BERANDA
LIPUTAN
PROGRAM
MAJALAH
PROFIL
Bersaing Itu Sehat
Anonim (sementara)
Mon, 5 March 2001
ORGANISASI wartawan muncul bak cendawan di musim hujan setelah Orde Baru tumbang. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bukan lagi satu-satunya yang dominan.
ORGANISASI wartawan muncul bak cendawan di musim hujan setelah Orde Baru tumbang. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bukan lagi satu-satunya yang dominan. Setelah pemerintah BJ Habibie tidak lagi mengakui PWI, sebagai satu-satunya organisasi wartawan, AliansiJurnalis Independen (AJI) leluasa bergerak di atas tanah, setelah sekian lama, sejak berdiri Agustus 1994, menjalankan aktifitas dengan banyak rambu yang mereka pasang sendiri. Begitu juga para jurnalis yang tak betah lagi berada di bawah payung PWI mendirikan sejumlah organisasi, yang terbesar adalah PWI Reformasi.

Setidaknya, ketiga organisasi wartawan besar tersebut mestinya mengandung makna bahwa adanya persatuan, atau kekerabatan di kalangan semua wartawan dari seluruh Nusantara. Tapi buktinya sekarang, nama-nama itu bersaing keras.

Sewaktu merayakan ulang tahun ke-55 PWI di Solo, 9 Februari 2001, ketua PWI Tarman Azzam membanggakan PWI merupakan yang terbesar. Di Indonesia, katanya, diperkirakan ada 14 ribu wartawan, "Sebelas ribunya adalah anggota PWI," kata Tarman. Pernyataan Tarman jelas bukan hendak menyatakan adanya persatuan di kalangan seluruh wartawan di Indonesia, melainkan "adanya keunggulan dalam persaingan" lawan organisasi kewartawanan lain.

Padahal, maksud perayaan hari ulang tahun PWI yang dipusatkan di gedung Monumen Perjuangan Pers Indonesia di Solo adalah "kembali ke khittah": bersatunya para wartawan seluruh Indonesia pada 9 Februari 1946 untuk sama-sama menegakkan kemerdekaan yang telah diproklamirkan Soekarno dan Moh. Hatta setahun sebelumnya.

Perayaan hari ulang tahun PWI, yang dikaitkan pula dengan Hari Pers Nasional itu, tragis jadinya. Pagi-pagi, harian Indonesia terkemuka, Kompas, menggelar artikel, "Masihkah ada gunanya memperingati Hari Ulang Tahun ke-55 PWI, 9 Februari di Solo?" Penulisnya, Rosihan Anwar, wartawan sepuh yang masih termasuk angkatan pendiri PWI, memberi kesan tak ada gunanya lagi.Kendati begitu, toh Rosihan dan isterinya datang di tengah-tengah pesta perayaan hari pers nasional bersama para pengurus PWI itu.

Pada hari itu beredar pula siaran pers dari PWI Reformasi. Ini adalah organisasi pecahan PWI, dipimpin Budiman S. Hartoyo, mantan wartawan Tempo dan putera Solo asli. PWI Reformasi protes karena perayaan hari pers nasional dikaitkan dengan hari kelahiran PWI. "Tak pantas kalau hari pers nasional dikaitkan dengan perayaan ulang tahun organisasi yang pernah berkooptasi dengan pemerintah Orde Baru," kata selebaran PWI Reformasi.

Di gedung Monumen Pers, Solo, siang itu muncul pula adegan yang janggal. Dahlan Iskan dari Jawa Pos tampil ke atas panggung dengan kemeja lengan pendek yang dibiarkan terurai di luar celana, bersepatu kets dan terlambat pula datangnya, untuk berbicara di depan para pengurus PWI se-Indonesia yang berpakaian rapi-rapi -kebanyakan berbaju batik, ada pula yang berdasi lengkap dengan jas. Dahlan sepertinya sengaja hendak mengesankan bahwa forum pertemuan para pengurus PWI dari seluruh Nusantara ini tak perlu-perlu dihormati lewat pakaiannya.

Ketika seminar hendak dimulai, Dahlan yang harus menjadi pembicara bersama Jakob Oetama malah ngeloyor dulu pergi makan. Bos kelompok Jawa Pos ini muncul saat bos Kelompok Kompas Gramedia, Jakob Oetama, membahas etika dan profesionalisme wartawan dengan bahasa filosofis.

Giliran Dahlan berbicara, dan apa dibilang? "Saya berpendapat sekarang tidak perlu lagi organisasi wartawan," kata Dahlan sambil cengar-cengir. Mantan ketua PWI Jawa Timur ini berpendapat, PWI bukan organisasi yang harus mengurus kesejahteraan anggotanya. Itu urusan perusahaan tempat masing-masing wartawan bekerja. "Adalah lebih baik jika wartawan sibuk di perusahaan media tempatnya kerja, daripada lebih banyak menghabiskan waktunya di PWI," tandasnya.

Fungsi PWI, kata Dahlan, adalah menegakkan kode etik. Kini para wartawan cenderung melanggar kode etik, maka tidak perlu lagi organisasi wartawan.

Kata-kata Dahlan menyebabkan Soekamdani Sahid Gitosardjono, yang ketiban rezeki besar karena kedua hotelnya di Solo, Sahid Raya dan Sahid Kusuma, tersewa oleh lebih dari 150 anggota PWI dan Isteri Keluarga Wartawan Indonesia, terperangah.

"Anda bicara sebagai anggota PWI atau sebagai pengusaha?" tanya Sukamdani, yang jadi pemilik koran Bisnis Indonesia, Solo Pos, dan koran beraksara Cina, Sang Po.

"Dua-duanya," ujar Dahlan, kalem.

Ada pihak yang setuju dengan Dahlan, ada pula yang tidak setuju. Yang sependapat, antara lain Sam Lantang. "Sekarang kan profesi wartawan dan PWI, memalukan," kata Sam Lantang, yang berkarir sebagai wartawan sejak 1971. "Lihat saja, mana ada anak muda mau jadi anggota PWI. Yang ada disini rata-rata sudah di atas 40 tahun," kata mantan ketua Seksi Wartawan Olahraga PWI Jakarta.

Begitu pula pengamatan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja, yang biasa dipanggil Atma. "Pesertanya tua-tua," ujar Atma, mantan pengurus PWI yang kini lebih dekat dengan AJI. Namun, Atma tidak sependapat dengan Dahlan. "Wartawan masih perlu organisasi. Setidaknya, sebagai wadah untuk belajar berorganisasi," katanya.

"Kalau kita tidak berorganisasi, akan lebih susah menghadapi pihak-pihak lain," kata Tarman Azzam. Bahwa para anggota PWI yang bertemu di Solo itu rata-rata sudah lebih dari setengah umur, adalah wajar. Sebab, mereka adalah pengurus PWI dari daerah.

"Kriteria untuk jadi pengurus PWI, adalah sudah menjadi anggota PWI, harus mempunyai status bekerja di surat kabar, dan mempunyai posisi tinggi yang menandakan ia berprestasi di tempatnya bekerja," kata Tarman Azzam, pemimpin redaksi harian Terbit yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya di PWI, daripada di perusahaan pers milik mantan Menteri Penerangan Harmoko itu.

Tarman mengakui PWI harus mawas diri. "PWI pernah berkooptasi dengan pemerintah di zaman Orde Baru," kata Tarman. Istilah kooptasi, menurut Atma, artinya "kesedot" atau "hanyut". Sedangkan sekarang, kondisi para anggota PWI dirasakan jauh di bawah standar. Karena itu, program PWI sekarang ini melaksanakan penataran dan pendidikan para anggotanya. Itu sebabnya PWI membentuk tim pendidikan dengan mengangkat 12 direktur pendidikan di daerah-daerah.

Untuk program-program tersebut, PWI membutuhkan anggaran rata-rata Rp 30 juta sebulan. Ternyata, para pengurus PWI, baik di pusat maupun di daerah, masih mudah cari dana. "Bantuan antara lain masih kami terima dari para pemilik media besar," kata Bandjar Chaeruddin, direktur Bisnis Indonesia yang menjabat bendahara PWI. Untuk pesta di Solo, yang menghabiskan biaya Rp 150 juta dari mana? "Alhamdullilah, masih ada kepercayaan kepada PWI," ujar Tarman.

Di zaman Orde Baru, PWI menyandang status sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah. Ketika itu status anggota PWI bagai gelar hebat, sebab hanya anggota PWI yang boleh menjadi pemimpin suratkabar. Mereka dicari para investor baru untuk mendirikan koran, majalah, atau pun tabloid. Tapi tak jarang terdengar ada wartawan pemegang kartu biru PWI yang memeras pejabat atau pengusaha. "Kami pernah menjatuhkan sanksi pemecatan," kata Tarman.

Selain mutu anggota yang harus ditingkatkan, PWI pun tampaknya kini berupaya membela para anggotanya. Kalau dulu PWI cenderung cuci tangan dan menelantarkan para anggota dari media-media yang dibredel Presiden Soeharto, maka sekarang ini PWI tampak agak lebih berani membela warga, baik di hadapan massa maupun di hadapan aparat.

Tampaknya, ada gunanya kebijakan Habibie yang tak lagi mengakui PWI sebagai wadah tunggal wartawan. Banyak organisasi, menimbulkan persaingan, kendati bisa sehat bisa pula tak sehat.*



kembali keatas
Kursus Narasi XVIII
FacebookTwitter