Labirin Impian
Thu, 1 March 2001
SUATU ketika ia berdiri di depan pondokannya yang oleh tetangga sekitar dikenal dengan nama Padepokan Ngawu-awu Langit.
SUATU
ketika ia berdiri di depan pondokannya yang oleh tetangga sekitar dikenal
dengan nama Padepokan Ngawu-awu Langit. Ia berteriak-teriak, menjerit-jerit, marah, dan
tertawa dengan ekspresi aneh. Para tetangga tak mengacuhkannya sama sekali. Itu
sudah biasa bagi mereka karena ia aktor yang cukup dikenal, paling tidak bagi
para tetangga. Namanya, Nuruddin Asyhadie, dan bersama beberapa seniman lain,
seperti Rudi Heru Sutedja dan Ikun Eska, ia mendirikan Pabrik Tontonan, sebuah
kelompok seni dan teater di Yogyakarta.
Mereka kemudian tak hanya dikenal para tetangga, terutama setelah meluncurkan
situs tontonan.com. Isi situs ini melulu tentang tontonan. Ada teater, film,
pentas musik, pameran, atau apa pun yang sekiranya bisa jadi tontonan. Selain
berlatih, misalnya untuk pementasan karya Jean Genet Haute Surveliance,
Nuruddin menulis artikel sendiri, mendesain halaman web-nya sendiri, dan men-up
load-nya ke internet, juga sendiri. Namun, tentu saja tidak ditontonnya sendiri
pula.
Banyak anak muda membuat situs-situs seperti itu, terhimpit di antara
portal-portal besar. Karakteristik mereka nyaris sama; digarap hanya oleh
beberapa orang, dimodali ala kadarnya, nyaris tanpa iklan komersial, bahkan
hosting-nya kadangkala gratis, tapi serius menyajikan isi dan penampilan situs.
Selain itu, situs-situs ini seringkali merupakan portal kecil-kecilan untuk
kelompok minat tertentu.
Menurut Yayan Sofyan, mantan redaktur kebudayaan tabloid Detik, yang ikut
mendirikan detik.com, kemunculan situs-situs semacam itu merupakan konsekuensi
logis dari berbagai kemudahan yang tersedia di internet untuk menerbitkan apa
pun sesuai keinginan dan minat orang. “Dalam cara pandang tradisional, media
adalah sesuatu yang ekslusif,” katanya, “Tak ada tempat yang cukup untuk
subyek-subyek yang diminati oleh himpunan sosial yang relatif kecil,”
lanjutnya.
Misalnya, situs komik di komikaze99.com. Ini sungguh-sungguh situs komik dan
hanya bicara mengenai komik. Ada komik pendek, resensi buku komik, esei
mengenai komik, berita-berita mengenai komik, dan sebuah ruang diskusi, juga
harus mengenai komik. Situs ini digarap oleh Agung Arif Budiman seorang diri
sebagai web master-nya. Di situs ini orang bisa membaca esei Goenawan Mohamad
atau Seno Gumira Ajidarma, juga mengenai komik, selain link ke beberapa tempat
yang menyajikan apa pun mengenai fokus perhatian mereka.
Dulu saya berjumpa dengan anak muda ini sebagai sesama penggemar komik. Bersama
Andy Seno Aji, kami membuat komik di bawah nama Komikaze. Sangat sulit
mempublikasikan karya komik, sehingga pada awalnya hanya dicetak dalam bentuk
fotokopi. Namanya disebut komik underground. Sifat underground inilah yang kata
Agung membuat komiknya sangat mudah diaplikasikan di web. Ketika saya dan Andy
putus asa untuk terus membuat komik, Agung melaju sendiri meluncurkan komikaze99.com
di web.
Dari sinilah komik-komik itu (yang apa boleh buat memang bukan selera para
penerbit besar) bisa diapresiasi orang secara lebih luas. Isi situs dilengkapi
dengan mengetik ulang beberapa artikel mengenai komik yang diambil dari
tumpukan kliping koran dan majalah. Yang menarik, komikaze99.com memberi
layanan e-mail gratis layaknya portal besar seperti yahoo.com atau sejenisnya.
Untuk menarik perhatian pengunjung agar membuat account e-mail di situs ini,
komikaze99.com membuat pendekatan yang cukup unik. Pengunjung yang memiliki
e-mail di sana akan memperoleh kiriman komik pendek secara gratis. Tentunya
dikirim melalui e-mail tersebut.
Domain situs komikaze99.com diperoleh secara gratis dari namezero.com. Untuk
hosting, Agung memperolehnya secara gratis di tripod.com, sehingga alamat situs
ini yang sebenarnya adalah komikaze99.tripod.com. Dengan namezero.com
dimungkinkan untuk memperoleh nama domain secara gratis, kemudian nama tersebut
di-forward ke alamat yang sesungguhnya. Selain namezero.com, beberapa situs
sejenis yang memberi layanan pemberian domain gratis antara lain namedemo.com,
name4ever.com, dan beberapa nama lain.
Situs lain yang cukup menarik dan juga mempergunakan layanan namezero.com
adalah sebuah situs bernama pembunuhan.com. Tanpa sengaja saya memperoleh
alamatnya melalui sebuah iklan yang dipasang di selebaran sebuah partai
mahasiswa pada Pemilu Raya Universitas Gadjah Mada beberapa waktu lalu. Seperti
komikaze99.com, mereka hosting di tripod.com dengan alamat sesungguhnya di pembunuhan.tripod.com.
Namanya cukup mengerikan, dan isinya jauh lebih mengerikan. Halaman utama
tampil dengan berita-berita pembunuhan paling gres. Judulnya langsung menusuk
mata, tanpa tedeng aling-aling: Penjaga Malam Tewas Dibacok, Dua Nelayan Tewas
Ditembak Kapal Asing, Gerombolan Bersenjata Bunuh 11 Anggota Keluarga di India
Timur. Isinya yang melulu tentang pembunuhan seolah siap membunuh situs-situs
besar yang nyaris seragam.
Dalam pembunuhan.com orang juga bisa memperoleh data-data pembunuhan, termasuk
pembunuhan di Indonesia. Di antaranya, kasus pembunuhan kaum komunis 1960-an
dalam beberapa versi (Fact Finding Commision KOTI, tahun 1966, 78.000 jiwa;
Encyclopedia Britannica, tahun 1992, 3.000.000 jiwa; Pernyataan Panglima
Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Soedomo, tahun 1976, 450.000-500.000
jiwa), peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Semanggi, dan beberapa kasus lain yang
menelan banyak korban. Jika kekasih Anda terbunuh, Anda juga bisa menulis
beritanya dan mengirimkannya ke alamat mereka.
Selain itu pembunuhan.com dilengkapi wawancara tentang kasus-kasus pembunuhan
populer. Ulasan film dan buku juga disajikan di sana, masih mengenai
pembunuhan. Anda takut dibunuh? Situs ini cukup baik hati memberi Anda tips
menghindari pembunuhan, selain kekerasan secara umum. Mungkin, agar mereka
tidak menulis kematian Anda di sini.
Cerita mengenai tokoh-tokoh yang mati terbunuh juga tidak luput dari perhatian
pengelola situs ini. Pembunuhan Rajiv dan Indira Gandhi, serta Malcom X bisa
Anda simak. Sayang pembunuhan.com belum menulis nama-nama lain, misalnya John
Lennon darni The Beatles yang mati ditembak seorang penggemar di depan
apartemennya, atau Che Guevara sang gerilyawan Kuba yang mati dieksekusi di
hutan Bolivia. Hal yang unik turut tampil dalam sajian-sajiannya.
Pembunuhan.com antara lain memiliki kanal buron, menampilkan seorang buronan
lengkap dengan sketsa wajahnya. Cerita-cerita klasik mengenai pembunuhan
terkenal, kartun mengenai pembunuhan, dan foto-foto pembunuhan juga ada.
Lantas, mengapa pembunuhan? “Pembunuhan ternyata menjadi aktifitas yang tak
mengenal sekat. Dari sekedar mempertahankan eksistensi diri hingga karena
motif-motif tertentu. Dari cara tua yang konvensional - sejak putra-putra Adam
melakukannya dulu, hingga seni membunuh modern, ia makin mempercantik diri. Dan
seni membunuh berevolusi secara pasti.” Demikian keterangan yang tercantum pada
salah satu halaman situs.
Dan lebih jauh ditambahkan, “Bagi kami situs ini bak kolam. Orang bebas
berenang dan menyelaminya. Disinilah tempat bertukar tangkap informasi dan data
pembunuhan, saling serang dan tangkis analisa, hingga menyemburkan gagasan.”
Namun, segera dipertegas dengan pernyataan bahwa situs ini bukan situs berita,
dan tak menawarkan penyelesaian atas masalah pembunuhan.
DARI sudut pandang media, situs-situs seperti ini unik. Mereka menunjukkan
bahwa internet telah mengubah paradigma media yang cenderung dari sesuatu yang
besar (modal) ke sesuatu yang besar pula (pasar). Yayan Sofyan mengungkapkan
harapannya agar situs-situs tersebut memberi kesadaran pada banyak orang bahwa
internet adalah tempat keberagaman. Media-media besar, termasuk bahkan
situs-situs besar, selalu tampil “standar”.
Akubaca.net merupakan salah satu situs yang tidak standar itu. Situs tersebut
mengkhususkan diri pada isu-isu kebudayaan, dengan format pertarungan ide-ide
melalui artikel-artikel pendek. Ia benar-benar mirip sebuah kafé, tempat
obrolan mengenai kebudayaan hilir-mudik dibicarakan. Belum lama ini muncul
perdebatan sengit mengenai terjemahan novel L’Immortalite karya Milan Kundera
yang diterbitkan oleh situs ini, baik secara on-line maupun dicetak dalam
bentuk buku. Saya memperoleh alamat web ini dari buku tersebut.
Nirwan Dewanto dari majalah kebudayaan Kalam menulis sebuah resensi mengenai
buku itu (selain tampil on-line juga diterbitkan di majalah Tempo). Nirwan
mengganggap Kundera telah dicederai oleh penerjemahnya, membuat novel edisi
Indonesia ini menjadi, “berliku-liku yang kabur artinya.” Kritik ini ditanggapi
AS Laksana, editor buku tersebut sekaligus pengurus akubaca.net, dengan nada
apologis dalam sebuah tulisan berjudul Penerjemahan dengan Sejumlah Kegagalan.
Tulisan ini tampil on-line di akubaca.net.
Hasratnya untuk menjadi komunitas budaya di web membuat akubaca.net memuat beberapa
cerita pendek, baik asli maupun terjemahan. Beberapa nama populer seperti Budi
Darma, Kuntowijoyo, Albert Camus, James Joyce, dan Gabriel García Márquez
pernah tampil di sini. Akubaca.net pun mencoba memanjakan peminat kebudayaan
dalam kanal-kanal lain seperti musik, film, dan wawancara.
Situs yang sejenis dengan akubaca.net adalah cybersastra.net. Bedanya, ini
situs khusus sastra Indonesia. Ada puisi, cerita pendek, essei, ruang diskusi,
dan bahkan novel! Mereka tak banyak promosi, kecuali cerita dari mulut
sastrawan ke mulut sastrawan. Beberapa nama populer sastrawan Indonesia pernah
menampilkan karya mereka di sini, berjubel dengan pendatang-pendatang baru.
Sebut saja Eka Budianta, Ikranegara, Sapardi Djoko Damono, dan Taufiq Ismail.
Bagaimana dengan royalti? Mereka mengaku belum bisa membayarnya. Tak ada iklan
di cybersastra.net, sehingga seluruh biaya operasional dipenuhi dari kantong
pengelolanya sendiri.
Kekurangannya, cybersastra.net tampil terlalu ramai dengan warna-warna yang
mencolok, sesuatu yang tak begitu penting bagi sebuah situs yang mengandalkan
teks. Hal ini diakui Nanang Suryadi, salah seorang redaksi cybersastra.net. Ia
menjanjikan, “Ke depan akan lebih bagus lagi dan lebih dilengkapi lagi isinya,
terutama setelah ada rekan desainer web yang bergabung satu bulan terakhir ini
di deretan redaksi dan webmaster.”
Sebuah situs kebudayaan lain yang jauh lebih unik muncul. Namanya, handoyo.org.
Unik, karena ia melulu bicara mengenai budaya Tionghoa, sebagaimana slogan yang
ditulis situs ini: Tionghoa dalam Tradisi dan Budaya. Bila situs komik melulu
bicara komik, situs sastra melulu bicara sastra dan situs pembunuhan melulu
bicara pembunuhan, handoyo.org melulu bicara budaya dan tradisi Tionghoa.
Ada satu contoh menarik bagaimana situs ini memperkenalkan budaya Tionghoa
kepada para pengunjungnya: mengenai ucapan selamat tahun baru Imlek. Kita
seringkali menuliskan ucapan selamat tersebut dengan Gong Xi Fa Cai yang kadang
ditulis Gong Xi Fa Chay, Gung Hay Fat Choy, atau Khiong Hie Fat Choy. Situs ini
mencoba memberi tahu bahwa arti masing-masing ucapan tersebut berbeda sama
sekali.
Masih dalam rangka tahun baru, handoyo.org mengupas seluk-beluk Imlek, misalnya
mengenai tradisi membuat hidangan Mie Panjang Umur/Siu Mie/Shou Mian. Juga mengenai
buah tangan, sajak tahun baru, dan segala jenisnya. Kanal-kanalnya dilengkapi
ulasan tentang arsitektur Tionghoa, cerita, makanan dan minuman, marga,
pakaian, perayaan, sejarah, seni dan sastra.
Dalam halaman perkenalannya, handoyo.org mengungkapkan jati dirinya,
“Dipersembahkan dengan tujuan untuk menjadi sarana bacaan yang menyegarkan,
serta sarana komunikasi dan informasi bagi Anda, khususnya yang senang akan
kebudayaan Tionghoa.”
Tahukah Anda bahwa pada masa Dinasti Tang, hidup seorang yang bernama Chun
Yufen, yang menganggap dirinya orang bijaksana. Namun, tidak seorang pun yang
menganggap Chun Yufen bijaksana. Hal ini membuat Chun Yufen sedih dan
bermabuk-mabukan setiap hari …. Artikel pendek semacam itu muncul hampir di
setiap halaman dalam rubrik Tahukah Anda?.
Situs-situs kecil yang penuh kreativitas ini muncul dan seolah menandaskan
hakekat web yang merupakan labirin terbuka, tempat setiap orang berhak atas
informasi dan berhak atas publikasi. Kecenderungan situs-situs jaringan besar
adalah menutup sumber informasi mereka kecuali dengan kontribusi tertentu
(membayar atau melihat iklan), sedangkan situs-situs ini menyajikan suatu dunia
berisi informasi yang begitu terbuka dan demokratis. Para pelopor web sejak
awal bermimpi bahwa internet adalah alat untuk memudahkan komunikasi serta
mematahkan sekat-sekat yang menjauhkan individu, karena perbedaan minat dan
kemampuan. Internet adalah labirin impian itu sendiri.
Kreativitas itulah yang mendorong Kunci Cultural Studies Center meluncurkan situs
di kunci.addr.com setelah mereka terlebih dahulu eksis dengan Kunci edisi
cetak. Situs dan newsletter ini diedit oleh Nuraini Juliastuti dan Antariksa,
kedua-duanya mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Meskipun hanya berdua, tidak
menjerumuskan situs ini menjadi tak serius, baik tampilan maupun isi. Kunci.addr.com terbukti kemudian meraih
penghargaan Golden Web Award tahun 2000 dan 2001 dari International Association
of Web Master and Designer.
Kedua pengelola situs ini mengungkapkan bahwa mereka bekerja untuk
mempopulerkan cultural studies di Indonesia dan menawarkan
pendekatan-pendekatan cultural studies (sebagai bidang
interdisipliner/pascadisipliner) dalam studi sosial dan kebudayaan di
Indonesia. Di kunci.addr.com, teori-teori berat disajikan tanpa kerumitan,
seperlunya, dan santai bagai tercermin dalam judul-judul headline mereka: Satu
Abad “Gambar Idoep” di Indonesia
atau Kacamataku dan Kacamatamu: Menguji Teori Secara Pragmatis.
Namun, hal lain yang
menarik adalah pengalaman tontonan.com. Sebuah kasus menghebohkan memaksa situs
ini gulung tikar. Suatu hari Nuruddin sebagai webmaster melihat situsnya hanya
menampilkan baris-baris kalimat: Tontonan seks gratis, hanya ada di:
http://members.tripod.com/tontonancom, warning: untuk sang webmaster situs ini,
mohon beribu maaf kalo situs anda kami ubah menjadi situs yang lebih menarik
pengunjung, sekali lagi maaf.
Lebih lanjut si penulis memberi sebuah peringatan pada sang webmaster untuk
“jangan sekali-kali mengembalikan tampilan situs ini ke aslinya.” Jika
peringatan itu dilanggar, ia akan sangat marah dan semakin membabi-buta
mengacau, karena “e-mail dan data pribadi sang webmaster sudah ia pegang.”
Tontonan.com telah di-hack!
Melalui wawancara telepon, Rudi Heru Sutedja memberitahukan bahwa tontonan.com
sudah tiga kali dikerjain seperti itu. Dua kasus yang pertama bisa mereka
atasi, tapi untuk kasus yang terakhir, sebuah e-mail dari Nuruddin Asyhadie
mengabarkan bahwa tontonan.com dinyatakan pailit dan diserahkan pada hacker-nya
untuk menjadi situs porno. Rudi Sutedja juga mengatakan bahwa mereka tampaknya
tak akan mencoba untuk memperbaiki kembali situs tersebut dan sedang mencoba
untuk membuat alamat web baru.
“Kami tak pernah tahu alasannya (mengapa di-hack). Agaknya tontonan.com kurang
menarik bagi sang hacker, sehingga ia menggantinya dengan situs porno. Kami kehilangan seluruh artikel kami sejak bulan
Agustus (2000). Itu sebabnya kami memutuskan untuk beristirahat sebentar,
sambil menyusun kembali tampilan kami,” kata Nuruddin.
Sebelum situs ini dihancurkan, tontonan.com pernah menyajikan tulisan-tulisan
tentang Santana, ska, dan sejarah waltz. Beberapa pengunjung yang tertarik
dengan artikel-artikel itu bahkan sampai mengirim e-mail ke pengelola situs
untuk memperoleh kembali tulisan-tulisan tersebut setelah mengetahui kehancuran
situs ini. Terhadap mereka, Nuruddin hanya bisa meminta maaf. Ia mengatakan
bahwa hard disk personal computer-nya terlampau kecil untuk mem-back up situs
tersebut.
Ngomong-ngomong tentang tawaran si hacker untuk mengunjungi situs porno membuat
saya mencari-cari situs porno yang menarik. Setelah tanya sana-sini saya
direkomendasikan untuk mengunjungi situs 17tahun.com. Tak ada gambar perempuan
telanjang, tak ada pergulatan beda kelamin di atas tempat tidur, yang ada cuma
cerita-cerita porno. Tapi ketika secara serampangan saya tanyakan pada
orang-orang yang mengakses internet, banyak yang mengenal situs ini, membuat
saya mencoba menjelajahi halaman demi halaman situs tersebut. Ada banyak cerita seks yang unik: percintaan
dengan binatang, penggemar daun muda, tukar pasangan, homo, pesta orgy. Bagi
yang bosan dengan situs porno konvensional, situs ini alternatif yang menarik.
Karena penasaran, saya mengirim e-mail pada webmaster-nya. Ada
balasan yang mengatakan bahwa situs ini dikelola oleh lima orang. Mereka orang-orang yang berharap
sukses di dunia web. "Ide tersebut diawali dengan kefrustrasian kami atas
kegagalan situs-situs "putih" kami dalam menyedot visitor, sehingga
kami terpaksa mengambil langkah ekstrim dengan membuat situs "hitam"
17tahun.com." E-mail ditutup dengan sebuah nama: Cron.
Apakah Cron nama sesungguhnya? Dengan kepenasaran yang semakin memuncak, saya
kembali mengirim e-mail. Namun sayang, dengan alasan kredibilitas, mereka
menolak menyebutkan identitas yang sesungguhnya. Saya segera masuk ke situs
register.com dan memperoleh catatan bahwa pemilik situs 17tahun.com ternyata
seorang bernama Yuri Damiana, berasal dari Bandung, mengatasnamakan
perusahaannya sebagai TujuhBelas Tahun, Corp. Bersama catatan itu saya
memperoleh nomor telepon, faksimil dan kotak pos. Meskipun begitu mereka tetap
tak ingin membuka identitasnya. Apa pun yang terjadi, mereka adalah sekelompok
anak muda dua puluh tahunan yang penuh impian, dan sadar mimpi mereka bisa
dibangun di internet.
KEMBALI ke kasus tontonan.com, situs-situs kecil seperti itu ternyata juga tak
lepas dari horor hacker. Nuruddin membangun situs ini di personal computer
milik sang pacar, di sebuah tempat kost mahasiswa. Ia membangunnya dengan
susah-payah, mengingat ia sendiri tak punya latar belakang desain. Dengan
alasan itulah ia mempergunakan Microsoft Front Page yang gampang untuk
membangun halaman web. Setelah jadi ia biasanya pergi ke Aruna.net, sebuah
warung internet di Jalan Kaliurang, Yogyakarta,
untuk meng-up load halaman-halaman webnya.
Jangan membayangkan Pabrik Tontonan memiliki server sendiri, sederet programer,
dan program-program security untuk mengamankan situs mereka!
Gambaran sejenis itu tercermin juga pada Agung Arif Budiman. Anak muda itu drop
out dari Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Politik dan Sosial Universitas Gadjah
Mada, padahal ia hanya tinggal menyelesaikan skripsinya. Ia membangun mimpinya
untuk bersuara melalui komik dari kamar di rumahnya. Kamar itu kecil, penuh
dengan serakan kertas hvs kuarto, pensil, rapido di atas meja, dan di dinding
berlembar-lembar komik yang belum jadi tergantung melambai-lambai dikibas kipas
angin. Berbekal sebuah komputer tua yang ia upgrade, mesin scanner, printer,
dan sebuah saluran telepon rumah, ia membangun komikaze99.com. Agung
menyisihkan penghasilannya sebagai desainer freelance untuk membayar ongkos
sambungan internet dan memperoleh perangkat komputer tersebut.
Ia sendiri tak bisa menjamin situsnya kebal dari serangan hacker. Ia mengaku awam
mengenai sistem keamanan jaringan internet. Namun, ia membuat mirror site yang
dicantumkan di halaman muka situs, sehingga jika satu situs bobol,
“bayangan”-nya masih bisa diakses di tempat lain. Terbayangkah ada orang usil
mengacak-acak situs anak-anak muda penuh impian ini?
Tontonan.com dalam waktu singkat sudah memperoleh rata-rata 350 pengunjung tiap
bulan dari daerah Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Bali, bahkan
Malaysia dan Belanda. Lantaran situs ini pula Pabrik Tontonan memperoleh banyak
undangan untuk mengunjungi pameran lukisan, pementasan teater atau tari seperti
dari Lembaga Indonesia Prancis, Galeri Cameti, Kelompok Pelukis Ancol, dan
sebagainya. Semua itu mereka peroleh hanya dengan promosi pas-pasan;
pendaftaran di mesin pencari secara gratis maupun sekadar berita dari mulut ke
mulut.
Nurudin menandaskan bahwa mereka tak memiliki dana untuk promosi lebih dari
itu, misalnya mencetak poster atau memasang iklan di media masa, meskipun di
awal-awal penampilannya Dagadu dan Jaran pernah memasang iklan di sana. Keduanya perusahaan
kaos oblong terkemuka di Yogyakarta, dan karena kasus kolaps-nya tontonan.com,
belum ada pembicaraan mengenai perpanjangan kontrak sebagai sponsor.
Mimpi pula yang membawa beberapa anak muda yang tengah keranjingan mailing list
khusus sastra untuk mewujudkan situs cybersastra.net. Menurut Nanang Suryadi,
mereka pada awalnya hosting di geocities.com/tamansastra yang gratisan. Mimpi
terus dibangun, hingga salah seorang dari mereka, Yono Wardito, sanggup membeli
nama domain cybersastra.com dan menghibahkannya pada komunitas tersebut. Ketika
itu April 2000 dan mereka masih hosting secara gratis di Domainvalet. Petaka
muncul di bulan Juli tahun yang sama, saat situs mereka sama sekali tak bisa
diakses tanpa penyebab yang pasti. Yono lalu memutuskan untuk membeli domain
cybersastra.net dan menyewa tempat sebesar seratus megabyte di techscape.com.
Sejak itulah mereka terus mengelola dan berkreasi di situs tersebut.
Saya terdampar di indonesianart.net. Sebagai sebuah situs kebudayaan, ia yang
paling canggih di antara situs kebudayaan yang pernah saya lihat.
Kanal-kanalnya meliputi berita, musik, seni pertunjukan, sinema dan televisi,
seni rupa, sastra, budaya, kampus, penyiaran dan bahkan ada e-commerce. Namun di
halaman pertama, sebuah logo mweb.co.id sudah menghantam mata saya. Itu adalah
anak perusahaan M-web, sebuah perusahaan internet raksasa asal Afrika Selatan
yang belum lama ini membeli saham-saham portal besar Indonesia seperti satunet.com,
kafegaul.com, dan astaga.com. Tanpa berlama-lama, saya segera pindah ke
situs-situs awal yang tengah saya amati.
Mengapa mereka tertarik pada internet? Nanang Suryadi mengemukakan bahwa
internet hadir di lingkungan mereka, dan mereka ingin mendayagunakannya sesuai
dengan kebutuhan. Pemanfaatan teknologi internet bisa berguna untuk
mendistribusikan karya sastra ke seluruh dunia. Agung Arif Budiman berpendapat
kurang lebih sama. Karya komik bisa disebarkan secara luas tanpa mengenal batas
geografis dengan fasilitas ini.
Menurut Yayan Sofyan, sayangnya kesadaran menyebarkan karya atau pengetahuan
itu belum menyeluruh. Ia sering melihat remaja yang datang ke warung internet
hanya untuk chatting. Padahal, boleh jadi ia memiliki cukup uang untuk
mengeksplorasi web. Yayan berharap orang segera sadar bahwa internet adalah
alat untuk saling berhubungan dan alat untuk saling berbagi. Bukan sekedar
terhubung melalui link-link dan tidak sekedar berbagi mail, tapi berbagi data.
“Kini banyak universitas membuat web, tapi isinya hanya sekedar homepage
padahal yang kita butuhkan kan
data-datanya, penelitian-penelitian mereka, isi perpustakaannya. Ini kan kacau,” kata Yayan
lagi.
Nuruddin dari tontonan.com mengajukan dua alasan mengenai keterlibatannya di
internet: biaya murah dan komunikasi yang dua arah. Jadi, apakah ini berarti
demokratisasi informasi? “Kebebasan yang diacungkan media cetak justru
menimbulkan demokrasi yang kacau, chaos turmoil, pokoknya hancur lebur, deh.
Dadais, gitu! Atau kalau kerennya dyonisan,” dan ia melanjutkan bahwa internet
merupakan jawaban atasnya. (Jika bahasa yang digunakan aneh, sok ilmiah dan sok
intelektual, itu merupakan kecenderungan situs-situs seperti kunci.addr.com
atau komikaze99.com, atau bahkan pembunuhan.com. Agung menilai hal itu terjadi,
karena mayoritas pembuat situs tersebut berlatar belakang mahasiswa).
Membangun situs-situs itu sendiri bukannya tanpa masalah. Redaksi
cybersastra.net rata-rata memiliki kesibukan dalam pekerjaan mereka, sehingga
hanya mampu meng-up date situs satu kali dalam sebulan. Lebih parah, beberapa
redaksinya terpisah di beberapa kota,
meskipun teknologi internet memungkinkan mereka untuk terus berkomunikasi.
Sementara itu, Agung nyaris putus asa mengelola komikaze99.com. Ia harus
bekerja sebagai desainer dan teman-temannya yang lain di kelompok komik tak ada
yang lebih pengangguran dari dia. Meskipun berat, ia mengaku bangga dengan
situsnya, terutama fasilitas interaktif yang ia sediakan. Situs ini rata-rata
dikunjungi oleh 400-500 orang tiap bulan dan terhitung dari bulan Juli 2000
sampai Februari 2001 sudah dikunjungi oleh 3.300 pengunjung. Luar biasa untuk
ukuran situs yang melulu bicara komik. Berapa jumlah pelanggan komik on-line
melalui e-mail? Agung menyebut angka 400-an orang pelanggan, tapi komiknya sendiri
belum satu halaman pun diproduksi.
Masalah dana juga menerpa Kunci
Cultural Studies
Center yang beberapa
waktu lalu masih memiliki situs kunci.org. Kini alamat itu tengah dilego
penyedia registrasinya dan mereka terpaksa pindah di kunci.addr.com. Kendala
lain, Antariksa dan Nuraini harus membagi waktu dengan Kunci edisi cetak
mereka.
Kelesuan terparah diderita Pabrik Tontonan selepas situs mereka dijebol orang.
Selama beberapa waktu mereka tak mengungkit-ungkit soal web. Padepokan
Ngawu-awu Langit yang terletak di sebelah utara Universitas Gadjah Mada, kini
hanya memperlihatkan beberapa orang yang nongkrong, ngopi, dan
genjrang-genjreng main gitar. Belum ada tanda-tanda mereka hendak melakukan
aktifitas berkesenian, seperti sebelumnya.
Nuruddin berkata, mereka sesungguhnya masih berambisi membuat semacam kuis
tontonan dengan cara menebak judul sebuah film atau teater melalui dialog yang
ditampilkan di situs, juga kursus membuat film, kursus bermain biola atau
diskusi mengenai masyarakat tontonan. Kini mereka harus bersabar untuk
merencanakan kembali semua itu. Membangun kembali impian mereka.*