BERANDA
LIPUTAN
PROGRAM
MAJALAH
PROFIL
Santiago dalam Blocknote
Bimo Nugroho
Tue, 1 May 2001
PADA 14 Maret 2001, pesawat American Airlines yang saya tumpangi mendarat terlambat di bandar udara Santiago.
PADA 14 Maret 2001, pesawat American Airlines yang saya tumpangi mendarat terlambat di bandar udara Santiago. Pagi sudah lewat dari jam sembilan waktu setempat. Sementara di Sheraton Hotel pada saat yang sama, sesi pertama pasti telah mulai. Sebelum beranjak, blocknote catatan untuk International Roundtable on Journalism saya masukkan ke tas lipat yang mudah dijinjing.

Roundtable ini acara tahunan yang disponsori The Ford Foundation, lembaga donor dari New York, serta diadakan oleh The Aspen Institute, think tank dari Maryland, Amerika Serikat, yang misinya mendorong kemajuan teknologi informasi, jurnalisme, hukum media, dan perubahan sosial. Tak heran bila hampir semua peserta pertemuan ini berasal dari negara yang situasi politiknya sedang berubah.

Dari Jakarta, saya berangkat bersama Hinca Panjaitan dari Internews. Ada dua orang lagi yang dapat undangan ke Chile: Gadis Arivia dari Jurnal Perempuan dan Ishadi SK dari TransTV. Arivia langsung ke Santiago dari Brussel, Belgia, karena ia sedang mengikuti acara Uni Eropa. Sedangkan Ishadi SK batal karena sibuk menyiapkan kelahiran TransTV.

Udara hangat sekeluar pesawat membuat saya kembali semangat. Di depan mata, terhampar perbukitan sabana mengingatkan saya pada Timor Lorosae yang kini sudah merdeka dari Indonesia.

“Anda tak punya visa?” tanya seorang petugas imigrasi Chile dengan aksen Amerika Latin kental.

Saya jelaskan kalau saya sudah ke kedutaan besar Chile di Jakarta. Petugas kedutaan bilang warga Indonesia tak perlu visa Chile kalau cuma bertandang kurang dari dua bulan.

“Indonesia di mana?” gumamnya.

“Anda tak tahu Indonesia? Saya tahu Marchello Salas, pemain sepakbola negeri Anda,” ujar Panjaitan di belakang saya.

Bujang Latin Spanyol itu mendadak cerah mukanya. Paspor saya langsung dicap begitu ia temukan Indonesia dalam daftar.

“Senor, suka sepakbola?”
“Si, sepakbola campur tawuran.”
“Como?” dari cerah mukanya berubah, tercengang lalu jengah.

Sampai di hotel, kami putuskan langsung mengikuti acara. Saat kami masuk, diskusi terhenti sekejab. Setelah berbasa-basi sebentar, Geoffrey Cowan melanjutkan sidang diskusi. Cowan adalah direktur Voice of America, kantor berita radio Amerika Serikat yang melansir 900 jam tayang-siar per minggu dalam 52 bahasa.

Rasanya saya pernah mengeja nama Cowan ini entah di mana.
Ternyata betul. Profesor ini menulis dua buku yang cukup dikenal di kalangan hukum komunikasi, See No Evil: The Backstage Battle Over Sex and Violence on Television dan The People vs Clarence Darrow: The Bribery Trial of America’s Greatest Lawyer.

Saya memandang para peserta lain tanpa menggerakkan kepala. Hampir semua tak kenal. Dari wajah mereka tampak keseriusan mendalam. Saya bergumam di hati, tak baik juga orang terlalu serius, bisa cepat tua. Dan memang semua peserta tampak sudah mendekati paroh baya.

Barangkali orang-orang muda hanya datang dari Indonesia. Lima meter di seberang meja, Arivia mengalunkan lima jarinya menyapa, “Hai apa kabar?” tanpa suara.

Dengan bahasa tubuh saya jawab kalau saya capek dan mengantuk.
Arivia membulatkan bibir, “Oo, kasihan.”
Ada empati di sana, saya meringis saja.

Kembali saya buka blocknote untuk mencatat apa yang telah, sedang, dan akan lewat. Diskusinya sendiri berlangsung menarik. Sesi pertama yang sisanya sempat saya ikuti, membahas baku pengaruh antara kepemilikan media dan partisipasi publik.

Di sekujur bumi, lembaga-lembaga media dan sistematikanya tengah berubah cepat. Picunya adalah perkembangan tehnologi digital, globalisasi ekonomi, dan gelombang demokratisasi yang menyapu seluruh dunia dalam seperempat abad XX.

Di negara-negara Eropa Tengah dan Eropah Timur, kepemilikan negara yang restriktif atas media tak bisa bertahan kecuali dengan memberi jalan pada modal swasta untuk terlibat memiliki demi kelangsungan hidup media.

Sementara di bagian barat Eropa, Amerika Serikat, sebagian Asia, dan Australia, konsentrasi kepemilikan media di tangan swasta berikut segala kepentingannya pun jadi masalah bagi keberagaman informasi. Soalnya, di mana tempat bagi partisipasi publik?

“Jangankan punya partisipasi di media, orang-orang telah mendapati media sebagai agen teror sensasi, ujung tombak kekerasan yang paling mengerikan, pun bujuk rayu yang paling menggiurkan,” gugat Ibrahim Nawar dari Video Cairo Sat, Mesir.
Beberapa kali ia mengangkat hasil penelitiannya The Impact of International Sanctions on Development in Iraq, Libya, and Sudan.

“Kini semakin kuat pemilik media menghamba pada pasar. Dan jurnalisme terperangkap di dalamnya!” seru Nawar, menambahkan jurnalisme harus bertanggung-jawab pada publik. “Pasar berbeda dengan publik. Pemberitaan media punya fungsi memberi nilai lebih pada ruang publik, tetapi pasar telah menghisap nilai lebih tersebut.”

Persoalan media dalam ranah pasar atau publik, seperti diungkap Nawar, adalah perdebatan klasik. Bukan hanya kepada siapa sebetulnya media harus bertanggung jawab, tapi juga pertanyaan apakah media perlu mempertanggungjawabkan sesuatu?

Mereka yang menganggap media arena pertarungan wacana, yakin jawabannya adalah tidak perlu. Aktor-aktor yang menghidupi media itulah yang layak dimintai tanggungjawabnya: ya jurnalisnya, ya pemiliknya, ya pembacanya.

Tapi Nawar, yang percaya bahwa media adalah agen perubahan, bukan semata arena yang mati dan takluk pada semesta yang melingkupinya, yakin bahwa media layak dimintai pertanggungjawaban.

“Karena media itu hidup. Ia punya identitas, punya karakter, yang tidak bisa berubah hanya dalam hitungan detik, hari, minggu, bahkan tahun. Ia tak bisa begitu saja mengatakan, ‘Ooh kami tidak bertanggung-jawab terhadap apa yang dipikirkan dan dilakukan publik setelah menyerap informasi dari kami,” kata Nawar dengan sinis. “Media yang takluk pada pasar telah kehilangan kesadaran bahwa dirinya adalah agen yang independen.
Itulah yang sekarang terjadi, media tergantung pada pasar."

Banyak yang mendukung Nawar. Sebagian berargumen, ada independensi yang harus dijaga dari baku pengaruh pemilik maupun publik. Identitas media, bagaimana pun, ada di ruang redaksi yang kemerdekaannya terletak di tangan para jurnalis. Sekali jurnalis tergoda pada bujuk pemilik modal atau terlalu terpengaruh publik, akibatnya fatal bagi independensi jurnalisme.

Namun ada Rose Kimotho dari Kenya yang mempertanyakan argumentasi Nawar. “Kecenderungannya, jurnalis akan terdorong, mendorong, atau didorong untuk memiliki medianya. Di berbagai belahan dunia, cepat atau lambat, jurnalis adalah pemilik dengan memegang beberapa prosentase saham media. Bagaimana mungkin media tidak menyuarakan suara pemiliknya?” sergah Kimotho yang rambutnya dikepang kecil-kecil apik menempel di kepala.

Kimotho bicara dengan sederhana tapi meyakinkan. Bisa dimaklumi, ia merintis kariernya di industri periklanan. Belum genap usianya lewat kepala tiga, pada 1985 Kimotho sudah jadi account director di Ogilvy & Mather, agensi iklan terbesar di dunia. Jabatan tersebut sulit direngkuh seorang perempuan, apalagi yang berkulit hitam.

Waktu itu, Kimotho memimpin tiga kantor Ogilvy & Mather di London, Hong Kong, dan Singapura. Kini, ia pemilik sekaligus pemimpin stasiun televisi dan perusahaan video Regional Reach Limited, Kenya. Perusahaan itu punya saham lagi di radio FM termashyur di negerinya: Kameme 101.1 MHz FM.

Sama-sama perempuan, Melinda Quintos de Jesus dari Center for Media Freedom and Responsibility, Filipina, juga tak sepakat dengan Nawar. Tapi argumennya berkebalikan dengan Kimotho. “Jurnalis selayaknya menempatkan diri bersama dengan gerak demokratis masyarakatnya. Kebebasan pers saja tidak cukup, dan tidak mungkin hidup dalam denyut transisi demokrasi. Kebebasan pers yang tidak profesional malah bisa mendorong arus balik transisi demokrasi.”





BREAK. Saya minum kopi bersama Jeremy Drucker, redaktur Transitions Online, Republik Cheko. Orangnya agak aneh dan eksentrik. Rambutnya ikal dan kaku menjorok ke depan. Drucker bilang ia pernah bertemu wartawan Indonesia, Santoso dari radio 68H, di Praha. Maka kami berbincang soal media dan tehnologi informasi.

Ia cerita tentang Center for Advanced Media-Prague (CAMP) yang membantu Transitions Online untuk mengamankan situs web mereka dari serangan virus para hacker dan cracker.

Apakah CAMP juga bisa membantu media-media Indonesia dalam hal teknologi informasi? Bisa. Saya ambil tisu untuk mencatat. Drucker lalu mengeja c@mp.mdlf.org dan situs www.mdlf-camp.net. Selain memberi konsultasi, CAMP juga menyelenggarakan pelatihan dan memberi beasiswa bagi orang yang berminat mengembangkan media dengan memanfaatkan kemajuan tehnologi tinggi.

Perbincangan dengan Drucker terhenti karena Cowan mendenting-dentingkan sendok dalam gelas, memanggil kami semua kembali diskusi. Tisu saya selipkan begitu saja ke blocknote.

Sesi kedua, membahas media dari sisi ekonomi-politik dan pluralisme informasi. Sekali pluralisme direngkuh, bagaimana kelangsungannya bisa terjaga? Dengan takjub saya mendengar pengalaman Chile dan Ghana. Dua negara ini pernah lama dicengkeram kekuasaan yang otoriter. Bagaimana media mencoba berjuang di tengah kesulitan keuangan dan tekanan pemerintah untuk menyeragamkan informasi? Bagaimana setelah situasi ekonomi politik berubah?

Di Chile saat Jendral Augusto Pinochet naik tahta, media kembali ke konsep dasar 5W+1H. Berita tampil dalam kemasan yang singkat menyajikan peristiwa. Tiada bunga-bunga kata karena khawatir dianggap propaganda melawan penguasa. Dan sebaliknya, juga tidak memuat pidato kosong para pejabat.

The Santiago Times, koran nasional Chile berbahasa Inggris, tak layak dibandingkan dengan The Jakarta Post. Ia tampil hanya dalam empat halaman kertas ukuran A4. Mirip buletin satu lembar dilipat dua. Tak ada foto, ilustrasi, maupun kartun. Semuanya tulisan dengan tipe huruf Times New Romans. Tiap halaman dibagi dalam dua kolom dan terbit hanya lima hari dalam seminggu.

Dengan begitu ongkos produksi bisa ditekan sangat murah. Harga langganan The Santiago Times untuk pelajar US$120 per tahun, untuk pekerja dan intelektual US$380 per tahun, untuk pejabat dan perusahaan US$600.

Tampaknya mahal, tapi kalau ditimbang harga riil dalam peso Chile, para pekerja di sana membeli media macam The Santiago Times setimpal dengan harga Pos Kota atau Rakyat Merdeka di Jakarta, yang berkisar antara Rp 500 sampai Rp 1.000 per eksemplar. Sedang pejabat membeli media yang sama dengan harga sebanding harian Republika dan Kompas, yang berkisar antara Rp 1.500 sampai Rp 2.000. Saya ambil gampang saja dengan membandingkannya dengan harga roti untuk makan pagi.

Meski berita di media begitu singkat, tradisi bertukar kabar secara lisan di Chile sangat baik. Berita yang singkat diperbincangkan dan dianalisis dalam obrolan siang hari. Sebagaimana di Spanyol, Portugis, dan negara-negara jajahannya, kehidupan Chile diisi dengan siesta, jeda siang untuk istirahat atau tidur.

Modernisasi membuat banyak pekerja Santiago tak bisa pulang ke rumah saat siesta, maka mereka mengisi waktu jeda dengan diskusi. Di situ media mendapat pasar dan kesadaran kritis berkembang. Ketika kediktatoran Pinochet surut, banyak terbitan harian tampil lebih tajam dan sirkulasi meningkat.

Lain Chile lain Ghana. Di Ghana, jurnalis lebih radikal dalam melawan pemerintahan militer. Kabral Blay-Amihere bersama beberapa rekannya pada 1989 menerbitkan media bawah tanah, The Independent. Mereka bertahan meski beberapa jurnalisnya dipenjara karena ketahuan mengirim tulisan untuk The Independent.

Kisah Blay-Amihere menarik saya. Suatu hari rumah bawah tanah The Independent terlacak tentara. Kebetulan sekali, Blay-Amihere sendirian di rumah dan hendak keluar dari pintu belakang untuk makan siang. Tiba-tiba ia dengar suara decit mobil jeep direm mendadak di depan rumah. Dalam hitungan detik, suara berondongan tembakan menyusul bertubi-tubi. Blay-Amihere segera melarikan diri. Baru ia tahu dari tetangga di kemudian hari, tentara meluluh-lantakkan rumah yang jadi kantor redaksi bawah tanah itu.

Karena perjuangan itu pada 1991 Amihere mewakili para aktivix-cum-jurnalis Ghana ini menerima Percy Qoboza Foreign Journalist Award dari National Association of Black Journalists Amerika Serikat.

Kini, Ghana tengah menjalani transisi demokrasi. The Independent muncul dari bawah tanah dan jadi terbuka. Sambutan publik pun sangat menggembirakan. Blay-Amihere masih jadi editor di suratkabar tersebut, sambil memimpin West African Journalists Association merangkap anggota eksekutif organisasi payung wartawan global International Federation of Journalists.

Mendengar kisah Blay-Amihere, saya ingat seorang kawan dari Korea Selatan. Namanya Seh Yong Lee, pemimpin suratkabar Hankyoreh Shimmun. Perjalanan Hankyoreh Shimmun dari media bawah tanah ke atas tanah mirip sekali dengan The Independent. Bahkan, Hankyoreh Shimmun bisa menjual sahamnya jadi milik umum.

Di Indonesia, saya ingat pengalaman saya sendiri jadi reporter majalah Independen terbitan Aliansi Jurnalis Independen yang belakangan ganti nama jadi Suara Independen dan dikelola dari bawah tanah.

Model Hankyoreh, sempat dicita-citakan beberapa rekan Suara Independen bila Soeharto jatuh. Tapi cita-cita itu tinggal impian. Majalah Suara Independen kini diterbitkan terbuka, tapi oplahnya justru turun ketimbang zaman Soeharto berkuasa.





MAKAN siang. Saya duduk semeja dengan Martin Abregu, seorang pejabat The Ford Foundation untuk urusan Amerika Latin. Kami tukar cerita soal politik Chile dan Indonesia, dan sedikit menyinggung Argentina, karena kebetulan Abregu berasal dari sana.

Lalu, tibalah saat yang membuat saya berkeringat dingin: sesi Indonesia. Forum ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan bagaimana media berperan di dalamnya. Beruntung saya tidak sendirian. Ada Gadis Arivia dan Hinca Panjaitan.

Kami tampil seperti regu kelompencapir di televisi. Kelompencapir, mungkin Anda masih ingat, kependekan dari “kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa” yang anggotanya para petani dan penduduk desa. Dulu pada zaman Soeharto, secara rutin TVRI menggelar acara cerdas tangkas yang mempertandingkan regu kelompencapir dari berbagai desa.

Singkat cerita, saya berbicara tentang kondisi media di Indonesia sejak Menteri Penerangan Muhammad Yunus memberi angin bagi kebebasan pers pada 1998 sampai liputan media tentang kasus pertikaian Madura-Dayak di Sampit, Kalimantan Tengah, yang saya cermati sebelum berangkat ke Chile.

Arivia menyambung dengan isu perempuan di media dan bagaimana ia bersama beberapa rekannya berupaya menerbitkan Jurnal Perempuan, menayangkan program radio dan memproduksi piringan perak VCD tentang kekerasan atas perempuan. Panjaitan mengakhiri presentasi tim kelompencapir ini dengan menerangkan bagaimana upaya reformasi hukum di bidang media seperti UU Pers, RUU Penyiaran, dan RUU Kebebasan Informasi.

Tanggapan lumayan ramai. Cowan mempertanyakan isu jurnalisme damai yang kini mulai populer di Indonesia. Jeremy Drucker mempersoalkan penyerangan massa ke kantor-kantor redaksi media. Sementara Amihere dan de Jesus membagi pengalaman media di negerinya saat kecamuk konflik agama dan suku-bangsa.

Usai sesi Indonesia, saya bergegas ke kamar hotel, mandi air hangat, lalu tidur. Dering telpon dari Lisa Dauernheim, satu-satunya panitia acara ini, membangunkan saya. Waktunya untuk wine tasting seraya makan malam. Acara menyelera anggur ini lazim diselenggarakan di Chile.

Ada enam anggur yang berurutan dituang ke enam gelas. Sayang saya bukan pecinta anggur, setiap tegukan seperti menyerang lidah dan membakar tenggorokan. Saya catat namanya di blocknote: Montes Sauvignon Blanc Reserva, Montes Alpha Cardonnay, Montes Merlot Reserva, Montes Alpha Cabernet Sauvignon, Montes Fume Blanc Reserva, dan Montes Alpha Syrah.

Kami empat orang semeja, anehnya, bicara tentang cinta. Duduk di sebelah saya, Lisa Dauernheim. Sementara di depan kami sepasang suami-istri: Ibrahim Nawar dan Alia alias Alice.

Nawar dari Mesir dan Alice dari Inggris. Mereka bertemu di sebuah konperensi media dan agama di Kairo. Hanya satu minggu, cukup untuk membenih asmara. Sepulang Alice ke Inggris, ia jadi sulit tidur terkenang Nawar. Di satu malam kala ia masih terjaga, Nawar meneleponnya. Tak sekadar tanya apa kabar, Nawar pun sigap melamar.
Alia berjingkat dari ranjangnya, “What?”
Toh akhirnya, ia terima juga lamaran Nawar. Maka menikahlah mereka di Mesir, secara Islam.

Masih geli teringat kisah Nawar dan Alia, saya langsung tidur sekembali ke kamar hotel. Pukul empat pagi waktu Chile, saya terjaga. Di Indonesia sedang pukul tiga siang. Rasanya saya butuh tidur lama tapi jelas ini bukan jam biologis tidur malam. Badan masih amat capek. Maklum bukan kaum jet set, jadi jet lag terasa sekali.

Saya tak mengira sebelumnya ketika transit di Seattle-Washington, pesawat ditunda sehari. Maka saya kehilangan setengah hari untuk tidur dan makan malam perkenalan di Santiago, 13 Maret 2001.

Lebih tak enak lagi karena saya transit tanpa visa di Amerika Serikat. Di negeri yang kabarnya mengagungkan kebebasan privasi ini, tak punya visa seperti tak ubahnya seorang narapidana. Ke mana-mana selalu dikawal petugas, diawasi bahkan sampai di depan pintu kamar mandi.

Agak jengkel saya. Jargon pasar bebas barangkali perlu dipertanyakan. “Amerika bebas masuk negeri Anda, kalau Anda mau masuk Amerika, tunggu periksa dulu!” Itu bukan pendapat saya, melainkan ucapan Linda M. Craig, petugas imigrasi negara bagian Seattle Washington.

Di Sheraton Santiago, rasa jengkel itu sirna saat korden jendela hotel saya sibak. Hamparan lampu gemerlap malam ibukota Chile segera menyergap mata. Seperti manik-manik maya, ribuan butirnya terburai lantaran benang kalungnya putus.

Bingung setelah itu mau mengerjakan apa, saya ambil blocknote. Lalu dengan asyik, saya catat apa yang terlewat sambil menunggu fajar.

Dari gelap dini hari, langit mulai merah oranye. Di bawah gradasi warna langit itu, puncak-puncak bukit seperti berbaris. Saya tertegun, siluet bukit-bukit itu membentuk lekuk tubuh raksasa pegunungan Andean yang membujur terlentang. Pelahan sekali detil bukit itu tersinar lalu menghilang begitu sinar matahari makin terang. Entah tabir awan atau polusi Santiago menyaputinya.

Dalam lelah saya kembali rebah, mata pun mengatup tertidur. Bangun terhenyak, jam sudah menunjuk pukul 8:30. Saya meloncat mandi, turun makan pagi, lalu bersegera ke ruang diskusi. Untung tak terlambat. Sesi baru saja dimulai.





INI hari kami lebih mencoba “turun ke bumi” ketimbang “melayang ke angkasa”. Setelah kemarin membahas teori, ide, dan wacana, kini kami lebih banyak membahas apa yang bisa dikerjakan bersama untuk memajukan jurnalisme.

Peserta dibagi dalam tiga sidang komisi: urusan ekonomi-bisnis, urusan jurnalis, dan urusan budaya masyarakat. Pas untuk delegasi Indonesia, Panjaitan masuk ke komisi pertama, saya kedua, dan Arivia di komisi ketiga.

Saya beruntung masuk di komisi urusan jurnalis, meski minder lantaran semuanya jauh lebih berpengalaman. Ada banyak hal baru dan mendasar bagi saya paling tidak. Sidang komisi langsung dibuka dengan debat: jurnalisme macam apa yang diangankan?

Debat awal itu pecah ketika Melinda de Jesus dari Manila, selaku pemimpin sidang, langsung mengkritik apa yang disebutnya Americanized Journalism. Ia menyinggung dampak pemberitaan yang serba cepat-saji, instan, tapi tidak punya kedalaman yang akibatnya justru memperparah persoalan. Liputan CNN tentang Perang Teluk, People Power II di Filipina, dan beberapa kasus kerusuhan di Indonesia, dianggap tidak menangkap konteks sosial setempat.

Menimpali de Jesus, Joseph Gitari dari The Ford Foundation urusan Afrika Timur, punya metafor, “Jurnalis-jurnalis yang tak menyelam sampai dasar, mereguk popularitas di dunia internasional, khususnya di dunia jurnalisme, seperti burung pemakan bangkai yang berpesta di atas mayat yang bergelimpangan.”

Tapi Gitari menekankan persoalannya bukan “barat” atau “timur,” tidak semua jurnalis Amerika dan Eropa sama dengan metafor yang disampaikannya, jurnalis Asia dan Afrika pun banyak yang berdogma bad news is good news.

Para jurnalis ini meniti karier dengan mereproduksi konflik dan kebencian antarkelompok. Mereka melakukan reportase, menyusun berita yang panas, lalu pergi begitu saja tak peduli dengan dampak informasi yang dilansirnya.

Cowan mempertanyakan dampak informasi ini. Ada banyak variabel yang penting diperhitungkan sebelum kesimpulan bisa ditarik. Pertama tentu bentuk media, sebab dampak langsung media cetak jauh lebih rendah dengan audio, apalagi audio visual. Kedua adalah bahasa, semakin dekat ke bahasa ibu semakin besar pengaruhnya. Dan ketiga adalah etika jurnalisme dalam penyampaian informasi.

Tapi ketika diskusi membahas mana yang prioritas, semua sepakat: etika adalah prioritas pertama. Jadi forum merekomendasikan untuk mendesak lembaga dana, universitas, lembaga swadaya masyarakat, serikat jurnalis dan organisasi media, baik yang ikut pertemuan maupun tidak untuk memprogramkan junjungan etika dalam jurnalisme.

Hasil dari diskusi komisi ini adalah matriks poin-poin orientasi kerja. Jadi, kami mendaftar apa yang selayaknya dilakukan lembaga dana hingga organisasi media dan apa sasaran serta tolok ukur umumnya. Matriks ini selanjutnya akan dijabarkan sesuai konteks lembaga di masing-masing negara. Sifatnya tidak mengikat, bagi organisasi yang tidak setuju dengan rekomendasi kerja forum ini pun bisa dengan segera membuangnya ke tempat sampah.

Sore hari, sesi ditutup dengan pembacaan hasil-hasil dari tiap sidang komisi. Pleno akan dibuka esok harinya untuk membahas hasil sidang komisi dan peserta diminta untuk memutuskan di mana yang bersangkutan akan terlibat.

Malam harinya, kami semua peserta makan malam di Tasca Mediterianea Café. Rasanya saya menonton langsung telenovela. Barangkali karena tata ruang dan cat temboknya yang kontras: biru laut dalam, coklat tanah, merah bata, dan sesekali kuning atau oranye menyala di beberapa sisi yang berkelok.

Meja, kursi, dan lantainya dari kayu yang tak diplitur. Tapi karena sering dibersihkan, tekstur kayunya tampak kuat dan alami. Kesan kuat itu ditambah lagi dengan aksentuasi sisi tangga dari besi baja dan tata lampu yang temaram.

Saya duduk di sebelah Gloria Guardia, novelis tua dari Kolombia. Ia mengenal nama novelis Indonesia Pramoedya Ananta Toer dan esais Goenawan Mohamad. Sebagian besar novel Guardia pun bercerita tentang drama politik dan percintaan dengan setting Amerika Latin.

Guardia mengajak beberapa peserta untuk mengunjungi rumah mendiang Pablo Neruda, penulis Chile yang pernah menerima Nobel di bidang sastra. Saya pun mengangguk dengan senang. Beberapa di antara kami sepakat untuk pergi bersama esok sore hari.

Hari ketiga adalah hari terakhir diskusi tentang jurnalisme. Kami menggunakan ruang yang lebih kecil. Semua lembar flip chart, kertas seukuran poster, hasil diskusi masing-masing komisi dipajang di dinding. Hasilnya adalah sebuah dokumen kerja yang berisi satu alinea tujuan yang ingin dicapai dengan delapan strategi.

Dari delapan strategi, tiga poin pertama digodok dari komisi urusan ekonomi-bisnis; tiga poin dari komisi urusan jurnalis; dan dua poin terakhir dari komisi urusan budaya masyarakat.

Pertama, strategi bantuan berbentuk pinjaman. Para donatur diminta membangun mekanisme bantuan teknis dan memberikan pinjaman lunak untuk menghidupi pluralisme media.

Kedua, strategi bantuan berbentuk hibah. Lembaga-lembaga donor yang punya divisi media akan diharapkan mendukung program-program lembaga lokal yang melansir informasi-informasi alternatif.

Ketiga, strategi intervensi positif. Memfasilitasi eksperimen media yang secara politik beresiko besar di tengah gejolak masyarakat transisi.

Keempat, mencari kawan seperjuangan. Bentuknya adalah membangun koalisi antar lembaga masyarakat sipil untuk mengubah kebijakan pemerintah dan produk hukum yang menghambat pluralisme dan kebebasan informasi serta mengajak lembaga agama dan pendidikan untuk bersama-sama mendorong kebebasan berekspresi.

Kelima, menguatkan serikat jurnalis agar menekankan isu etika jurnalisme dan meningkatkan kerjasama serikat jurnalis dengan organisasi masyarakat sipil lain untuk menuntaskan transisi demokratis dengan damai.

Keenam, membangun paradigma baru dalam pendidikan jurnalisme dan mengembangkan profesionalitas jurnalis; Mengalokasikan sumberdaya untuk riset dan eksperimen peningkatan kualitas jurnalisme, investigasi, dan merintis jalan alternatif bagi reportase yang menghargai pluralisme; Memberikan beasiswa dan kesempatan belajar yang lebih luas bagi calon jurnalis maupun jurnalis yang telah berpengalaman dan menduduki posisi penting dalam kepengurusan media; Menyusun kurikulum pendidikan jurnalisme kritis; Dan menyelenggarakan diskusi kritis yang melibatkan para editor atau pemimpin redaksi.

Ketujuh, melobi maupun mendesak para pemilik, manajer, dan penerbit untuk mendukung kepentingan publik di mana mereka adalah bagian di dalamnya.

Kedelapan, mengikatkan diri dengan masyarakat. Semua lembaga yang berkepentingan untuk memajukan jurnalisme diminta untuk mengikatkan diri dengan masyarakatnya, dan bukan sebagai pendatang yang merasa berperan untuk menyelamatkan masyarakat. Sehingga, jurnalisme berkembang secara kontekstual dan calon-calon jurnalis mempunyai pemahaman yang lebih mendalam menyangkut sejarah, kultur, dan latar ekonomi-politik masyarakatnya.

Selesai. Saya melihat wajah direktur The Aspen Institute Amy Garmer yang letih tampak puas. Kami bertepuk tangan seusai dia memberi sambutan penutup.



Dan acara yang saya tunggu-tunggu pun tiba: jalan-jalan. Panitia menyediakan satu bus besar untuk menyambangi tempat-tempat bersejarah, seperti Istana La Moneda, lapangan kota Santiago, dan pemakaman umum di mana presiden-presiden Chile dimakamkan bersama rakyat biasa.

Agak lama kami berhenti di makam Presiden Salvador Allende untuk mendengarkan tuturan pemandu perjalanan. Ia bercerita panjang lebar bagaimana Allende dikudeta oleh Augusto Pinochet.

Kudeta tahun 1973 itu mempunyai nama sandi: Operasi Jakarta. Menurut pemandu, Pinochet sengaja mengambil nama itu setelah mempelajari bagaimana Jendral Soeharto mengkudeta Presiden Soekarno.

Pemakaman itu indah, banyak patung dan “apartemen” makam keluarga. Khusus di makam Allende, ada tugu dan ruang bawah tanah. Di balik tugu dan di atas ruang bawah tanah, ada sepetik pidato terakhir Allende yang disiarkan radio nasional Chile ketika tentara Pinochet mulai menggempur istana La Moneda.

Saya menyalinnya dalam blocknote:

Trabajadores de mi patria tengo fe en Chile y en su destino superaran. Otros hombres este momento gris y amargo donde la traicion pretende impornese sigan ustedes sabiendo. Que mucho mas temprano que tarde de nuevo se abriran las grandes alamedas por donde pase el hombre libre para contruir una sociedad mejor.

La Moneda, 11 de Septiembre de 1973

Abregu menerjemahkan ke bahasa Inggris yang bila di-Indonesiakan:

Kaum pekerja setanah air, aku percayakan Chile dan masa depannya. Orang lain di masa datang akan mengakhiri kegelapan dan saat pahit ini meski sebuah pengkhianatan kini menggagalkan perjuangan kita. Kalian harus lanjutkan perjuangan dan tahu segera daripada terlambat, bahwa jalan besar akan terbuka bagi manusia bebas untuk membangun masyarakat yang lebih baik.

Kesannya sangat revolusioner. Tapi ada grafiti di atas marmer itu, sebuah coretan hitam yang tak bisa dihilangkan, berbentuk alat kelamin laki-laki ….

Allende, barangkali adalah sosok yang dicintai dan dibenci. Ia adalah seorang presiden sosialis-komunis yang terpilih secara demokratis lewat pemilihan umum. Tapi Pinochet yang didukung tentara, pengusaha, dan politik antikomunis Amerika Serikat, berhasil merogol kekuasaannya.

Balik ke Sheraton Hotel, beberapa peserta saling berpamitan, termasuk Panjaitan dan Arivia. Saya masih tinggal dua hari dan pindah penginapan lantaran panitia tak menanggung lagi sementara uang saku saya tak cukup membayar hotel bintang lima itu.

Sisa waktu saya pakai untuk mengunjungi sisi lain Chile: bertandang ke rumah mendiang Pablo Neruda, menginap di dusun Caleu yang 20 kilometer jauhnya dari Santiago, mengunjungi museum seni, dan Yayasan Pinochet yang memberikan perspektif berbeda dengan pemandu di makam Allende. Menurut pihak yayasan, Pinochet menyelamatkan ekonomi Chile dari kebangkrutan dan bahkan memajukan kesejahteraan sebagian besar penduduk.

Di dusun Caleu, saya tinggal di rumah sederhana keluarga petani. Samuel, anak dari keluarga itu adalah mahasiswa Universidad de Chile yang sempat jadi penerjemah roundtable ke bahasa Spanyol.

Meski kecil dan miskin, sebagaimana para tetangganya, rumah Samuel tidak kumuh melainkan sangat artistik ditata dengan hiasan rumput gunung dan cat tembok warna-warni. Mereka punya tanah luas yang ditanami buah, sayur dan tanaman obat.

Pagi terakhir di Chile, saya diajak Aquillas, ayah Samuel, untuk naik gunung El Roble, menyaksikan lembah kota Santiago dan sekitarnya. Tadinya saya mau menolak karena tentu akan sangat melelahkan berjalan mendaki gunung. Di samping, nanti sebelum tengah malam saya sudah harus sampai di bandar udara Santiago untuk pulang. Ternyata kami naik mobil sampai di puncak gunung.

Aquillas menuding ke arah Santiago, Samuel menerjemahkan, “Di sana orang bersaing mencari kekayaan dan kekuasaan. Mereka menganggap kami yang hidup di Caleu ini miskin dan buta politik, tapi kami merasa lebih bahagia daripada mereka.”

Saya ingat terus ucapan Aquillas ketika menjelang tengah malam, pesawat meninggalkan Santiago. Saya memandang ke bawah dari sisi jendela, hamparan lampu gemerlap malam Santiago kembali menyergap mata. Seperti dari jendela hotel, nyalanya bagai manik-manik maya terburai lantaran benang kalungnya putus.

Saya teringat ucapan Aquillas di puncak El Roble. Kekayaan dan kekuasaan memang seperti tebaran lampu-lampu kota yang menakjubkan. Blocknote dalam tas lipat saya ambil untuk mencatatnya. Ketika saya mulai menulis lagi, lampu-lampu dalam pesawat telah dimatikan. *
kembali keatas
Kursus Narasi XVIII
FacebookTwitter