Mengkritisi Kritik
Mon, 6 August 2001
AHMAD Rofiq, Kebayoran Lama, Jakarta, pernah menelepon saya mempertanyakan kenapa Pantau sepertinya mengakomodasi banyak orang-orang kiri
AHMAD
Rofiq, Kebayoran Lama, Jakarta, pernah menelepon saya mempertanyakan kenapa
Pantau sepertinya mengakomodasi banyak orang-orang kiri, karikaturis Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra), dan penulis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Saya
meneruskan pertanyaan itu kepada Andreas Harsono, penanggung jawab majalah ini.
Bertolak dari pernyataan Harsono, seorang yang menyebut dirinya Umar Husein
mengirim email menyoroti Coen Husain Pontoh yang tulisannya "Amanat Hati
Nurani Rakyat" tentang Kompas yang tumbuh besar tapi juga dihadang soal
perburuhan, politik dan suksesi (Pantau April 2001). Tulisan lainnya,
"Rajawali Terbang Tinggi," tentang bagaimana RCTI mengatasi krisis
keuangan dan kompetisi pada zaman perubahan, diterbitkan pada edisi Juni.
Husein mengutip Harsono yang menyatakan, "Pantau tidak penting apakah
kontributor itu kiri atau kanan. Yang penting mereka punya kemampuan menulis
yang baik untuk memperjuangkan kebebasan pers dan sepakat mempertinggi mutu
jurnalisme Indonesia lewat sajian informasi yang jujur, akurat, dan fair
tentang media dan jurnalisme itu sendiri." Husein bertanya, apakah main
mata dengan media tertentu demi kepentingan sendiri merupakan tindakan yang
dibenarkan Pantau?
Kritik diarahkan kepada aktifitas pribadi Coen Husain Pontoh. Kata Husein, pada
1999 ketika menjabat ketua tim sukses pemilihan umum Partai Rakyat Demokratik,
Pontoh memberikan penghargaan berupa PRD Award dan uang sekian juta rupiah
kepada dua media, radio Trijaya FM dan harian Rakyat Merdeka. Imbalannya,
banyak tulisan anak-anak dan statemen-statemen PRD yang disiarkan kedua media
tersebut. Menurut pemahaman Husein, jika "main mata" itu tak
dibenarkan, Pontoh tak layak dipekerjakan Pantau.
Menurut Husein, pada 1996 PRD Award diberikan kepada “para pembangkang” seperti
Pramoedya Ananta Toer, George Aditjondro, Xanana Gusmao, dan penerbit Hasta
Mitra. Dia mempertanyakan mengapa tiga tahun kemudian penghargaan itu justru
diberikan kepada dua buah media yang “mutunya” masih dipertanyakan.
Husein mengaku dirinya bukan aktivis pers, tapi berpendapat masih banyak media
lain yang punya sumbangan pada perjuangan menggulingkan Presiden Soeharto, dan
bukan media yang oleh Husein disebut “provokator.” Husein menyatakan bisa
menjamin kebenaran informasinya, karena, katanya, " Pertama saya adalah
anggota KAHMI di mana Pontoh juga anggotanya, dan kedua saya adalah rekan
bisnis dari Trijaya."
Kerja Pontoh menulis tentang Kompas dan RCTI, menurut Husein, berbuah
terbangunnya kontak dengan para petinggi media besar tersebut. Kata Husein, di
Korps Alumni Himpungan Mahasiswa Islam (KAHMI) cabang Jakarta, sudah jadi
rahasia umum bahwa sekarang Pontoh bisa gampang keluar masuk kantor Daniel
Dhakidae, kepala lembaga penelitian dan pengembangan Kompas, dan bicara
berjam-jam, meski kabarnya dia tak disukai oleh kelompok garis keras Kompas.
Sedangkan di RCTI Pontoh mulai sering datang ke Kebon Jeruk dan nongkrong di
kantin RCTI bersama produser Teguh Juwarno. Menurut Husein, walau dikemukakan
dalam nada tanya, melakukan tugas "demi peningkatan karir pribadi"
seperti itu tak dapat dibenarkan.
Saya menyarankan Husein menilai karya Pontoh dari aspek fairness, akurasi,
kedalaman liputan, analitisnya, gaya reportase, dan seterusnya. Dan saya
tawarkan pertemuan bertiga.
Husein mengemukakan alasan menulis surat kepada Pantau karena menurutnya
seorang penulis harus diketahui kapasistas dan sejarahnya. Tulisan mencerminkan
karakter dan kapasitas penulisnya. Husein menilai Pontoh oportunis. Dulu keluar
dari Himpunan Mahasiswa Islam karena kalah dalam pemilihan ketua cabang.
Kemudian masuk Partai Rakyat Demokratik. Dari pembela Islam jadi pembela
sosialisme-komunisme. Kemudian keluar lagi dari PRD tapi, kata Husein, masih
menganggap dirinya komunis. Pontoh juga dinilai sebagai orang yang sok tahu
dengan kebanggaan intelektualnya. Dia lulusan Fakultas Peternakan Universitas
Sam Ratulangi, Manado, tapi sok tahu politik, ekonomi, dan hukum. Husein bilang
dirinya tak menghalangi orang menguasai lintas ilmu dan orang bisa otodidak.
Tapi, menurut pendapatnya, bagaimana pun akan beda pengetahuan seorang ahli
ternak sapi dan ahli hukum dalam memandang masalah hukum perbankan. Pontoh
misalnya menulis "rapat pemegang saham" yang seharusnya "rapat
umum pemegang saham" --menurut versi yang tercantum dalam Undang-undang
Perseroan Indonesia. Pantau tak konsisten, menulis dua macam: rapat umum
pemegang saham dan rapat pemegang saham. Husein menyertakan sepotong
identitasnya: alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawidjaya, Malang.
Berikutnya Pontoh, menurut Husein, juga tak menjelaskan RCTI itu perusahaan
privat atau perusahaan publik. Ketidakmengertian ini dilanjutkan Pontoh dengan
mempermasalahkan saham individu. Pontoh menghabiskan beberapa alinea hanya
untuk mencari saham individual ini. Kata Husein, kalau orang mengerti hukum
perusahaan, maka dia tahu bahwa kepemilikan saham itu tak terlalu penting, yang
jadi masalah adalah bagaimana campur tangan owner terhadap manajemen. Ambil
contoh kasus BCA sebelum 1998, keluarga Soedono Salim cuma punya saham tak
sampai 20 persen, tapi dia bisa campur tangan masalah intern perusahaan
sehingga dewan direksi tak independen. Masalahnya apakah Bambang Trihatmodjo
dan keluarga Cendana campur tangan atau tidak dalam manajemen RCTI? Yang
penting RCTI jadi perusahaan yang modern atau tidak? Ini tidak diungkap.
Disebutkan Pontoh, Hary Tanusoedibyo menguasai 10 persen saham, tapi juga
menjadi komisaris. Seharusnya ini disorot karena bagaimana seorang owner bisa
jadi pengawas sekaligus, ini menunjukkan bahwa RCTI belum jadi sebuah company
yang sehat, tulis Husein.
Selanjutnya Husein menyatakan, Pontoh hanya mengungkap masalah pemberitaan RCTI
yang dianggap berat sebelah. "Saya rasa itu adalah hak redaksi untuk
menentukan keberpihakannya," ujar Husein. Yang jadi pertanyaan apakah
owner RCTI mengintervensi redaksi untuk membuat pemberitaan tertentu? Pontoh
menyebut tentang empat tabu untuk diberitakan RCTI, tapi dia tak menjelaskan
siapa yang menitip pesan tabu itu? Militer atau owner RCTI? Pontoh hanya
menyebut manajemen. Kalau hanya sebatas manajemen berarti dewan direksi RCTI
yang ketika itu memang berideologi pro Orde Baru. "Jadi jangan disalahkan
Bambang atau Cendana dong, mereka nggak intervensi pun direksi RCTI pasti membela
kepentingan mereka," kata Husein.
Pontoh juga tak membedah status RCTI sebagai anak perusahaan Bimantara atau
bukan. Pontoh terus berkutat pada kepemilikan saham antara Bimantara dan
Bambang. Status RCTI itu perusahaan yang di-take-over Bimantara atau anak perusahaan,
akan menentukan hubungan Bimantara dengan RCTI, jadi masalahnya bukan di
kepemilikan saham, kritik Husein.
Kata Husein, Pontoh juga tidak tahu fungsi komisaris, beberapa orang yang dia
sebut dalam tulisannya adalah komisaris perusahaan. Dalam sebuah perusahaan,
komisaris berfungsi sebagai pengawas, dan sudah bukan rahasia bahwa komisaris
di Indonesia ini sering hanya menjadi pajangan, biasanya dia diambil dari orang
terkenal atau pejabat pemerintah. Menurut pendapatnya, buat apa Pontoh repot-repot
mengejar Peter F. Gontha yang merupakan mantan komisaris RCTI untuk menanyakan
masalah kepemilikan saham. Komposisi saham bukan urusan komisaris.
Tulisan Pontoh tentang Kompas terkesan “sok Marxis membela kepentingan buruh.”
"Saya rasa lebih penting kalau Coen mengulas perubahan misi dan visi
Kompas dari sebuah koran kelompok Katolik sampai pada awal abad baru ini.
Apakah sekarang dia masih memposisikan sebagai corong kelompok Katolik atau
tidak?" kata Husein.
"Pontoh juga tidak menulis tentang isi pemberitaan Kompas yang sering
menyinggung kelompok Islam. Dalam tulisan Coen seakan-akan yang ditonjolkan
sisi kapitalistik Kompas melulu. Masalah perburuhan juga penting, tapi inipun
tidak mendalam karena Coen tidak banyak menyajikan data tentang korban-korban
PHK Kompas, bahkan ada seorang pemuda yang meninggal karena narkoba setelah di
PHK Kompas," kata Husein.
SAYA hubungi Coen Husain Pontoh, meminta klarifikasi tentang surat Husein yang
saya terima. Pontoh menjawab, "Saya sama sekali tidak berkeberatan untuk
klarifikasi. Email-email model Umar Husein ini saya anggap hal yang wajar,
sewajar intrik yang sering kami terima ketika saya masih di PRD. Saya bahkan
mengusulkan agar bisa ketemu bertiga dengan Husein ini, plus Teguh Juwarno.
Kalau ada yang bisa saya bantu, saya bersedia."
Pontoh bilang, "Benar bahwa saya saat sebagai ketua Tim Sukses Pemilihan
Umum PRD memberikan penghargaan pada beberapa kelompok yang saat itu kami
pandang bersikap keras terhadap Orde Baru. Ini memang merupakan acara tahunan
PRD setiap memperingati hari lahirnya. Kelompok yang kami berikan penghargaan
saat itu adalah, dari elemen mahasiswa (Forkot dan Solidaritas Mahasiswa untuk
Rakyat (SMUR) Aceh) dan media (Rakyat Merdeka dan Trijaya FM). Ada satu lagi,
tapi saya lupa nama elemennya. Penghargaan itu dalam bentuk trophy. Tapi, tidak
benar jika kami memberikan uang pada mereka."
Mengenai tudingan melakukan tugas Pantau untuk memperoleh hasil sampingan,
Pontoh bilang, "Waduh pak Said, saya kenal bung Daniel jauh sebelum saya
menjadi kontributor Pantau. Dan semenjak saya menulis Kompas, saya belum pernah
lagi menginjakkan kaki di gedung yang megah itu, hingga sekarang. Bahkan untuk
telepon Mas Tommy (Suryopratomo), saya tak pernah lagi, setelah profilnya naik
cetak dan beredar. Demikian juga dengan RCTI. Saya terakhir kali kontak orang
RCTI adalah ibu Nenny Soemawinata, yakni saat konfirmasi terakhir via telepon. Setelah itu tidak pernah ada hubungan dengan
siapapun di sana,
baik via telepon maupun dengan mendatangi kantor RCTI. Makan-makan dengan Teguh
Juwarno? Namanya saya tahu sebagai salah satu pembaca berita RCTI dan terakhir
katanya menjabat sebagai humas RCTI (info ini saya peroleh dari Ray Wijaya,
narasumber saya waktu menulis RCTI). Tapi, secara pribadi, saya tak pernah
kenal orang ini, tidak pernah bertemu muka, apalagi makan di kantin RCTI.
Kantinnya saja saya tak tahu. Dan saya percaya, Teguh tak kenal saya atau
paling tidak dia belum pernah makan dengan Coen Husain Pontoh. Pak Said bisa
cek soal ini."
"Komentar yang lain", tambahnya, "saya kira bung Umar Husein ini
cukup teliti mengikuti perkembangan diri saya. Agaknya, orang seperti saya di
matanya cukup penting sehingga harus bersusah payah menelisik hingga jauh.
Memang ada beberapa teman saya di HMI. Tapi, saya sama sekali bukan anggota
KAHMI, kecuali untuk menjadi anggotanya tak perlu ndaftar tapi di klaim aja.
Saya kira, ini saja komentar dari saya".
HUSEIN menulis kepada Pantau agaknya didorong terutama oleh keyakinan
"ideologis"-nya. Kalau ia berpendapat penulis haruslah diketahui
kapasitas dan sejarahnya, tentunya Husein sependapat, pengkritik seharusnya
juga demikian. Sayang pada proses terakhir komunikasi saya dengannya terputus,
undangan pertemuan tidak dijawab. Sehingga tersisa identitas, Husein alumnus
Universitas Brawijaya, dan anggota KAHMI. Itu saja.
Sejumlah hal yang dikemukakan Husein dibantah oleh Pontoh dan hasil pengecekan
saya Pontoh tidak bohong. Artinya, data Umar Husein tidak akurat. Misalnya,
sering nongkrong di kantin RCTI bersama Teguh Juwarno. Misal lainnya, seolah
karena menulis Kompas lalu kenal dekat Daniel Dhakidae.
Saya prihatin terhadap pemahaman Husein bahwa membela buruh itu perilaku sok
Marxis. Islam juga mengajarkan, "Bayarlah upah sebelum keringat buruh
mengering."
Sayang, ajakan saya bertemu bertiga, tidak terlaksana. Keinginan untuk
mengklarifikasi pernyataan-pernyataan Husein, seputar keterkaitan antar elemen
dalam suatu badan usaha, masalah politik, dan jurnalistik jadi tidak terpenuhi.
Memang bisa terjadi bias pandangan Pontoh terhadap permasalahan yang dia tulis,
sadar atau tidak, sehubungan latar belakang aktifitasnya. Keberadaan seperti
itu sepatutnya mendorong Pontoh selalu lebih cermat dalam melakukan kerja
jurnalistik. Penilaian akhirnya pada karya jurnalistiknya itu.
Di pihak lain kritik patutnya mengutamakan penilaian pada apa yang tertulis,
yang "on air." Kalau tidak, jadinya ngelantur menuding-nuding
seperti, "Pontoh tadinya membela Islam beralih membela
sosialisme-komunisme, keluar dari PRD tapi tetap merasa komunis." Apa
manfaatnya, apa parameternya? *