BERANDA
LIPUTAN
PROGRAM
MAJALAH
PROFIL
Hikayat TA Sakti
Mellyan
Mon, 28 April 2008
Lelaki tua ini berjuang untuk melestarikan hikayat-hikayat Aceh yang mulai diabaikan kaum muda.

ORANG lebih mengenalnya dengan panggilan T.A atau T.A. Sakti. Tapi ia memiliki nama panjang Teuku Abdullah Sulaiman. Ia lahir di Pidie, 13 September 1954.

Ali Hasymi, penulis dan bekas gubernur Aceh, menyarankan agar ia menggunakan nama T.A Sakti. Alasannya cuma agar lebih singkat dan melambangkan kampung kelahirannya, kota Sakti. Ia punya kerja yang tak lazim, yaitu mengumpulkan hikayat dan mengalihaksarakan hikayat tersebut dari aksara arab-melayu ke aksara latin, namun tetap dalam bahasa Aceh.

“Sebenarnya banyak orang yang menyarankan agar hikayat-hikayat tersebut diubah dalam gaya bahasa yang lebih modern. Tapi saya tidak mau sedikit pun mengubahnya, biar tetap asli,” ujarnya.

Sebilah tongkat menopang tubuhnya. Keriput mulai menghiasi wajahnya. Hari itu ia mengenakan setelan kemeja kotak-kotak coklat krem dan sarung.

“Dipike legop buet ureung ilhab (Dipikir sama orang, kerja orang kurang waras),” ujarnya.

Ia tinggal di jalan Miruek Taman, Darussalam, Banda Aceh. Kamar kerjanya tak seberapa luas. Di situ ada dua lemari besar terbuat dari kayu. Setiap rak dipenuhi buku, yang sebagian besar merupakan hikayat dan sejarah.

Hikayat-hikayat dicatat dalam lembaran-lembaran tua dan kusam berhuruf Arab-Melayu. Sebagian besar adalah warisan keluarganya. Beberapa kitab ia pinjam dari perpustakaan Ali Hasymi.

Seperangkat komputer terletak di sudut ruang. Itu pemberian seorang temannya yang mengajar di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Sang teman rupanya juga sangat peduli pada  sastra Aceh.  

“Lon meubuet lage nyoe ka dari thon 1992, watee nyan phon that “Meudeuhak” dimuat di Serambi,”(Saya melakukan ini sudah sejak tahun 1992, waktu itu pertama kali “Meudeuhak” dimuat di harian Serambi Indonesia),” ujarnya, seraya memperlihatkan karyanya itu kepada saya.

“Meudeuhak” adalah kisah tentang seorang penasihat raja yang masih belia dan berasal dari pedalaman yang bernama Meudeuhak. Ia mempunyai pikiran yang sangat cerdas dan mencerahkan, sehingga membuat iri penasihat istana lainnya. Kisah Meudeuhak ini digolongkan dalam cerita-cerita bersyair.

“Banyak tauladan yang dapat diambil dari kisah ini, seperti Abu Nawas yang juga penasehat raja, tapi Meudeuhak bukan cerita lucu,” kata T.A.

T.A kecil akrab dengan hikayat. Ibunya yang amat mencintai hikayat menuturkan kisah-kisah itu kepadanya. Di kota Sakti, Pidie, masa itu belum ada pesawat televisi atau radio. Tak banyak hiburan yang bisa dinikmati anak-anak.  

“Umi sering mendendangkan hikayat, begitu juga dengan orang kampung,” kenangnya.

Kecintaan sang ibu terhadap hikayat pelan-pelan menular kepada T.A kecil. Sebuah hikayat yang berjudul “Akhbarul Karim” telah dihapalnya sejak ia masih kanak-kanak. Selain pengaruh lingkungan dan keluarga, ketertarikannya pada hikayat juga karena ada sosok seniman Aceh yang mengilhaminya, yaitu Tengku Adnan PM TOH yang kini telah almarhum.

“Saya menyaksikan beliau beraksi waktu masih berumur 12 tahun, di kota Sakti.   Pertunjukannya memikat hati saya, dengan alat peraga, ia dapat memerankan berbagai tokoh dalam hikayat, saya ingat waktu itu beliau sedang membawakan kisah Malem Diwa,” tutur T.A.

Minatnya terhadap sastra berlanjut hingga remaja. Setelah lulus SMA, T.A melanjutkan pendidikan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Namun tahun 1985, ia mengalami kecelakaan lalu-lintas. Waktu itu ia pulang dari mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai syarat menyelesaikan pendidikan. Kedua kakinya mengalami cedera serius, kemudian lumpuh. 

“Hampir setahun nasib saya tak menentu. Banyak yang menolak karena kaki saya yang cacat,” tuturnya.

Setelah musibah itu, ia kembali ke Aceh dan berobat di Beutong, Nagan Raya. Meski sudah berobat, cacatnya tak sembuh total. Namun di sana kecintaannya pada hikayat kembali tumbuh. Setelah itu ia kembali ke Banda Aceh dan melamar sebagai pengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala.

Selain mengajar, ia giat mengalihaksarakan sejumlah hikayat dengan mesin ketik merek Underwood. Mesin ketik itu buatan Spanyol, keluaran tahun 1979, seharga Rp 63 ribu. Harganya sangat mahal untuk ukuran masa itu dan bermutu tinggi. Hampir 25 tahun  mesin ketik ini setia membantu T.A melestarikan hikayat-hikayat tua. T.A sangat menyayangi mesin ketiknya.

Ketika tsunami melanda Aceh dan menghancurkan sebagian kota Banda Aceh, mesin ketiknya ikut jadi korban. Walaupun sudah dibersihkan, sisa lumpur masih melekat pada bagian dalam mesin. Sebagian onderdil copot. Karat menempel pada besi-besi mesin yang tersisa. Tombol-tombol hurufnya mengeras.

Mesin ketik tua itu kemudian ia simpan dalam lemari bukunya bersama kitab-kitab hikayat yang juga sudah usang. Baginya, mesin itu adalah saksi bisu yang menemani perjuangannya.

Ia sempat membeli mesin ketik baru di Pasar Peunayong. Tapi ketika ia mulai mengetik, ia langsung merasa kelelahan.

“Saya sempat trauma, kerena waktu saya mengetik, bisa jatuh sakit sampai tujuh belas hari, pengaruhnya benar-benar luar biasa,” ujarnya.


SAMPAI saat ini, T.A telah mengalihbahasakan 30 judul dan kalau dihitung per halaman, sebanyak 7.000 halaman. Sebagian besar penulisan hikayat tersebut menggunakan biaya sendiri.

“Masalah yang paling besar yang saya hadapi dalam mengalihbahasakan hikayat ini adalah tidak adanya dana, saya menggunakan honor mengajar untuk membayar hikayat yang sudah saya cetak,” keluhnya.

“Biasanya saya datang ke percetakan dengan menggunakan RBT (rakyat banting tulang alias ojek), karena saya sudah tidak sanggup lagi jalan. Setiap pengambilan honor mengajar di FKIP Unsyiah, saya menyicil ke percetakan,” ujarnya.

Kebanyakan buku-buku yang sudah ia cetak, ia titip untuk dijual di di toko buku. Dalam satu tahun, hanya satu atau dua kali ia mengecek apakah buku-buku itu laku atau tidak. Ini ia lakukan selama tujuh tahun. Tapi karena kondisi fisiknya semakin lemah, ia sudah jarang bolak balik ke percetakan dan toko buku.

“Yang saya lakukan bukan berorentasi pada keuntungan, yang ada malah rugi. Tapi saya tetap ikhlas, sekarang saya sudah tidak sanggup lagi. Tubuh saya semakin lemah. Jangankan untuk berpergian, saya paksakan untuk mengetik saja bisa jatuh sakit,” ujarnya.

T.A masih terus bejuang demi hikayat yang dicintainya, termasuk dengan cara membantu para sastrawan lain mengirimkan naskah mereka ke media. Ia pernah pernah membantu UU. Hamidi, seorang peneliti sastra Aceh. Ia mengantarkan karangan Hamidi ke harian Serambi Indonesia dan media lain dengan menggunakan ojek.

Usahanya melestarikan hikayat tak pernah surut. T.A pernah menyurati sekitar 80 lembaga atau perseroan yang ada di Indonesia. Mayoritas suratnya tak dibalas. Balasan justru dating dari lembaga asing, meski isinya menolak memberi bantuan.

“Saya merasa dihargai kalau ada surat balasan walaupun berisi penolakan,” cetusnya.

Dari puluhan lembaga yang dikirimi suratnya itu ada satu dua yang menyambut baik permohonannya, seperti World Bank Jakarta dan PT Arun di Lhokseumawe. World Bank memberikan biaya untuk menerjemahkan empat judul hikayat, yaitu “Hikayat Meudeuhak”, “Hikayat Aulia Tujoh”, “Hikayat NabiYusuf” dan “Hikayat Akhbarul Karim”. PT Arun memberi biaya terjemahan untuk tiga jilid “Hikayat Abunawas”.

Selain mengalihaksarakan hikayat-hikayat itu, T.A Sakti juga banyak menghasilkan karya-karya sendiri dalam bentuk hikayat. Dari sekian banyak karyanya, ada tiga hikayat yang sudah diterbitkan. Semuanya bernuansakan lingkungan hidup. “Lingkungan Udep Wajeb Ta Jaga” (lingkungan hidup wajib dijaga), “Wajeb Ta Sayang Binatang Langka” (wajib disayang binatang langka) dan “Binatang Ubit Ka Dit  Lam Donya” (binatang kecil sudah sedikit di bumi).

Berkat itu pula ia  mendapatkan penghargaan Kehati Award, tahun 2001 dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) dan penulis karya terbaik Sastra Aceh 2003 dari Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh.

Tapi kerja beratnya tidak hanya berbuah prestasi dan perhargaan, melainkan penyakit baru. Matanya terserang penyakit katarak. Dua kali ia melakukan operasi mata.

“Mungkin juga karena pengaruh saya menterjemah hikayat itu siang malam. Padahal tulisan di dalam kitab itu sudah sulit dibaca, banyak yang sudah hitam, bahkan siang hari saja saya menggunakan bantuan senter untuk melihat tulisan dalam kitab hikayat itu,” kata T.A.


UPAYA T.A dalam melestarikan budaya Aceh melalui hikayat telah menarik perhatian dan simpati kalangan seniman dan sastrawan di Aceh. Menurut Azhari, pendiri dan direktur Komunitas Tikar Pandan, T.A Sakti merupakan salah satu dari sedikit orang yang fokus dan mempunyai konsentrasi besar terhadap hikayat.

“Dia orang yang sangat diperlukan sekarang. Karena hikayat-hikayat yang ada banyak yang berserakan. Dia mempunyai peran penting dalam mengalihbahasakan hikayat agar bisa dinikmati masyarakat Aceh,” ujar Azhari.

Azhari berharap, T.A punya penerus untuk menjaga dan melanjutkan perjuangannya. Tujuannya agar hikayat Aceh bisa bertahan dan tidak punah. Sebab, menurut Azhari, hikayat merupakan semangat bagi orang Aceh.

Sedangkan Badruzzaman Ismail, ketua Majelis Adat Aceh (MAA), mengatakan bahwa hikayat merupakan simbol yang menunjukkan identitas Aceh. Di dalamnya terdapat nazam-nazam (nasehat) dengan metode penyampaiannya yang menyentuh hati.

“T.A Sakti  telah membangkitkan kembali identitas Aceh, karena identitas itu perlu, untuk membangkitkan kebanggaan yang direalisasikan dalam bentuk positif perilaku rakyat Aceh,” ujarnya.

MAA pernah mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan bantuan kepada T.A Sakti untuk mencetak karya-karyanya. Meski mengakui bahwa lembaganya tidak punya peran dan dana untuk hal-hal yang telah dilakukan Sakti, Badruzzaman kerap memberi motivasi kepada T.A Sakti dalam menghasilkan karya.

Ironisnya, saat ini hampir tidak ada lagi masyarakat Aceh yang peduli dengan hikayat. Lebih-lebih lagi generasi muda.

“Generasi muda tidak menyukai hikayat, karena mereka tidak memahami dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat,” cetus Badruzzaman.


DI kamar kerjanya yang kecil, T.A terus bergulat dengan buku dan kitab-kitab hikayat. T.A juga tengah menerjemahkan sejumlah hikayat ke dalam bahasa Melayu. Dia berharap mendapat sambutan dari pemerintah negeri jiran.

“Saya berharap pemerintah Malaysia nantinya dapat membantu  dan menghargai kerja keras saya serta dapat menerbitkannya. Mereka lebih peduli terhadap budaya, berbeda dengan Indonesia yang hanya sibuk korupsi saja,” ujarnya, kesal.

“Saya sempat berpikir, kalau nanti anak-anak saya tidak tertarik dengan hikayat-hikayat Aceh ini dan seperti yang telah saya lakukan, semua buku-buku yang ada di sini akan saya hibahkan ke orang lain,” lanjutnya, sambil menunjuk ke deretan buku yang bersusun rapi di lemari.


*) Kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Ia juga mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry, Banda Aceh.

kembali keatas
Kursus Narasi XVIII
FacebookTwitter