BERANDA
LIPUTAN
PROGRAM
MAJALAH
PROFIL
Sengkarut Bernas
Helena E. Rea
Mon, 2 July 2001
GEDUNG tua itu terletak di jalan Soedirman, Yogyakarta, jalan yang ramai dan menjadi lalu lalang banyak kendaraan menuju pusat keramaian Malioboro.
GEDUNG tua itu terletak di jalan Soedirman, Yogyakarta, jalan yang ramai dan menjadi lalu lalang banyak kendaraan menuju pusat keramaian Malioboro. Di samping gedung tua tersebut ada sebuah toko buku Gramedia. Warna kedua gedung itu kontras. Satunya bagus dengan tiga tingkat, satunya lagi kecil, berwarna kuning pudar. Gedung tua itu adalah kantor harian Bernas.

Pada 15 November 1946 koran kecil itu lahir. Namanya Nasional. Suratkabar ini didirikan Sumanang, yang juga pendiri Serikat Penerbit Suratkabar, kantor berita Antara, dan aktif di Partai Nasional Indonesia (PNI). Koran ini dicetak di Percetakan Nasional.

Ketika pada awal 1960-an Presiden Soekarno membuat ketentuan agar semua koran berafiliasi dengan partai politik atau organisasi massa, Nasional pun berafiliasi dengan PNI. Alasannya praktis. Sumanang adalah orang PNI. Praktis juga orang-orang yang ada di Nasional ini adalah orang PNI. Ini tak lantas membuat PNI jadi pemasok dana buat Nasional. Ini hanya afiliasi politik semata. Mereka tetap mencari uang dan mengelola manajemennya sendiri.

Saat itu juga Nasional berubah nama menjadi Suluh Indonesia. Nama ini ditetapkan dari Departemen Penerangan. Waktu itu ada koran Suluh Indonesia edisi pusat atau Jakarta, ada Suluh Indonesia edisi Jawa tengah dan sebagainya. Dari Suluh Indonesia koran ini berubah lagi namanya jadi Suluh Marhaen. Ini juga ketentuan dari Departemen Penerangan. Sama dengan Suluh Indonesia, waktu itu ada Suluh Marhaen edisi pusat dan ada juga Suluh Marhaen edisi Jawa Tengah.

Ketika meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965, koran kecil ini pun berubah lagi. “Ini adalah masa peralihan yang berat, karena peta kekuatan politik sama sekali berubah,”cerita Subadi, salah seorang pendiri harian Bernas.

Setelah pemeritahan ganti tangan ke Jendral Soeharto, Departemen Penerangan mengeluarkan ketentuan yang menghapus kewajiban suratkabar berafiliasi dengan partai politik. Koran-koran yang berafiliasi pada partai politik pun mendapat kesulitan, tak terkecuali Suluh Marhaen.

PNI adalah bagian dari Soekarno. Partai itu mendapat tekanan dari kekuasaan militer Soeharto. Ini menyebabkan Suluh Marhaen kembang-kempis. Ia mulai ditinggalkan pembacanya lantaran ketakutan dianggap pendukung Soekarno. Jumlah pelanggan turun, oplah ikut turun. Wartawan Suluh Marhaen bahkan sempat tak menerima gaji lagi.
Hal ini membuat Suluh Marhaen kembali ingin memakai nama Nasional. Sayang, nama itu sudah dipakai sebuah suratkabar di Ambon. Sebagai siasat agar tetap dapat memakai nama itu, ditambahlah kata “berita” di depannya. Koran ini pun berubah nama Berita Nasional.

Perubahan bentuk dari Suluh Marhen ke Berita Nasional semacam mendirikan yang baru lah karena kalau tiras hanya sekitar 500 eksemplar, “Itu kan berarti sudah tidak bisa hidup lagi,”ujar Subadi.

Dengan nama baru, koran ini praktis membangun semuanya dari nol lagi. Kepemilikan saham berubah, dari PT Panuluh ke PT Bernas yang didirikan oleh beberapa karyawan. “Waktu itu kami ramai-rami tanam saham di PT baru tersebut. Termasuk Pak Kusfandi yang waktu itu punya percetakan Muria,” imbuh Subadi. Percetakan yang sebelumnya dipegang PT Panuluh kini dipegang oleh Percetakan Muria, milik Kusfandi, seorang pengusaha percetakan, yang kini jadi pemimpin umum Bernas.


PADA masa pemerintahan Soeharto tiap media mesti punya surat izin usaha penerbitan pers atau biasa disingkat SIUPP. Keharusan memiliki SIUPP menjadi gandul berat buat usaha suratkabar. Bahkan koran yang sudah punya nama sebesar Kompas pun sulit mendapatkan SIUPP buat mendirikan koran daerah.

Herman Darmo, direktur Indopersda Kompas, sebuah anak perusahaan Kompas, mengatakan Kompas berniat membantu. “Indopersda merupakan satu divisi Kompas yang tugasnya melayani dan membimbing koran-koran kecil yang ada di daerah-daerah,” katanya.

Kompas juga membantu koran-koran daerah lantaran pada awal 1980-an, dalam sebuah sidang Dewan Pers di Irian Jaya, disarankan agar koran besar membantu koran lemah, terutama yang ada di daerah. Semangat membantu dan melayani itulah yang membuat Kompas berkata “ya” pada koran-koran daerah yang minta tolong.

August Parengkuan, salah satu anggota direksi Kompas, mencontohkan sebuah koran di Aceh. Waktu Kompas diminta untuk membantu mendirikan koran daerah di Aceh, maka muncullah koran Serambi Indonesia. Selain di Aceh, ada Sriwijaya Post di Palembang, Bangka Pos di Bangka, Banjarmasin Pos di Banjarmasin, Metro Bandung di Bandung, Pos Kupang di Kupang, Post Maluku di Ambon, Tifa di Irian Jaya, Surya di Surabaya, dan beberapa lagi di daerah lainnya.

Tunggu punya tunggu, SIUPP untuk mendirikan koran di Yogyakarta tak kunjung turun. Saking lamanya Departemen Penerangan mengeluarkan surat izin tersebut, akhirnya Kompas memutuskan untuk bekerja sama saja dengan Bernas. “Waktu itu kami memang ingin mendirikan koran daerah. Kebetulan ada Bernas dan Kusfandi itu sudah punya SIUPP Berita Nasional, jadi kami menghidupkan Berita Nasional kembali dengan bekerja sama dengan Kusfandi,” kata Parengkuan.

Keadaan Bernas memprihatinkan. Ajakan Kompas untuk bekerja sama bak jembatan emas buat memperbaiki keadaan sulit dalam tubuh Bernas. “Kita lalu bekerjasama dengan Kompas Gramedia. Tepatnya Agustus tahun 1990. Lalu nama pada waktu itu PT-nya kan sudah PT Bernas, pada kodenya sudah memakai nama Bernas,” papar Subadi, wakil pemimpin umum Bernas.

Kompas pun membuat perjanjian kerja sama dengan pemilik lama Bernas. Perjanjian kerja sama itu termasuk penggunaan percetakan Muria sebagai tempat percetakan Bernas yang sah. Komposisi saham 35 persen dimiliki Kompas, 45 persen gabungan dari beberapa orang pemilik lama, sisanya 20 persen dimiliki karyawan. “Kita memang ikut menanamkan sahamnya pada waktu itu supaya bisa bantu mereka,” ujar Darmo.

Ketika memutuskan bekerja sama dengan Bernas, Kompas sejak awal memang tidak mengharapkan Bernas dapat memberikan banyak keuntungan buat Kompas. “Koran kecil dengan oplah yang tidak seberapa mau dapat apa?” kata Anwar Hudijono, yang pada 1995 ditugaskan Jakob Oetama, orang nomor satu Kelompok Kompas Gramedia, untuk bekerja di Bernas. “Kalau ada ya syukur,” ujar Darmo.

Setelah bekerja sama dengan Kompas, Bernas pun berubah. “Waktu peralihan kerja sama dengan Kompas itu ada peralihan manajemen baru. Administrasi dan sebagainya diperbaiki. Dalam masa peralihan itu kita tidak terbit selama tiga bulan. Kita mempesiapkan usaha-usaha kerja sama dengan Kompas Gramedia nantinya,” papar Subadi.
Kompas mengambil alih manajemen. “Untuk membantu mereka kami menempatkan orang-orang kami ke sana. Setelah jalan kami tarik lagi,” kata Darmo.

Mulailah dilakukan rekrutmen karyawan. Nama besar Kompas sangat berpengaruh sehingga banyak sekali orang mendaftar bekerja di koran ini termasuk beberapa mahasiswa. “Waktu itu tahun 1990. Bernas membuka peluang kerja. Saya mendaftar, lolos tes dengan status karyawan kontrak,”cerita mantan wartawan Bernas Heru Prasetyo tentang awal mula ia bergabung dengan Bernas.

Tak berapa lama Bernas pun berpenampilan baru, disainnya chic, banyak berita soal kampus, soal demonstrasi mahasiswa, dan segera jadi saingan harian Kedaulatan Rakyat, harian tua yang sudah lekat dengan keseharian orang-orang Yogyakarta. Suratkabar ini sempat menggebrak ketika seorang wartawannya, Rizal Mallarangeng, pada 1991 ikut suatu rombongan perdamaian internasional saat kegentingan Perang Teluk. Mallarangeng menurunkan laporannya dari Irak buat Bernas. Memang belum bisa bersaing dengan daya tembus dan cara kerja wartawan legendaris Peter Arnett dari CNN. Setidaknya Mallarangeng juga menulis cara Arnett bekerja di Baghdad.

Menurut Subadi mereka memang bersaing dengan Kedaulatan Rakyat. “Ini kan bisnis. Ya, kita mencari pelanggan masing-masing. Mencari iklan, mencari pembaca yang lebih banyak lagi, antara lain dengan cara seleksi berita. Kita menyesuaikan dengan keadaan di Yogya, untuk kalangan terpelajar.”

“Soal bersaing dalam hal mencari pelanggan sebanyak-banyaknya itu hal yang wajar. Namanya bisnis. Mana kita harus biaya kertas, biaya karyawan, itu kan uang semua?” tambahnya.

Lain Subadi lain pula Kompas. Mereka punya pendapat sendiri soal persaingan dengan Kedaulatan Rakyat. “Yang jelas, untuk Bernas kami memang tidak berusaha untuk bersaing dengan KR. KR itu korannya Yogya. KR itu bagian dari budaya Yogyakarta. Koran apapun yang masuk ke Yogya itu koran nomor dua. Jadi segmen pasar kami usahakan tidak bertabrakan. Kami membidik segmen pasar kelas menengah ke atas, masuk ke wilayah kampus,” ujar Parengkuan.

Jakob Oetama juga mengatakan kalau Bernas tak hendak bersaing dengan Kedaulatan Rakyat. “Bernas memang boleh maju, asal tidak membunuh harian Kedaulatan Rakyat,” ujar Anwar Hudijono menirukan ucapan bosnya.

Di tangan Kompas oplah Bernas pun naik, ia tak lagi diejek sebagai koran beroplah “sebecak.” Bernas dianggap koran yang berani mengungkap fakta dan menjadi koran favorit para aktivis politik

“Saya mengalami. Dan di situ menjadi sarangnya gerakan mahasiswa,” kata Muchamad Achadi, mantan korespoden Bernas, yang termasuk dalam tim Kijang Putih, kelompok wartawan yang hendak membuka misteri kematian seorang wartawan Bernas Muh. Syafruddin yang meninggal karena siksaan orang tak dikenal pada Agustus 1996.

Bulan madu dengan Kompas tak berlangsung lama. Belum setahun, mulai muncul masalah-masalah baru. Konflik mulai muncul di antara para karyawan. Karyawan yang baru masuk setelah Bernas ditangani Kompas merasa bekerja lebih baik dibanding karyawan lama. “Orang baru itu kerjanya lebih profesional. Ada nilai intelektualnya dan kalau diajak ngomong bisa nyambung,” kata Achadi.

Masalah yang lebih gawat lagi adalah soal percetakan. Mereka harus membayar ongkos cetak ke percetakan Muria yang dimiliki Kusfandi, yang tak lain adalah pemimpin umum Bernas. Ketimpangan terjadi. Buat percetakannya, Kusfandi mengambil keuntungan dari Bernas.

Ketidakpuasan juga timbul karena percetakan Muria sering mengalami kerusakan. Mana yang tidak bisa nyetak lah, mana yang korannya datang telat lah, juga soal harga kertas yang lebih mahal dari harga pasaran. “Ini kan aneh, masa kita harus beli kertas dari Pak Kus? Harusnya kan dia sebagai orang Bernas tahu dong! Tapi Pak Kus nggak mau tahu itu,” tukas Achadi.

Sayang, selama hampir dua bulan melakukan reportase baik di Yogyakarta dan Jakarta, saya masih kesulitan untuk bertemu dan mewawancarai Kusfandi. “Bapak sedang sibuk,” adalah jawaban khas yang sering saya terima.

Sebagian wartawan Bernas pun protes. Mula-mula hanya aksi corat-coret di dinding, tapi kemudian mereka bahkan langsung mendatangi Jacob Oetama. “Kami minta supaya percetakannya di luar saja. Lha ini, kalau ada kerusakan pada koran karena percetakannya jelek, kita mau complain kan susah juga,” protes Achadi.

Hudijono membenarkan pernyataan ini, “Saya pikir kalau ada koran Bernas dan mau laku di pasaran ya harus bagus dong cetakannya. Masa, orang pegang koran tangannya hitam semua.” Ia menyarankan Kusfandi memperbaiki mutu cetakan Bernas. “Kita kan kerja secara profesional dong. Kalau tidak mau maka hanya ada dua opsi, tetap di percetakan Muria asal ada perbaikan atau kita pindah ke percetakan lain. Sayangnya waktu itu Kusfandi menolak kedua opsi yang saya tawarkan sehingga keadaan tetap saja begitu,” katanya.

Kompas sendiri ternyata tak mengambil keputusan tegas. Masalah terus menggantung. “Waktu saya kasih tahu, Pak Jakob diam saja karena tidak mau ada konflik,” ujar Hudijono. Selain itu memang tidak mudah buat Kompas memutuskan pindah percetakan karena sejak awal ada perjanjian Bernas akan mencetak di percetakan Muria.

Tetapi menurut Darmo tidak ada masalah dengan percetakan, “Kalau ada persoalan itu kan dinamika biasa." Kompas rupanya menyerahkan semuanya kepada Bernas. Persoalan yang ada menjadi persoalan intern Bernas. “Maju-mundurnya kami serahkan ke mereka,” Darmo menegaskan. Persoalan ini memang belum juga terselesaikan. Sampai sekarang.

Gaji juga jadi masalah. Ketika Kompas masuk pada 1990, gaji karyawan Bernas relatif baik. Tapi sejak 1990 itu pula tak ada kenaikan gaji yang berarti. “Waktu saya masuk standar gajinya kecil sekali,” ujar Achadi yang masuk Bernas pada 1994. Setelah sekitar setahun bekerja, gaji yang diterima Achadi, setelah dipotong bermacam iuran, hanya tersisa kurang dari Rp 300 ribu per bulan.

Heru Prasetya, mantan karyawan Bernas lainnya, mengatakan selama tujuh tahun bekerja di Bernas, gaji pokoknya naik hanya Rp 80 ribu. “Kita wartawan dituntut siap setiap saat. Yah, itu mungkin standar profesionalisme. Tapi kita jurnalis kan tidak hanya berpikir soal profesionalisme, soal idealisme. Ada kebutuhan dasar manusia yang tidak bisa terlepas, makan dan sebagainya,” keluh Heru Prasetya.

“Karena sejak awal tidak berpikiran bahwa Bernas dapat menguntungkan Kompas maka kami hanya berusaha agar kesejahteraan karyawannya saja yang diperbaiki. Saya dulu pernah susah, jadi menderitanya bagaimana saya tahu. Saya kasihan sekali melihat kesejahteraan karyawannya yang buruk sekali,” kata Hudijono. Ia melihat banyak anak muda yang ada di Bernas saat itu sangat potensial, “Jadi kalau kita tidak mau kehilangan mereka ya kita harus mengikat mereka dong. Caranya ya kasih gaji yang bernas, perbaiki kinerja,” katanya. Sedang menurut Darmo, mereka memang menentukan batas minimum kebutuhan hidup karyawan. "Tapi ya itu kita kembalikan kepada daerahnya masing-masing. Tergantung maju mundurnya perusahaan,” kilah Darmo.

Permasalahan gaji ini pernah dipersoalkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mereka membawa permasalahan gaji ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta. “Bukan hanya Bernas saja diprotes, tapi media yang ada di Yogyakarta secara keseluruhan. Kesimpulannya, gaji karyawan pers jauh dari standar kelayakan upah minimum regional, jauh di bawah kebutuhan riil,” ujar Heru Prasetya, seakan-akan hendak mengatakan bahwa Kedaulatan Rakyat pun juga membayar gaji wartawannya dengan rendah.

Meskipun Kompas mengisyaratkan bahwa bantuan mereka pada Bernas akan tetap berjalan jika kesejahteraan karyawan ditingkatkan, Kusfandi kurang sigap bertindak. “Waktu itu Pak Jakob sangat prihatin. Beliau meminta rekomendasi saya,” kata Hudijono.

“Pak kalau ini disuntik dana segar dua milyar tetap tidak ada artinya, hanya nyantol di beberapa lapisan atas saja. Bisa sih cair, asal ada laporan hasil audit yang benar. Kalau ada aturan-arutan yang merugikan karyawan maka itu harus diubah. Jadi dana itu benar-benar untuk perbaikan kesejahteraan karyawan,” papar Hudijono.

Mungkin karena masukan itu, Kompas pun batal mengucurkan dana segar buat Bernas.

Lama-lama Anwar Hudijono yang diperbantukan ke Bernas itu merasa gerah. Ia memutuskan kembali ke Kompas. “Waktu saya masuk saya merasa ada perbedaan ideologi dengan salah satu pemilik saham yang juga pemimpin Bernas, Pak Kus. Waktu saya masuk ke Bernas saya melihat banyak yang tidak benar. Banyak soal hukum yang tidak mencapai kompromi sehingga menurut saya ini bakal tidak maju kalau begini terus. Jadi saya pikir … ah udalah, semua yang saya rekomendasikan ke Pak Jakob tidak dipusingin sama Pak Kus. Dari pada menguras energi saya lebih banyak lagi, mending minta pindah saja. Istilahnya buat apa saya naik kapal yang karam tidak, jalan juga tidak, sedang keberadaan sama dengan ketiadaan,” ujar Hudijono.

Keadaan memang maju kena mundur kena. Seberapa besar kemungkinan Bernas ditinggalkan Kompas? “Kompas nggak ada rencana ninggalin Bernas,” jawab Herman Darmo. August Parengkuan membenarkan pernyataan Darmo. “Pihak manajemen memang tidak mau, karena merasa tidak enak. Masa kita mau kerja sama kalau kita sedang susah saja? Sekarang yang kalau mendirikan media tanpa SIUPP lantas mau ditinggal begitu saja. Kan nggak enak,” kata Parengkuan. Ia juga menambahkan Kompas punya tanggung jawab moral terhadap kelangsungan hidup Bernas. “Jangan sampai habis manis sepah dibuang,” katanya.

Rupanya talak satu memang belum segera dijatuhkan. Indopersda Kompas yang punya falsafah bertumbuh dan berkembang bersama, belum punya rencana menarik diri dari Bernas hingga kini.*
kembali keatas
Kursus Narasi XVIII
FacebookTwitter