RUANGAN itu kosong.
Lantainya berubin putih, kotor. Ini adalah aula pertemuan. Kapasitasnya
menampung sekitar 300 kursi. Namanya Balai Gadeng. Di dalamnya ada panggung
setinggi lutut. Lantai panggung dilapisi karpet biru murahan. Di latar panggung
menjuntai kain hitam. Gambar-gambar memenuhi tembok, terbuat dari cat hitam. Ada
gambar wajah, coretan sembarang, juga gambar orang memegang senjata. Suasana
sepi.
“Ini aula kami. Tempatnya
kotor, kemarin baru selesai peringatan tsunami. Jadi kacau begini,” kata Lia
Sulaiman. Kami masuk melalui jendela aula. Pintunya tak bisa dikunci dari luar.
“Lagi rusak,” katanya.
Aula ini di asrama putri
Tjuk Njak Dien. Letaknya di jalan Kartini, Yogyakarta. Lia salah satu
penghuninya. Sore itu ia akan membeli mie ayam di depan asrama. Ketika
tiba-tiba saya datang, ia menyapa dengan hangat. Menawarkan bantuan. Saya
menyampaikan tujuan saya, yaitu ingin menulis tentang mahasiswa Aceh di
Yogyakarta. Ia mempersilahkan saya ke masuk
ruang tamu. Di ruangan itu terpampang gambar pahlawan Aceh yang dinyatakan sebagai pahlawan nasional
oleh pemerintah Indonesia, gambar Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Saling
berdampingan.
“Saya mau cerita tapi
tidak di sini. Di aula saja ya,” pintanya.
Tentu saya setuju. Alasan
Lia, di aula lebih tenang. Saya ditemani seorang teman, namanya Afrian. Dia yang
mengantar saya ke mana pun saat di Yogyakarta. Saat wawancara, Ia juga ikut.
Sore itu tak ada hujan,
tapi mendung menggantung. Lia duduk bersila di atas panggung. Saya di depannya.
SEBENTAR lagi Lebaran
Haji atau Idul Adha 2001. Libur sekolah tiba. Waktu itu Lia duduk kelas tiga di Madrasah Tsanawiyah di
Langsa, Aceh Timur. Ia akan ke tempat neneknya di Lhokseumawe. Mak Bit,
begitulah ia memanggil tantenya, juga sudah menjahitkan baju sebagai hadiah
lebaran. Lagipula Lia sering pulang kampong sendiri.
“Pulang sendiri berani,”
kata Sulaiman, ayahnya.
“Berani. Ga apa-apa,”
jawab Lia.
Pagi tiba. Sulaiman
datang ke asrama madrasah itu, membawakan sebuah tas berisi pakaian.
“Kalau kakak (panggilan
Lia sebagai anak pertama dari tiga bersaudara) sudah sampai di kampung, di
rumah nenek langsung telepon,” katanya.
“Supaya tidak bikin
susah-susah mama sama ayah di sini,” lanjut sang ayah kepada Lia.
Lia pun berangkat ke Lhokseumawe.
Ia duduk di kursi depan mobil angkutan umum, berdampingan dengan sopir. Di tengah
perjalanan, mobil berhenti. Cukup lama, sampai ia punya keinginan membatalkan
pulang kampung.
“Kok lama kali jalannya
Bang,” kata Lia.
“Ada perang di depan lagi
dicari Ahmad Kandang,” bisik sopir.
Sesampai di kampung Lia
tak menelepon. Jaringan terputus. Telepon rumah tak bisa digunakan. Karena itu
saat hendak belanja ke pasar, Mak Bit menyempatkan menelepon ayah Lia dari
wartel untuk sekaligus memintanya datang di acara kenduri untuk rezeki panen. Alhasil
hari itu Mak Bit tak jadi belanja. Ia pulang dengan air mata berlinang. Kabar
dari Langsa yang diterima Mak Bit membuat perempuan ini tak mampu melakukan
apa-apa. Sulaiman, adiknya, ditemukan tak bernyawa di sebuah selokan besar.
Setelah mengantar tas ke
asrama Lia, Sulaiman berangkat kerja. Ia
bekerja sebagai guru sekolah dasar. Ketika jam sekolah usai, ia mengendarai
sepeda motor dan melewati hamparan hutan kecil. Maklum tempat mengajarnya di
pedalaman Langsa. Tapi di tengah perjalanan seorang warga mencegatnya untuk
menumpang sampai ke kota. Orang tersebut menjadi orang terakhir yang melihat
Sulaiman dalam keadaan hidup.
Jenazah Sulaiman
ditemukan esok hari. Kebetulan di dekat selokan itu, ada warung kopi. Warung kopi langganannya juga.
Seorang perempuan penjaga
warung memperhatikan sebuah karung goni.
“Kenapa ada ayam
matuk-matuk goni itu. Ada apa, dari tadi itu,” katanya kepada pengunjung warung.
Ramai-ramai karung itu
dibuka. Isinya mayat.
Lia tak sempat melihat
jenazah ayahnya. Begitu ia tiba di Langsa, sang ayah telah dimakamkan.
Namun, ia sempat mencuci
celana dan sepatu yang dipakai sang ayah di saat terakhir. Kata orang-orang,
jenazah ayahnya ditemukan dengan mulut diperban dan lambung terburai. Di celana
ada lubang-lubang hangus seperti bekas disetrum.
“Setelah itu saya tak mau
dengar lagi tentang ayah, sedih mengingatnya,” kata Lia.
ANGGREK Bulan baru saja menyelesaikan
kuliah Kapita Selekta Pemerintahan ketika saya temui. Ia memakai jilbab
abu-abu. Rok hitam. Seperti Lia, ia cukup terbuka bercerita tentang Aceh.
“Aku tidak perlu tertutup, ini salah satu cara
untuk membuka diri,” katanya.
Ia tinggal di Kampung
Baru, Aceh Tengah. Di depan rumahnya sungai mengalir deras. Aceh Tengah bukan
daerah konflik, tapi suara tembakan sering terdengar. Suatu malam sekitar pukul
20.00, di depan rumah Bulan terdengar tembakan.
“Pertama dengar bunyinya
seperti petasan,” kenangnya.
Malam itu aliran listrik
dipadamkan. Gelap mencekam. Tiang listrik diketok-ketok, bersahutan-sahutan
dari tempat ke tempat lain. Di sungai tampak sebuah perahu, yang di atasnya aparat
menembak ke seberang sungai.
“Aku ingat itu, tanggal
delapan November sembilan delapan (tahun 1998),” katanya.
Sadar akan bahaya, kakak Bulan
menyuruh adiknya masuk rumah dan pintu langsung dikunci. Malam itu tak ada yang
bisa tidur. Semua gelisah, duduk dan diam, hanya suara berbisik dan hembusan
napas yang terdengar. Sementara di luar rumah teriakan terdengar di mana-mana: Lari,
lari, lari! Teriakan itu kadang dekat, kadang jauh.
“Kota kami seperti milik
mereka (TNI dan GAM),” tutur Bulan.
Tidak hanya itu, beberapa
hari kemudian ketika ia hendak ke pasar, dari balik kerumunan orang yang
berseliweran tiba-tiba ada yang berteriak.
“Tiarap, tiarap, tiarap…!”
Berapa menit kemudian
truk tentara melintas. Mereka menembak serampangan ke atas, ke udara, padahal
rumah di sekitar pasar tinggi-tinggi. Sekejap pintu rumah tertutup rapat.
Teriakan terus terdengar,
“Tiarap, tiarap, tiarap…!”
“Wah, waktu itu, aku tiarap saja ke Lumpur,” kisah
Bulan kepada saya.
Selain kedua peristiwa itu
tentu masih banyak yang disaksikannya. Karena keseringan ia menjadi terbiasa.
Saat jalan sore misalnya, suara bom terdengar, dan ia hanya berhenti sejenak.
Sambil memiringkan lehernya sedikit dan mengerutkan dahi, ia berkata dalam
hati, “Di mana ya (sumber ledakan itu).”
Bulan meninggalkan Aceh
pada 2002. Keadaan negeri itu masih rusuh.
Perjalanannya dimulai
dengan menumpang bus Patas Kurnia ke Medan, dengan ongkos Rp 55 ribu. Setiap dua
kilometer ada pemeriksaan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena Bulan tidak punya
KTP, ia mengantongi surat jalan dari kelurahan. Biasanya dalam pemeriksaan itu,
perempuan tidak terlalu dipersulit.
“Hanya digodain, minta
nomer hp (handphone),” kisah Bulan.
Jika laki-laki akan
disuruh turun, diminta buka baju. Kalau mereka tak punya kartu identitas akan
digiring ke semak-semak. Kalau masih balik syukur, kalau tidak berarti didoakan
saja.
“Itu nggak GAM (Gerakan
Aceh Merdeka), nggak TNI (Tentara Nasional Indonesia),” kata Bulan, menjelaskan
aksi mereka yang menggeledah.
Di Aceh selalu saja ada keadaan
di mana nyawa bisa melayang. Entah pelakunya TNI atau GAM.
Di Yogyakarta Bulan
merasa damai. Tak ada lagi suara tembakan dan kekerasan fisik. Tak ada lagi
mayat yang ditemukan di selokan. Tapi perlakuan diskriminatif pernah dialami.
Di bandara misalnya kopernya dirusak, dicampakkan begitu saja, pelayanannya lebih
kasar. Itu ketika petugas tahu kalau ia berasal dari Aceh.
“Dari Aceh ya, ohh…,” katanya,
meniru ucapan petugas bandara.
PENGALAMAN tak
menyenangkan di masa konflik juga dialami Teuku Muammar yang biasa dipanggil
Arnold oleh teman-temannya—karena bertubuh hitam kekar, meskipun tak seberapa
tinggi.
Satu bulan sebelum Perjanjian
Helsinki pada15 Agustus 2005, Arnold dengan tiga temannya mengendarai sepeda
motor ke daerah pedalaman Bireuen.
Ia tak tahu kalau ada
pemeriksaan KTP di tengah jalan oleh TNI. Ia tak membawa KTP. Beberapa
pertanyaan diajukan kepadanya, bertubi-tubi. Aparat mencurigainya sebagai intel
GAM.
“Saya bilang saya tinggal
di Bireuen kota. Mereka tak percaya,” kisah Arnold.
Tiba-tiba pukulan
mendarat di wajah. Sikunya patah. Tiga bulan mendekam di Rumah Sakit Blang Asem,
Bireuen.
Setelah peristiwa itu, ia
meninggalkan Aceh. Pada 2005, Arnold resmi jadi mahasiswa Universitas Ahmad
Dahlan, Yogyakarta.
“Bosan lihat konflik,”
katanya.
Sekarang ia tak peduli
lagi dengan Aceh.
“Biarin aja,” katanya.
LEPAS konflik, sekarang
syariah Islam membuat anak-anak muda Aceh di rantau ini tak merasa nyaman.
Awalnya di tahun 1999, ketika
Taliban (begitulah GAM menyebut mereka ini) melakukan sweeping jilbab. Taliban
adalah sebuah organisasi mahasiswa yang pro GAM. Mereka membawa gunting. Mereka
menangkap perempuan yang tak memakai jilbab, memotong rambut si pesakit.
“Jadi saya pakai jilbab
pertama kali itu, karena takut dengan mereka,” kenang Bulan.
Setelah kuliah, Bulan
kemudian tahu dari dosennya bahwa mengenakan jilbab bagi perempuan muslim
adalah wajib hukumnya. Meskipun, di kalangan intelektual Islam, penerapan dan
hukum mengenakan jilbab ini masih terus jadi perdebatan. Ada yang mengatakan
bahwa jilbab bukan pakaian wajib muslimah, tapi pengaruh budaya Arab, yang
disetarakan dengan kebiasaan kaum lelaki Arab memelihara jenggot dan mengenakan
celana di atas mata kaki.
Bulan lantas mempertanyakan
konsep syariah Islam. Semua aturan ditulis dalam aksara Arab, sedangkan bahasanya
ya bahasa Indonesia. Menulis nama jalan Sudirman, misalnya dengan huruf Arab.
“Semua di-Arab-kan. Islam
bukan seperti itu,” kata Bulan.
Sementara itu Lia kecil
sangat menikmati lantunan cae-cae atau pantun tentang cerita Rasul atau
hikayat dalam Islam, yang didendangkan di masjid selepas salat subuh.
“Nenek sering
membangunkan untuk mendengarkan itu,” kenangnya.
Namun, Lia juga
mempertanyakan penerapan syariah Islam di Aceh, yang disebutnya “ketika tidak
diminta, malah diberi”.
Bulan lebih tegas lagi.
“Jadi aneh, ada orang berdua-duaan dicambuk 40
kali di lapangan. Terus ada orang yang lewat pegangan tangan dan pelukan. ‘Itu
biasa aja,’ jadi sambil melihat itu, aku jadi mikir juga. Siapa yang ditangkap.
Siapa yang dibina,” kata Bulan.
“Ini semua kesalahan
Jakarta,” sahut Lia, tanpa memerinci keterangannya lebih lanjut.
Sebelum meninggal dibunuh,
ayah Lia ingin putrinya melanjutkan sekolah ke Malaysia.
“Ayah suka kalau saya
belajar bahasa Inggris yang baik,” kata Lia.
Lia termasuk anak yang
pandai di sekolah. Bakatnya sebagai penggambar kaligrafi memberinya jalan. Ia
memperoleh beasiswa dari Pencarian Bibit Unggul Daerah (PBUD) yang diadakan
sekolahnya. Ada tiga perguruan tinggi pilihan yang disodorkan kepadanya, yaitu Universitas
Sumatera Utara, Universitas Syiah Kuala, dan Universitas Negeri Yogyakarta.
Lia memilih Yogyakarta.
Alasannya meninggalkan dari Aceh adalah untuk mengembangkan ilmu.
“Orang Aceh kan kurang
apresiasi untuk seni rupa. Tapi saya akan buktikan jika jurusan ini bagus,”
katanya.
Kini Aceh sudah damai dan
perang telah usai. Namun luka dari Aceh belum mampu membuat Lia bisa tidur lelap. Adiknya yang nomor dua dan
akrab dipanggil “Si Dhul” memilih jadi
polisi. Meski Lia yakin yang membunuh ayahnya adalah militer, dendam itu
telah surut.
“Pokoknya bangga dengan
adek (adik) sekarang, ada yang jagain keluarga. Walaupun seragam itu pernah
buat kecewa Lia,” katanya.***
*) Eko rusdianto adalah Kontributor Pantau
Aceh Feature Service di Jakarta.