BERANDA
LIPUTAN
PROGRAM
MAJALAH
PROFIL
Cerita dari Balai Gadeng
Eko Rusdianto
Mon, 28 April 2008
Anak-anak muda Aceh di Yogyakarta menyelamatkan diri dari konflik politik masa lalu. Mereka juga bersikap kritis terhadap syariah Islam.

RUANGAN itu kosong. Lantainya berubin putih, kotor. Ini adalah aula pertemuan. Kapasitasnya menampung sekitar 300 kursi. Namanya Balai Gadeng. Di dalamnya ada panggung setinggi lutut. Lantai panggung dilapisi karpet biru murahan. Di latar panggung menjuntai kain hitam. Gambar-gambar memenuhi tembok, terbuat dari cat hitam. Ada gambar wajah, coretan sembarang, juga gambar orang memegang senjata. Suasana sepi.

“Ini aula kami. Tempatnya kotor, kemarin baru selesai peringatan tsunami. Jadi kacau begini,” kata Lia Sulaiman. Kami masuk melalui jendela aula. Pintunya tak bisa dikunci dari luar.

“Lagi rusak,” katanya.

Aula ini di asrama putri Tjuk Njak Dien. Letaknya di jalan Kartini, Yogyakarta. Lia salah satu penghuninya. Sore itu ia akan membeli mie ayam di depan asrama. Ketika tiba-tiba saya datang, ia menyapa dengan hangat. Menawarkan bantuan. Saya menyampaikan tujuan saya, yaitu ingin menulis tentang mahasiswa Aceh di Yogyakarta. Ia mempersilahkan saya  ke masuk ruang tamu. Di ruangan itu terpampang gambar pahlawan  Aceh yang dinyatakan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia, gambar Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Saling berdampingan.

“Saya mau cerita tapi tidak di sini. Di aula saja ya,” pintanya.

Tentu saya setuju. Alasan Lia, di aula lebih tenang. Saya ditemani seorang teman, namanya Afrian. Dia yang mengantar saya ke mana pun saat di Yogyakarta. Saat wawancara, Ia juga ikut.

Sore itu tak ada hujan, tapi mendung menggantung. Lia duduk bersila di atas panggung. Saya di depannya.


SEBENTAR lagi Lebaran Haji atau Idul Adha 2001. Libur sekolah tiba. Waktu itu Lia  duduk kelas tiga di Madrasah Tsanawiyah di Langsa, Aceh Timur. Ia akan ke tempat neneknya di Lhokseumawe. Mak Bit, begitulah ia memanggil tantenya, juga sudah menjahitkan baju sebagai hadiah lebaran. Lagipula Lia sering pulang kampong sendiri.

“Pulang sendiri berani,” kata Sulaiman, ayahnya.

“Berani. Ga apa-apa,” jawab Lia.

Pagi tiba. Sulaiman datang ke asrama madrasah itu, membawakan sebuah tas berisi pakaian.

“Kalau kakak (panggilan Lia sebagai anak pertama dari tiga bersaudara) sudah sampai di kampung, di rumah nenek langsung telepon,” katanya.

“Supaya tidak bikin susah-susah mama sama ayah di sini,” lanjut sang ayah kepada Lia.

Lia pun berangkat ke Lhokseumawe. Ia duduk di kursi depan mobil angkutan umum, berdampingan dengan sopir. Di tengah perjalanan, mobil berhenti. Cukup lama, sampai ia punya keinginan membatalkan pulang kampung.

“Kok lama kali jalannya Bang,” kata Lia.

“Ada perang di depan lagi dicari Ahmad Kandang,” bisik sopir.

Sesampai di kampung Lia tak menelepon. Jaringan terputus. Telepon rumah tak bisa digunakan. Karena itu saat hendak belanja ke pasar, Mak Bit menyempatkan menelepon ayah Lia dari wartel untuk sekaligus memintanya datang di acara kenduri untuk rezeki panen. Alhasil hari itu Mak Bit tak jadi belanja. Ia pulang dengan air mata berlinang. Kabar dari Langsa yang diterima Mak Bit membuat perempuan ini tak mampu melakukan apa-apa. Sulaiman, adiknya, ditemukan tak bernyawa di sebuah selokan besar.

Setelah mengantar tas ke asrama Lia,  Sulaiman berangkat kerja. Ia bekerja sebagai guru sekolah dasar. Ketika jam sekolah usai, ia mengendarai sepeda motor dan melewati hamparan hutan kecil. Maklum tempat mengajarnya di pedalaman Langsa. Tapi di tengah perjalanan seorang warga mencegatnya untuk menumpang sampai ke kota. Orang tersebut menjadi orang terakhir yang melihat Sulaiman dalam keadaan hidup.

Jenazah Sulaiman ditemukan esok hari. Kebetulan di dekat selokan itu, ada warung  kopi. Warung kopi langganannya juga.

Seorang perempuan penjaga warung memperhatikan sebuah karung goni.

“Kenapa ada ayam matuk-matuk goni itu. Ada apa, dari tadi itu,” katanya kepada pengunjung warung.

Ramai-ramai karung itu dibuka. Isinya mayat.

Lia tak sempat melihat jenazah ayahnya. Begitu ia tiba di Langsa, sang ayah telah dimakamkan.

Namun, ia sempat mencuci celana dan sepatu yang dipakai sang ayah di saat terakhir. Kata orang-orang, jenazah ayahnya ditemukan dengan mulut diperban dan lambung terburai. Di celana ada lubang-lubang hangus seperti bekas disetrum.

“Setelah itu saya tak mau dengar lagi tentang ayah, sedih mengingatnya,” kata Lia.


ANGGREK Bulan baru saja menyelesaikan kuliah Kapita Selekta Pemerintahan ketika saya temui. Ia memakai jilbab abu-abu. Rok hitam. Seperti Lia, ia cukup terbuka bercerita tentang Aceh.

“Aku tidak perlu tertutup, ini salah satu cara untuk membuka diri,” katanya.

Ia tinggal di Kampung Baru, Aceh Tengah. Di depan rumahnya sungai mengalir deras. Aceh Tengah bukan daerah konflik, tapi suara tembakan sering terdengar. Suatu malam sekitar pukul 20.00, di depan rumah Bulan terdengar tembakan.

“Pertama dengar bunyinya seperti petasan,” kenangnya.

Malam itu aliran listrik dipadamkan. Gelap mencekam. Tiang listrik diketok-ketok, bersahutan-sahutan dari tempat ke tempat lain. Di sungai tampak sebuah perahu, yang di atasnya aparat menembak ke seberang sungai.

“Aku ingat itu, tanggal delapan November sembilan delapan (tahun 1998),” katanya.

Sadar akan bahaya, kakak Bulan menyuruh adiknya masuk rumah dan pintu langsung dikunci. Malam itu tak ada yang bisa tidur. Semua gelisah, duduk dan diam, hanya suara berbisik dan hembusan napas yang terdengar. Sementara di luar rumah teriakan terdengar di mana-mana: Lari, lari, lari! Teriakan itu kadang dekat, kadang jauh.

“Kota kami seperti milik mereka (TNI dan GAM),” tutur Bulan.

Tidak hanya itu, beberapa hari kemudian ketika ia hendak ke pasar, dari balik kerumunan orang yang berseliweran tiba-tiba ada yang berteriak.

“Tiarap, tiarap, tiarap…!”

Berapa menit kemudian truk tentara melintas. Mereka menembak serampangan ke atas, ke udara, padahal rumah di sekitar pasar tinggi-tinggi. Sekejap pintu rumah tertutup rapat.

Teriakan terus terdengar, “Tiarap, tiarap, tiarap…!”

 “Wah, waktu itu, aku tiarap saja ke Lumpur,” kisah Bulan kepada saya.

Selain kedua peristiwa itu tentu masih banyak yang disaksikannya. Karena keseringan ia menjadi terbiasa. Saat jalan sore misalnya, suara bom terdengar, dan ia hanya berhenti sejenak. Sambil memiringkan lehernya sedikit dan mengerutkan dahi, ia berkata dalam hati, “Di mana ya (sumber ledakan itu).”

Bulan meninggalkan Aceh pada 2002. Keadaan negeri itu masih rusuh.

Perjalanannya dimulai dengan menumpang bus Patas Kurnia ke Medan, dengan ongkos Rp 55 ribu. Setiap dua kilometer ada pemeriksaan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena Bulan tidak punya KTP, ia mengantongi surat jalan dari kelurahan. Biasanya dalam pemeriksaan itu, perempuan tidak terlalu dipersulit.

“Hanya digodain, minta nomer hp (handphone),” kisah Bulan.

Jika laki-laki akan disuruh turun, diminta buka baju. Kalau mereka tak punya kartu identitas akan digiring ke semak-semak. Kalau masih balik syukur, kalau tidak berarti didoakan saja.

“Itu nggak GAM (Gerakan Aceh Merdeka), nggak TNI (Tentara Nasional Indonesia),” kata Bulan, menjelaskan aksi mereka yang menggeledah.

Di Aceh selalu saja ada keadaan di mana nyawa bisa melayang. Entah pelakunya TNI atau GAM.

Di Yogyakarta Bulan merasa damai. Tak ada lagi suara tembakan dan kekerasan fisik. Tak ada lagi mayat yang ditemukan di selokan. Tapi perlakuan diskriminatif pernah dialami. Di bandara misalnya kopernya dirusak, dicampakkan begitu saja, pelayanannya lebih kasar. Itu ketika petugas tahu kalau ia berasal dari Aceh.

“Dari Aceh ya, ohh…,” katanya, meniru ucapan petugas bandara.


PENGALAMAN tak menyenangkan di masa konflik juga dialami Teuku Muammar yang biasa dipanggil Arnold oleh teman-temannya—karena bertubuh hitam kekar, meskipun tak seberapa tinggi.

Satu bulan sebelum Perjanjian Helsinki pada15 Agustus 2005, Arnold dengan tiga temannya mengendarai sepeda motor ke daerah pedalaman Bireuen.

Ia tak tahu kalau ada pemeriksaan KTP di tengah jalan oleh TNI. Ia tak membawa KTP. Beberapa pertanyaan diajukan kepadanya, bertubi-tubi. Aparat mencurigainya sebagai intel GAM.

“Saya bilang saya tinggal di Bireuen kota. Mereka tak percaya,” kisah Arnold.

Tiba-tiba pukulan mendarat di wajah. Sikunya patah. Tiga bulan mendekam di Rumah Sakit Blang Asem, Bireuen.

Setelah peristiwa itu, ia meninggalkan Aceh. Pada 2005, Arnold resmi jadi mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

“Bosan lihat konflik,” katanya.

Sekarang ia tak peduli lagi dengan Aceh.

“Biarin aja,” katanya.


LEPAS konflik, sekarang syariah Islam membuat anak-anak muda Aceh di rantau ini tak merasa nyaman.

Awalnya di tahun 1999, ketika Taliban (begitulah GAM menyebut mereka ini) melakukan sweeping jilbab. Taliban adalah sebuah organisasi mahasiswa yang pro GAM. Mereka membawa gunting. Mereka menangkap perempuan yang tak memakai jilbab, memotong rambut si pesakit.

“Jadi saya pakai jilbab pertama kali itu, karena takut dengan mereka,” kenang Bulan.

Setelah kuliah, Bulan kemudian tahu dari dosennya bahwa mengenakan jilbab bagi perempuan muslim adalah wajib hukumnya. Meskipun, di kalangan intelektual Islam, penerapan dan hukum mengenakan jilbab ini masih terus jadi perdebatan. Ada yang mengatakan bahwa jilbab bukan pakaian wajib muslimah, tapi pengaruh budaya Arab, yang disetarakan dengan kebiasaan kaum lelaki Arab memelihara jenggot dan mengenakan celana di atas mata kaki.

Bulan lantas mempertanyakan konsep syariah Islam. Semua aturan ditulis dalam aksara Arab, sedangkan bahasanya ya bahasa Indonesia. Menulis nama jalan Sudirman, misalnya dengan huruf Arab.

“Semua di-Arab-kan. Islam bukan seperti itu,” kata Bulan.

Sementara itu Lia kecil sangat menikmati lantunan cae-cae atau pantun tentang cerita Rasul atau hikayat dalam Islam, yang didendangkan di masjid selepas salat subuh.

“Nenek sering membangunkan untuk mendengarkan itu,” kenangnya.

Namun, Lia juga mempertanyakan penerapan syariah Islam di Aceh, yang disebutnya “ketika tidak diminta, malah diberi”.

Bulan lebih tegas lagi.

“Jadi aneh, ada orang berdua-duaan dicambuk 40 kali di lapangan. Terus ada orang yang lewat pegangan tangan dan pelukan. ‘Itu biasa aja,’ jadi sambil melihat itu, aku jadi mikir juga. Siapa yang ditangkap. Siapa yang dibina,” kata Bulan.

“Ini semua kesalahan Jakarta,” sahut Lia, tanpa memerinci keterangannya lebih lanjut.

Sebelum meninggal dibunuh, ayah Lia ingin putrinya melanjutkan sekolah ke Malaysia.

“Ayah suka kalau saya belajar bahasa Inggris yang baik,” kata Lia.

Lia termasuk anak yang pandai di sekolah. Bakatnya sebagai penggambar kaligrafi memberinya jalan. Ia memperoleh beasiswa dari Pencarian Bibit Unggul Daerah (PBUD) yang diadakan sekolahnya. Ada tiga perguruan tinggi pilihan yang disodorkan kepadanya, yaitu Universitas Sumatera Utara, Universitas Syiah Kuala, dan Universitas Negeri Yogyakarta.

Lia memilih Yogyakarta. Alasannya meninggalkan dari Aceh adalah untuk mengembangkan ilmu.

“Orang Aceh kan kurang apresiasi untuk seni rupa. Tapi saya akan buktikan jika jurusan ini bagus,” katanya.

Kini Aceh sudah damai dan perang telah usai. Namun luka dari Aceh belum mampu membuat Lia  bisa tidur lelap. Adiknya yang nomor dua dan akrab dipanggil “Si Dhul” memilih jadi  polisi. Meski Lia yakin yang membunuh ayahnya adalah militer, dendam itu telah surut.

“Pokoknya bangga dengan adek (adik) sekarang, ada yang jagain keluarga. Walaupun seragam itu pernah buat kecewa Lia,” katanya.***


*) Eko rusdianto adalah Kontributor Pantau Aceh Feature Service di Jakarta.

kembali keatas
Kursus Narasi XVIII
FacebookTwitter