KETERTARIKAN
Roy Suryo terhadap teknologi sudah terlihat sejak bangku sekolah dasar di
Yogyakarta. Roy kecil gemar mengutak-atik mobil-mobilan. "Bisa bongkar,
tapi nggak bisa pasang," kenang Yayik Suryo, kakak perempuan Roy. Menurut
Yayik, ketika kecil Roy mempunyai cita-cita jadi sopir bus. Roy sering membuat
peta jalan dan menjalankan mobil-mobilannya seperti layaknya seorang sopir.
Berdua dengan adiknya, Roy juga mengklasifikasikan mobil mainan mereka.
"Kita punya mobil untuk presiden, mobil menteri, bus sekolah ... pokoknya
lengkap," kenang Dony Suryo.
Ketika
meneruskan pendidikannya di sekolah menengah pertama, ketrampilan Roy dalam
bidang elektronika mulai tampak. Ia bisa membetulkan peralatan eletronik milik
ibunya yang rusak. Di sekolah ia juga mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
elektronika. Ia bahkan disuruh membuat amplifier untuk bel sekolahnya.
"Sampai sekarang masih dipakai, " ujarnya. Di sekolah menengah atas,
Roy ikut Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia atau biasa disebut Orari.
Berdua dengan kakak sulungnya, Sony, Roy mulai mengutak-utik peralatan komunikasi
radio itu.
Berbekal
minat dan hobi, Roy bertekad mencari ilmu yang lebih dalam di jurusan teknik
elektro Universitas Gadjah Mada. Dalam formulir pendaftaran, Roy memilih
jurusan teknik elektro sebagai pilihan pertama dan komunikasi, pilihan kedua.
Ia memilih komunikasi dengan pertimbangan bahwa di jurusan tersebut ia akan
belajar hal yang kurang lebih sama dengan jurusan teknik elektro.
Roy gagal
masuk jurusan elektro. Tapi dia diterima di jurusan komunikasi dari Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada 1986. Pada masa awal kuliahnya, Roy merasa
tidak kerasan. Ia tak dapat memahami materi kuliah. Ujian semesternya jeblok.
Baru pada
semester berikutnya, Roy menemukan keasyikan kuliah di jurusan komunikasi. Ia
makin rajin dan nilainya baik. Dan di sana pula ia menemukan keasyikan lain:
pacaran dengan Ririen [nama perawan, nama lengkapnya apa?], mahasiswi fakultas
hukum.
Ririen juga
kelahiran Yogyakarta pada 11 Desember 1967. Mereka berteman sejak sekolah
menengah atas. Mulanya Ririen jadi anggota The Unisi Family --sebuah organisasi
anak muda milik radio Unisi [frekuensinya berapa?] Yogyakarta. Roy masuk
belakangan. Hubungan mereka terjadi walau biasa. Menurut Ririen, Roy sering
datang ke rumah Ririen karena Roy berteman dengan kakak-kakak Ririen. "Kita
baru mulai pacaran itu tahun 1987, jadi menginjak tahun ke dua kuliah. Mulai
start pacaran. Jadi kita berteman, terus akhirnya bisa melanjutkan
pacaran," kata Ririen. Pasangan ini menikah sesudah pacaran tujuh tahun.
Ririen
menilai Roy memperlakukan dirinya dengan protektif. Dulu Roy selalu mengantar
jemput Ririen kuliah. Kini, setiap pagi, jika tidak sedang ke luar kota, Roy
mengantar Ririen ke kantor. Selesai mengantar Ririen, Roy melanjutkan
aktivitasnya hari itu. Pasangan ini baru bertemu kembali pada malam hari.
Kesibukan ini, menurut Ririen, menjadi salah satu penyebab mereka belum juga
dikaruniai keturunan. "Harapan kami tahun ini kami dikasih momongan,"
kata Ririen, lagi.
Untuk
mengantar atau menjemput istrinya, Roy tinggal memilih mobil yang akan ia pakai.
Roy senang mengoleksi mobil kuno. Ia memilih Mercedes Benz untuk dikoleksi.
"Mobil itu semakin kuno semakin bernilai seni dan cita rasa. Orang gampang
aja, punya uang terus beli mobil baru. Nggak ada seninya. Tapi orang yang bisa
mengendarai mobil kuno, wah ini orang pasti punya keunikan," ujar Roy.
Mengapa
memilih Mercedes di antara sekian banyak mobil kuno?
"Karena the real car is Mercy.
The other is not car," katanya, sambil tertawa [ucapan ini grammarnya
keliru, tolong dicek lagi rekamannya, kalau memang keliru, ya nggak apa-apa,
bodohnya biar kelihatan, tapi kalau kita yang keliru, kita yang dianggap
bodoh].
"Kita
berkendaraan itu cari apa? Cari comfort, cari stabilitas, dan sebagainya. Dan
itu saya dapatkan dari merek itu. Memang mobil itu didesain dengan
sempurna."
Roy menolak menyebutkan jumlah Mercy-nya, "Nggak enak. Nanti saya dikira
sombong."
"Tapi saya sebutkan tahunnya saja, ya?" katanya kemudian: 1958, 1961,
1963, 1965, 1967, 1972, dan 1982.
Saat ini Roy
mengajar di Universitas Gadjah Mada dan Institut Seni Indonesia. Di kedua
perguruan tinggi tersebut, Roy mengajar mata kuliah fotografi, dengan
konsentrasi foto model.
Roy menjadi dosen almamaternya sejak ia masih mahasiswa dan jadi asisten dosen
fotografi. Roy memang gemar memotret. Melalui fotografi pula, Roy mulai
menerima order. Ia juga mulai sering mengikuti kontes foto. Pada 1996, hampir
tak ada prestasi fotografi yang lepas dari tangannya. "Kalau tidak nomor
satu, ya nomor dua," katanya. Roy juga rajin mengirimkan karya fotonya ke
harian Kompas. Dosen fotografi ini 11 kali mengirimkan foto, pada kiriman ke-12
barulah karyanya dimuat di rubrik foto suratkabar itu.
Pada awal
1993, dosen-dosen senior jurusan komunikasi Universitas Gadjah Mada memikirkan
pembentukan jurusan D3-Komunikasi. Program
diploma tiga tahun mereka kira perlu karena banyak dosen komunikasi yang
mengajar di universitas lain. Mereka membentuk tim pendirian D3-Komunikasi. Tim
ini terdiri dari para dosen, salah satunya Roy Suryo. Proses awal pendirian
berjalan lancar, meski
Rasa tidak sreg ini makin menjadi saat
mengadakan fasilitas D3-Komunikasi. Roy Suryo menduga beberapa anggota tim
melakukan mark up anggaran.
Roy Suryo lantas mengajar di Institut
Seni
ROY Suryo lahir pada 18 Juli 1968 di
Meskipun menyandang gelar raden mas,
Ayah mereka melarang anak-anaknya untuk
bermain di siang hari. Anak-anak diharuskan tidur siang. Tapi,
Dalam pandangan saudara-saudaranya,
Sebaliknya, di mata kakak laki-lakinya,
Sony Suryo,
Menurut Sony, pola pikir seseorang akan
sangat berbeda kalau ia sudah memiliki anak. Segala tindak-tanduk akan
memperhitungkan dan mempertimbangkan anak atau keluarga. "Nah,
Sony agak meragukan kemampuan
Saat itu, 2 Maret 2001,
Sesampai di Banyuwangi, Ririen Suryo
terbangun dan ingin menelepon. Telepon selular yang berada di dalam tas
tangannya hilang. Tak cuma itu, uang yang dimasukkan ke dalam amplop ikut
amblas. Pasangan ini segera memeriksa barang bawaan mereka. Tas laptop telah
berganti isi menjadi jenang dan air mineral. Laptop, handy talkie, dan alat
lainnya hilang. Dari kondektur dan sopir bus diketahui pencuri laptop turun di
Gempol.
Sesampai di Bali, telepon seluler
Naluri ingin tahu
Berkat posisinya sebagai narasumber dan
konsultan di markas besar kepolisian
Pelacakan laptopnya dilakukan
Setelah sebulan melacak,
Sony Suryo hanya tertawa mengingat
peristiwa itu. Menurut Sony, pernyataan
"Lha wong pencurinya sudah ketangkep
terus ditanyai polisi, siapa yang nggak ngaku? Nggak ada itu yang namanya
kecanggihan teknologi. Notebook yang dipasangi pelacak itu nggak mungkin,"
ujar Sony.
Mengapa?
"Di Indonesia tidak ada yang satelit yang bisa memancarkan sinyal
(sehingga) bisa melacak notebook (yang hilang itu)," kata Sony.
Ketika saya tanyakan pada
MAJALAH Forum Februari 2001 menurunkan laporan panjang larinya Hutomo Mandala
Putra atau Tommy, putra bungsu mantan presiden Soeharto. Forum melaporkan tim
yang dibentuk kepolisian dengan dibantu konsultan teknologi informasi berhasil
melacak nomor-nomor telepon yang dihubungi atau menghubungi Tommy.
Namun laporan itu menimbulkan keresahan
dalam tim. Metode melacak Tommy yang sangat dirahasiakan pihak polisi tiba-tiba
diketahui banyak orang. Akibatnya tiap anggota tim saling curiga. Bisik-bisik
tersebut berujung dengan mundurnya Roy Suryo, konsultan teknologi informasi
tersebut.
Meski Forum tak menyebutkan nama, tapi
Roy Suryo merasa tulisan itu memojokkan dirinya dan menempatkannya sebagai
pihak yang membocorkan hasil pelacakan.
Menurut Andi Noya, pemimpin redaksi Metro
TV, "Saking enerjiknya, setiap ada temuan teknologi baru,
Sebelum Forum memuat laporan pelacakan
Tommy,
Jurubicara kepolisi Inspektur Jenderal
Didi Widayadi berkata, "Pak Suryo adalah tipe orang yang mengabdikan diri
pada ilmu pengetahuan. Jadi kalau ia mundur, saya rasa itikad moral seorang
profesional tidak demikian."
Maret 2001. Roy Suryo, Sang Jagoan.
Kalimat itu menarik perhatian saya yang sedang menjelajahi dunia maya. Saya
masuk ke situs kepolisian
Isinya benar-benar mengejutkan. Ditulis
oleh seseorang dengan nama samaran Anak 1000 Pulau. Tulisan itu penuh dengan
caci maki kepada Roy Suryo. Anak 1000 Pulau mengatakan
"Menurut saya dia menyimpulkan itu dari kata teman, bukan kemampuan dia
sendiri," tulis Anak 1000 Pulau.
Anak 1000 Pulau menasehati Roy Suryo agar
jadi, "Pakar yang besar dan matang dari kemampuan Anda sendiri." Ia
menantang Roy Suryo untuk menebak siapa dirinya dan dari mana ia mengakses
internet.
Ternyata caci maki itu tidak hanya
dilakukan oleh Anak 1000 Pulau. Situs milik Polri itu dibanjiri oleh caci- maki
dan segala bentuk hujatan dari para carder. Carder adalah sebutan untuk para
pengguna internet yang menggunakan kartu kredit orang lain untuk belanja di
dunia maya.
Menurut Roy Suryo, hujatan muncul sejak
ia mengumumkan 27 titik rawan kejahatan internet di
Menurut Roy,
sebanyak 65 orang telah masuk daftar dan menyusul 98 orang lagi.
Kenapa Roy mengumumkan 27 titik tersebut? Alasannya sakit hati. Sebelum ia
mengumumkan perang pada para carder, Roy sudah mengingatkan para carder agar
menghentikan kegiatannya. Namun para carder tidak ambil pusing dengan
peringatan Roy itu. Barang pesanan mereka, yang dibeli lewat nomor kartu kredit
curian, makin banyak dan beragam, bahkan merk dan jenisnya belum beredar di
Indonesia.
It's time to act!
Roy merasa
kegiatan ilegal ini mengakibatkan banyak perusahaan atau toko yang melayani
online shopping menolak transaksi dan pengiriman barang ke Indonesia. Para
pengusaha di internet tidak lagi percaya dengan pembeli asli. "Padahal
bisnis di internet itu kan dibangun atas dasar trust dan networking,"
katanya.