tadi sudah mulai memanjang, ia akan dipindahkan dari rale
untuk ditanam di seluruh sawah.
Sebelum sawah dibajak untuk
ditanami, diadakan pembersihan saluran air atau peungleh lueng yang
dipimpin oleh keujeuren blang. Ia adalah perangkat desa yang dipilih
oleh keuchik atau kepala desa, khusus untuk menanggulangi dan mengawasi
bidang pertanian.
Setelah bermusyawarah dengan keuchik
dan orang tua di gampong, keujeuren blang akan mengumumkan dimulainya kenduri
blang. Sebelum kenduri dimulai keujeuren blang akan berkeliling
sawah tempat dipusatkannya acara itu dan mulai berdoa di setiap pojok sawah
tersebut.
Setelah kenduri selesai, keujeuren
blang akan kembali ke pojok sawah dan menancapkan bendera atau kain
berwarna putih sebagai tanda tidak boleh ada kegiatan sama sekali di sawah
selama tiga hari.
“Itu dilakukan untuk menghindari dala
pade (hama padi), jadi ada pantangannya,” ujar Ibrahim.
“Bagi yang melanggar dulunya akan
ada denda, harus membayar satu gunca padi,” tambahnya.
Dulu orang Aceh menggunakan istilah gunca
dan naleh untuk hasil panen. Sekarang takarannya menggunakan istilah tem.
Jadi satu gunca sama dengan 16 tem atau 10 naleh. Satu
naleh sama dengan 16 are. Sementara satu are setara dengan
dua liter.
Selama tiga hari pula masyarakat
yang tinggal di dekat gunung dilarang membawa daun kelapa kering atau daun iboh
ke sawah agar sawah tidak diserang hama tikus. Semuanya akan dikontrol oleh keujeuren
blang.
Setelah melewati masa pantang selama
tiga hari, keujeuren blang akan kembali ke sawah tempat ia memasang
bendera warna putih dan menggantikannya dengan bendera berwarna hijau, tanda
kegiatan pertanian segera dimulai. Nantinya setelah sawah selesai digarap bendera
hijau akan diganti lagi dengan merah. Bendera merah itu artinya top blang,
yaitu tanda bahwa semua sawah harus sudah ditanami semua. Hal ini dilakukan
agar masa panen berlangsung serentak.
BERTANI mempunyai nilai yang tinggi
dalam tatanan masyarakat Aceh dan memiliki aturan tersendiri. Sehingga ditunjuklah
seorang keujeuren blang, yang khusus menangani pertanian.
Biasanya keujeuren blang akan di pilih oleh
keuchik. Masyarakat Aceh dulu juga berpendapat bahwa bertani adalah puncak dari
semua kerja, seperti yang tersebut dalam sebuah ungkapan peng ulee buet
ibadat, pang ulee hareukat meugoe (puncak segala perbuatan adalah ibadah
dan puncak segala usaha adalah bertani).
Karena itu juga masyarakat mengatur tata cara bertani yang baik sesuai
musim.
Di kabupaten Aceh Besar dulunya
hampir setiap gampong ada keujeuren blang. Tugasnya mulai dari
menentukan masa tanam, pembagian air sawah sampai menyelesaikan sengketa
pembagian hasil panen. Makanya seorang keujeuren blang haruslah orang
yang dapat dipercaya, bijaksana dan menguasai keuneunong atau ilmu falak
agar dapat menentukan masa tanam yang tepat.
Agar suplai air untuk setiap sawah
lancar, para petani dan keujeuren blang melakukan meusueraya atau
gotong-royong bersama. Gotong-royong ini dilakukan pada masa tak bulee
atueng (membersihkan sawah dari hama yang mengganggu tanaman padi).
Walaupun peran keujeuren blang
penting, tapi ia tidak digaji. Ia hanya mendapatkan pajak hasil pertanian yang
diberikan secara suka rela oleh petani yang disebut bruek umeng. Tapi ini tidak semuanya diambil oleh keujeuren
blang. Semua hasil dari bruek umeng akan dikumpulkan di meunasah
lebih dulu. Keuchik dan imam meunasah yang akan membaginya. Ada yang disisihkan
untuk kas meunasah dan dikelola untuk pembangunan dan kesejahteraan meunasah,
sementara sebagian lagi diberikan kepada keujeuren blang sebagai jasa
atas pekerjaannya. Pajak bruek umeng ini berbeda dengan zakat, karena
zakat hasil pertanian akan dikutip terpisah.
HAL lain yang menarik dalam tradisi
bercocok tanam orang Aceh adalah soal keunenong atau hitung-hitungan
waktu untuk bercocok tanam.
“Kalau orang sekarang lebih
mengenalnya dengan perkiraan cuaca,” kata Ibrahim.
Mencari keuneunong itu ada
rumusnya tersendiri, tidak dapat dilakukan sembarangan. Beberapa orang yang
saya temui hampir semuanya lupa dengan rumus yang dipakai untuk mencari keuneunong.
“Wah saya sudah lupa, padahal itu
juga ada pantunnya,” ujar Badruzzzaman.
Sama halnya dengan hilangnya fungsi keujeuren
blang saat pemerintah Orde Baru berkuasa, orang yang mengetahui keuneunong
pun banyak yang hilang.
Inilah bunyi pantun yang dimaksud
Badruzzaman: keunong siblah tabu jarueng. Keunong sikureung rata-rata,
keunong tujoh jeut chit mantong, keunong limong ulat seuba. Artinya, pada keunong sebelas benih padi harus
disebar secara jarang-jarang, pada keunong sembilan baru disebar benih
secara merata, pada keunong tujuh juga masih bisa menabur benih, tapi keunong
lima ulat mulai ada pada padi muda.
Beruntung Ibrahim sedikit banyaknya
masih mengetahui tentang keuneunong, meski lupa pertanda musimnya.
“Cara carinya 2 x bulan, setelah itu
dua puluh lima dikurang jumlah yang didapat pertama,” tutur Ibrahim.
“2 x 1 (Januari) = 2, 25 – 2 = keuneunong 23. Jadi bulan satu itu keuneunong 23. Keuneunong
23 nyan tanda jih lee ditoh hujen (keuneunong 23 itu tandanya banyak
turun hujan),” lanjut Ibrahim.
Untuk selanjutnya 2 x 2 (Februari) =
4, 25 – 4 = keuneunong 21, walau ada hujan tapi tidak selalu sering. Bulan
tiga (Maret): 2 x 3 = 6, 25 - 6 = 19. Jadi bulan tiga adalah keunenong
19. Bulan empat (April) = keuneunong 17, bulan lima (Mei) = keuneunong
15, bulan enam (Juni) = keuneunong 13, bulan tujuh (Juli) = keuneunong
9, bulan delapan (Agustus) = keuneunong 9. Nah, di keuneunong 9
ini hujan turun terkadang sangat lebat, sehingga petani memilih membajak sawah pada
bulan Agustus.
“Yang penting bek uro ke tujuh bulen
tujuh, nyan seum that, mate bijeh (yang
penting bukan hari ketujuh bulan Agustus, itu hari yang sangat panas, mati benih),”
kata Ibrahim.
Dulu saat menanam padi di Aceh juga
ada suatu kebiasaan yang namanya meuroe. Tradisi meuroe adalah
tradisi petani menggarap sawah bersama-sama. Dimulai dari sawah yang satu ke
sawah yang lain dilakukan secara beramai-ramai. Sekarang tradisi ini sudah
mulai hilang dan hanya tersisa di beberapa desa lagi seperti di daerah
Montasik, yang juga berada di kabupaten Aceh Besar.
“Sekarang masing-masing hanya mengerjakan
sawah sendiri, mise heuk yak peupah (kalau capek ya bayar orang uantuk
mengerjakannya),” ujar Khadijah, tersenyum miris.
JAUH dari Aceh Besar, ada tempat
yang tidak lagi menjalankan tradisi kenduri blang.
“Di kampung saya tidak ada lagi kenduri
blang, yang ada cuma gotong-royong membersihkan lueng (saluran air
kecil di dekat sawah) agar air dapat mengalir dengan baik,” kisah Suriana yang
asal Keumala, Pidie.
“Kalau ada kenduri seperti dulu
rasanya lebih bersemangat ke sawah,” lanjut mahasiswa Institut Agama Islam
Negeri Ar Raniry ini.
Tak hanya Suriana yang mengeluh
tentang hilangnya tradisi kenduri ini, tapi juga Nurliah yang tinggal di
Beutong Ateuh, Nagan Raya.
“Kenduri blang ada, tapi
hanya sekali, dan itu pun tidak semeriah dulu lagi,” tutur Nurliah saat saya
singgah di rumahnya di Beutong Ateuh.
Sebenarnya kenduri blang diselenggarakan
agar tercipta keseragaman dalam melakukan usaha pertanian, selain adanya unsur
hiburan di dalamnya.
“Fungsi dari kenduri itu sendiri
adanya kegiatan ekonomi dalam masyarakat, menambah motifasi dalam bekerja, ada
kesiapan dalam melakukan sesuatu hal. Jadi rencana hidup orang Aceh itu sudah
diatur dan terjadwal dalam acara kenduri,” kata Badruzzaman kepada saya.
Sekarang ada yang berpendapat bahwa
banyak kenduri di Aceh itu makruh atau bahkan, cenderung haram. Namun, menurut Badruzzaman,
pernyataan itu merupakan pernyataan orang malas.
“Selama tidak ada yang bertentangan
dengan syariat dan tidak menimbulkan mudzarat ya tidak apa dilaksanakan. Lagipula
untuk orang dulu, itu satu-satunya sarana hiburan, “ papar Bazruzzaman, serius.
Pendapat yang mengatakan bahwa kenduri
blang itu budaya India juga dibantah bantah oleh Rusdi Sufi.
“Orang di sini agak aneh, apa-apa
yang tidak ada dalam Islam dibilang budaya India. Padahal belum tentu ada
budaya ini di sana,” ujar Rusdi, yang menjabat ketua Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh atau populer disingkat PDIA.
“Budaya ini telah lama ada, semenjak
indatu (nenek moyang) kita dulu, jadi kenapa harus sekarang dipertanyakan,”
lanjutnya.
PAGI tanggal 30 Maret 2008, Khadijah
pergi ke sawah sambil membawa sabit. Hari ini ia akan mulai memotong padi. Seminggu
kemudian padi mulai dirontokkan atau dipisahkan dari tangkainya.
Bau jerami pun menyeruak dari tengah
sawah. Tanda panen baru saja selesai.
*)
Khiththati adalah Kontributor Pantau Aceh Feature Service di Aceh. Ia mahasiswa Fakultas Dakwah,
Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry.