ORANG lebih mengenalnya dengan panggilan T.A atau T.A. Sakti. Tapi ia
memiliki nama panjang Teuku Abdullah Sulaiman. Ia lahir di Pidie, 13 September
1954.
Ali Hasymi, penulis dan bekas gubernur Aceh, menyarankan agar ia menggunakan
nama T.A Sakti. Alasannya cuma agar lebih singkat dan melambangkan kampung
kelahirannya,
“Sebenarnya banyak orang yang menyarankan agar hikayat-hikayat tersebut diubah
dalam
Sebilah tongkat menopang tubuhnya. Keriput mulai menghiasi wajahnya. Hari itu
ia mengenakan setelan kemeja kotak-kotak coklat krem dan sarung.
“Dipike legop buet ureung ilhab (Dipikir sama orang, kerja orang kurang
waras),” ujarnya.
Ia tinggal di jalan Miruek Taman, Darussalam, Banda Aceh. Kamar kerjanya tak
seberapa luas. Di situ ada dua lemari besar terbuat dari kayu. Setiap rak
dipenuhi buku, yang sebagian besar merupakan hikayat dan sejarah.
Hikayat-hikayat dicatat dalam lembaran-lembaran tua dan kusam berhuruf
Arab-Melayu. Sebagian besar adalah warisan keluarganya. Beberapa kitab ia
pinjam dari perpustakaan Ali Hasymi.
Seperangkat komputer terletak di sudut ruang. Itu pemberian seorang temannya
yang mengajar di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Sang teman
rupanya juga sangat peduli pada sastra Aceh.
“Lon meubuet lage nyoe ka dari thon 1992, watee nyan phon that “Meudeuhak”
dimuat di Serambi,”(Saya melakukan ini sudah sejak tahun 1992, waktu itu
pertama kali “Meudeuhak” dimuat di harian Serambi Indonesia),” ujarnya,
seraya memperlihatkan karyanya itu kepada saya.
“Meudeuhak” adalah kisah tentang seorang penasihat raja yang masih belia dan
berasal dari pedalaman yang bernama Meudeuhak. Ia mempunyai pikiran yang sangat
cerdas dan mencerahkan, sehingga membuat iri penasihat istana lainnya. Kisah
Meudeuhak ini digolongkan dalam cerita-cerita bersyair.
“Banyak tauladan yang dapat diambil dari kisah ini, seperti Abu Nawas yang juga
penasehat raja, tapi Meudeuhak bukan cerita lucu,” kata T.A.
T.A kecil akrab dengan hikayat. Ibunya yang amat mencintai hikayat menuturkan
kisah-kisah itu kepadanya. Di
“Umi sering mendendangkan hikayat, begitu juga dengan orang kampung,”
kenangnya.
Kecintaan sang ibu terhadap hikayat pelan-pelan menular kepada T.A kecil.
Sebuah hikayat yang berjudul “Akhbarul Karim” telah dihapalnya sejak ia masih
kanak-kanak. Selain pengaruh lingkungan dan keluarga, ketertarikannya pada
hikayat juga karena ada sosok seniman Aceh yang mengilhaminya, yaitu Tengku
Adnan PM TOH yang kini telah almarhum.
“Saya menyaksikan beliau beraksi waktu masih berumur 12 tahun, di
Minatnya terhadap sastra berlanjut hingga remaja. Setelah lulus SMA, T.A
melanjutkan pendidikan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah
Mada,
“Hampir setahun nasib saya tak menentu. Banyak yang menolak karena kaki saya
yang cacat,” tuturnya.
Setelah musibah itu, ia kembali ke Aceh dan berobat di Beutong, Nagan Raya.
Meski sudah berobat, cacatnya tak sembuh total. Namun di
Selain mengajar, ia giat mengalihaksarakan sejumlah hikayat dengan mesin ketik
merek Underwood. Mesin ketik itu buatan Spanyol, keluaran tahun 1979, seharga
Rp 63 ribu. Harganya sangat mahal untuk ukuran masa itu dan bermutu tinggi.
Hampir 25 tahun mesin ketik ini setia membantu T.A melestarikan
hikayat-hikayat tua. T.A sangat menyayangi mesin ketiknya.
Ketika tsunami melanda Aceh dan menghancurkan sebagian
Mesin ketik tua itu kemudian ia simpan dalam lemari bukunya bersama kitab-kitab
hikayat yang juga sudah usang. Baginya, mesin itu adalah saksi bisu yang
menemani perjuangannya.
Ia sempat membeli mesin ketik baru di Pasar Peunayong. Tapi ketika ia mulai
mengetik, ia langsung merasa kelelahan.
“Saya sempat trauma, kerena waktu saya mengetik, bisa jatuh sakit sampai tujuh
belas hari, pengaruhnya benar-benar luar biasa,” ujarnya.
SAMPAI saat ini, T.A telah mengalihbahasakan 30 judul dan kalau dihitung per halaman,
sebanyak 7.000 halaman. Sebagian besar penulisan hikayat tersebut menggunakan
biaya sendiri.
“Masalah yang paling besar yang saya hadapi dalam mengalihbahasakan hikayat ini
adalah tidak adanya dana, saya menggunakan honor mengajar untuk membayar hikayat
yang sudah saya cetak,” keluhnya.
“Biasanya saya datang ke percetakan dengan menggunakan RBT (rakyat banting
tulang alias ojek), karena saya sudah tidak sanggup lagi jalan. Setiap
pengambilan honor mengajar di FKIP Unsyiah, saya menyicil ke percetakan,”
ujarnya.
Kebanyakan buku-buku yang sudah ia cetak, ia titip untuk dijual di di toko
buku. Dalam satu tahun, hanya satu atau dua kali ia mengecek apakah buku-buku
itu laku atau tidak. Ini ia lakukan selama tujuh tahun. Tapi karena kondisi
fisiknya semakin lemah, ia sudah jarang bolak balik ke percetakan dan toko
buku.
“Yang saya lakukan bukan berorentasi pada keuntungan, yang ada malah rugi. Tapi
saya tetap ikhlas, sekarang saya sudah tidak sanggup lagi. Tubuh saya semakin
lemah. Jangankan untuk berpergian, saya paksakan untuk mengetik saja bisa jatuh
sakit,” ujarnya.
T.A masih terus bejuang demi hikayat yang dicintainya, termasuk dengan cara
membantu para sastrawan lain mengirimkan naskah mereka ke media. Ia pernah
pernah membantu UU. Hamidi, seorang peneliti sastra Aceh. Ia mengantarkan
karangan Hamidi ke harian Serambi Indonesia dan media lain dengan
menggunakan ojek.
Usahanya melestarikan hikayat tak pernah surut. T.A pernah menyurati sekitar 80
lembaga atau perseroan yang ada di
“Saya merasa dihargai kalau ada
Dari puluhan lembaga yang dikirimi suratnya itu ada satu dua yang menyambut
baik permohonannya, seperti World Bank Jakarta dan PT Arun di Lhokseumawe.
World Bank memberikan biaya untuk menerjemahkan empat judul hikayat, yaitu
“Hikayat Meudeuhak”, “Hikayat Aulia Tujoh”, “Hikayat NabiYusuf” dan “Hikayat
Akhbarul Karim”. PT Arun memberi biaya terjemahan untuk tiga jilid “Hikayat
Abunawas”.
Selain mengalihaksarakan hikayat-hikayat itu, T.A Sakti juga banyak
menghasilkan karya-karya sendiri dalam bentuk hikayat. Dari sekian banyak
karyanya, ada tiga hikayat yang sudah diterbitkan. Semuanya bernuansakan
lingkungan hidup. “Lingkungan Udep Wajeb Ta Jaga” (lingkungan hidup
wajib dijaga), “Wajeb Ta Sayang Binatang Langka” (wajib disayang binatang
langka) dan “Binatang Ubit Ka Dit Lam Donya” (binatang kecil sudah
sedikit di bumi).
Berkat itu pula ia mendapatkan penghargaan Kehati Award, tahun 2001 dari
Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) dan penulis karya terbaik
Sastra Aceh 2003 dari Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh.
Tapi kerja beratnya tidak hanya berbuah prestasi dan perhargaan, melainkan
penyakit baru. Matanya terserang penyakit katarak. Dua kali ia melakukan
operasi mata.
“Mungkin juga karena pengaruh saya menterjemah hikayat itu siang malam. Padahal
tulisan di dalam kitab itu sudah sulit dibaca, banyak yang sudah hitam, bahkan
siang hari saja saya menggunakan bantuan senter untuk melihat tulisan dalam
kitab hikayat itu,” kata T.A.
UPAYA T.A dalam melestarikan budaya Aceh melalui hikayat telah menarik
perhatian dan simpati kalangan seniman dan sastrawan di Aceh. Menurut Azhari,
pendiri dan direktur Komunitas Tikar Pandan, T.A Sakti merupakan salah satu
dari sedikit orang yang fokus dan mempunyai konsentrasi besar terhadap hikayat.
“Dia orang yang sangat diperlukan sekarang. Karena hikayat-hikayat yang ada
banyak yang berserakan. Dia mempunyai peran penting dalam mengalihbahasakan
hikayat agar bisa dinikmati masyarakat Aceh,” ujar Azhari.
Azhari berharap, T.A punya penerus untuk menjaga dan melanjutkan perjuangannya.
Tujuannya agar hikayat Aceh bisa bertahan dan tidak punah. Sebab, menurut
Azhari, hikayat merupakan semangat bagi orang Aceh.
Sedangkan Badruzzaman Ismail, ketua Majelis Adat Aceh (MAA), mengatakan bahwa
hikayat merupakan simbol yang menunjukkan identitas Aceh. Di dalamnya terdapat
nazam-nazam (nasehat) dengan metode penyampaiannya yang menyentuh hati.
“T.A Sakti telah membangkitkan kembali identitas Aceh, karena identitas
itu perlu, untuk membangkitkan kebanggaan yang direalisasikan dalam bentuk
positif perilaku rakyat Aceh,” ujarnya.
MAA pernah mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan bantuan kepada T.A
Sakti untuk mencetak karya-karyanya. Meski mengakui bahwa lembaganya tidak
punya peran dan dana untuk hal-hal yang telah dilakukan Sakti, Badruzzaman
kerap memberi motivasi kepada T.A Sakti dalam menghasilkan karya.
Ironisnya, saat ini hampir tidak ada lagi masyarakat Aceh yang peduli dengan
hikayat. Lebih-lebih lagi generasi muda.
“Generasi muda tidak menyukai hikayat, karena mereka tidak memahami dan
menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat,” cetus Badruzzaman.
DI kamar kerjanya yang kecil, T.A terus bergulat dengan buku dan kitab-kitab
hikayat. T.A juga tengah menerjemahkan sejumlah hikayat ke dalam bahasa Melayu.
Dia berharap mendapat sambutan dari pemerintah negeri jiran.
“Saya berharap pemerintah
“Saya sempat berpikir, kalau nanti anak-anak saya tidak tertarik dengan
hikayat-hikayat Aceh ini dan seperti yang telah saya lakukan, semua buku-buku
yang ada di sini akan saya hibahkan ke orang lain,” lanjutnya, sambil menunjuk
ke deretan buku yang bersusun rapi di lemari.
*) Kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Ia juga mahasiswa
Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry, Banda Aceh.